Sinar matahari menembus kaca jendela dalam ruangan, menyentuh beberapa bagian tubuh pria berusia 32 tahun yang tengah berkutat dengan banyak dokumen di atas meja kerjanya. Terasa hangat, walau hanya sedikit. Kehangatan itu membawanya jauh ke relung hati yang akhir-akhir ini merindukan sentuhan hangat seorang gadis, yang mendapat ruang khusus dalam hati pria tersebut. Gadis berambut panjang dengan tubuh tinggi nan sekal, nyaris mendekati kata sempurna untuk standar tubuh sensual wanita. Masih tergambar jelas saat keduanya saling melumat bibir, seketika rasa hangat menjalar hingga punggung Dimas. Terdengar ketukan pintu dari luar. Perlahan imajinasinya memudar, bayangan tentang gadis itu lenyap seketika. Dimas mendengus kesal, siapa gerangan yang berani mengusir gadis itu dari lamunannya? Pandangnya kini tertuju pada daun pintu. Ia berusaha mengatur ekspresi wajahnya. Sebisa mungkin terlihat tenang di hadapan rekan kerja yang akan masuk menemuinya, meski sangat ingin memaki orang di
Senja menghiasi langit dengan warna jingga yang demikian anggun. Tampak koloni burung beterbangan membentuk segitiga menuju ke suatu arah. Senja adalah waktu yang tepat untuk kembali ke sarang mereka. Nampaknya dua pria yang terduduk di balkon sebuah kamar tengah menikmati pemandangan itu. Mereka saling berbincang, namun pandangan mereka tertuju pada maha karya Tuhan yang indah pada diri senja yang sedemikian megah. "Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, Dim. Apa kau yakin akan meninggalkan Ramona demi gadis yang baru saja kau kenal? Memang, dari segi fisik dia memiliki tubuh yang-" Roy menjeda ucapanya, gambaran tubuh molek gadis yang mereka perbincangkan dengan mudah muncul ke dasar pikirannya. Mungkin alasan fisik yang menjadikan Dimas bisa dengan mudah jatuh cinta dalam waktu singkat pada gadis tersebut. Pikir Roy."Bukan masalah itu, Om. Dimas sudah muak. Selalu di kekang, aku harus nurut kemauan dia. Nongkrong ketemu teman-teman ga boleh, bolehnya keluar rumah juga harus ij
Erin memacu kendaraan menuju supermarket. Waktu menunjukan pukul 11 malam, sebentar lagi supermarket akan segara tutup.Sebelum membeli belanjaan, terlebih dulu ia mengambil uang di mesin ATM yang terletak di sudut kiri ruangan tersebut. Hanya mengambil secukupnya saja, selebihnya ia tinggalkan. Karena jika diambil sekaligus, bukan perkara mustahil jika uang tersebut cepat habis. Maklum, perempuan adalah mahluk yang gemar belanja, bukan? Sengaja ia simpan sebagian lain uang pemberian Ramona untuk menghindari nafsu belanjanya. Karena menurutnya saat ini, kebutuhan anak dan ibunya lebih utama dibandingkan dirinya sendiri. Erin mengambil sebuah keranjang, mengisinya dengan barang-barang yang di butuhkan. 2 kardus susu Vido*ant berukuran 950 gram, beberapa bungkus mie instan, dan sebungkus telur. Erin berjalan menuju meja kasir. Membayarkan sejumlah uang sembari tersenyum tulus. Biasanya dia akan tersenyum hambar saat membayarkan sejumlah uang di meja kasir. Karena hanya keperluan anak
Rembulan tampak bulat utuh, membagikan sinar redum kepada mahluk bumi yang sama sekali tak mempedulikannya. Menggantikan awan hujan yang sedari siang kekeh mengguyur bumi dengan rintikan yang berasal dari tubuhnya.Sebuah kendaraan melaju di jalanan sepi yang berhiaskan kabut tipis. Dari sebelah kursi kemudi, seorang wanita berusia 43 tahun menyisir jalanan yang tampak lapang, tak ada satupun aktivitas di jalanan yang mereka lalui. Pukul satu dini hari, memangnya siapa yang sudi keluar malam-malam begini? Ditambah udara malam ini sangat dingin. Kalau saja rasa lapar tidak menyerang perut di tengah malam, sudah pasti keduanya memilih untuk berdiam diri di rumah, atau mungkin sudah terlarut dalam mimpi tidur masing-masing.Sebenarnya, bisa saja membuat mie instan sekedar perut. Namun, kwetiaw lebih menggoda, terlebih di hawa dingin seperti saat ini. Visualisasi tentang kwetiaw lah yang memaksa keduanya nekat menyusuri pekatnya malam. Melajukan kendaraan ke pusat kota untuk makan di ked
Di hamparan hijau nan luas seorang gadis tengah berjalan sendirian tanpa arah. Menoleh ke segala arah dengan perasaan takjub, pemandangan yang sngguh indah, belum pernah nampak oleh indra penglihatannya seumur hidup. Batinya berbicara.Matahari bersinar, tapi tidak menyilaukan. Gadis itu berlarian kesana kemari, hingga kakinya menghantam sebongkah batu. Ia terjatuh. Sebuah tangan mengulur tepat di wajahnya, memaksanya mendongak untuk menatap wajah sang pemilik tangan itu. Ia terperanjat, sosok yang telah lama dirindukanya berdiri tepat di hadapanya. Seorang perempuan tua dengan rambut yang sudah dipenuhi uban, menatap gadis itu sembari tersenyum tulus."Nenek!" seru sang gadis dengan tatapan berbinar. Namun perempuan tua itu tidak menjawab, masih diam mematung dengan segaris senyum yang masih awet bertengger diwajahnya. Gegas Dewi berdiri dan memeluk tubuh perempuan tua di hadapanya. Namun perasaan kecewa menghujam kalbu, perempuan itu menghilang secara misterius. "Nek" lirih suara
Perbincangan hangat masih berlangsung di dalam ruangan Anggrek 07. Atmosfer kebahagiaan memenuhi ruangan itu, kecanggungan saat pertama kali kedatangan Martinah ke ruangan itu seakan melebur ditiup angin."Dimakan ya, Neng, Ibu suapin," ucap Martinah dengan tangan menyendok sepenuh bubur dan lauk yang disediakan oleh rumah sakit."Enggak, Bu. Masakan di rumah sakit hambar." gadis itu menolak. Memalingkan muka seperti anak kecil yang sedang merajuk."Neng mau makan apa? Biar Ibu belikan," seperti biasanya, perempuan itu bertutur lembut. "Bala-bala, Bu," jawaban Dewi, yang berhasil membuat Dimas menahan tawa."Iya, tunggu biar Ibu belikan," Dimas mengisyaratkan agar Martinah tetap duduk."Biar saya saja yang belikan, Bu," ucap Dimas sembari berjalan keluar. "Pacar ya, Neng?" "Oh, bukan, Bu. Kami hanya berteman," "Tapi Ibu lihat, Nak Dimas sepertinya tulus sama kamu. Ibu bisa bedain atuh, Neng, mana tatapan suka dan mana yang bukan ..." Martinah tersenyum menggoda.Bibir Dewi mengkeru
Sinar matahari begitu terik, serasa menyayat indera peraba setiap insan yang dijumpainya. Kondisi jalan yang sangat ramai, suara klakson terdengar nyaring memekikkan pendengaran, ditambah kepulan asap kendaraan yang bewarna abu-abu, kian memaksa para pengguna jalan untuk hilang kesabaran. Sebuah motor trail menggilas jalanan Ibu Kota dengan kecepatan tinggi. Membuat penumpang di belakang bergidik nyeri, takut kalau-kalau menabrak pengguna jalan lain."Dio, pelan-pelan!" ucap Anne dengan suara bergetar. Dari kaca sepion, pria itu mengamati wajah gadis di belakanganya. Nampak panik. Cengkraman kuat dari jemari gadis itu seolah menegaskan, cara mengemudi Dio yang ugal-ugalan membuatnya ketakutan. Pria itu hanya tersenyum. Lantas menepikan kendaraan beroda dua tersebut ke sebuah kedai bakso pinggir jalan. 'Bakso Khas Wonogiri', begitulah kalimat yang tertulis di spanduk kedai itu. Tanpa berbicara sepatah katapun, keduanya turun dan memasuki kedai. Anne mengikuti derap langkah pria ters
[Dia sempat koma, Mbak. Tapi sekarang sudah sadar. Mas Dimas ada disana sewaktu saya besuk.] Sebuah pesan masuk dari Erin, membuat rasa bersalah Ramona seketika runtuh. Kebencian kembali menyelinap. Dengan bersungut-sungut ia mengucap sumpah serapah terhadap gadis yang ia sangka merebut pria beharga miliknya."Kenapa nggak mati aja, sih, nyebelin." Ramona berdecah sembari melepas pengait high heels bewarna merah muda yang seharian menemani aktifitas bekerjanya. Gadis itu mendaratkan pantat di atas bantalan sofa ruang televisi. Fokusnya masih bertahan pada layar benda pipih di tanganya. Duduk menyilang sembari bersandar pada sofa. Ia tak menyadari paha mulusnya terekspos nyata, merampas perhatian pria tua yang sedari tadi asyik menyimak tayangan sepak bola. Seperti itulah kebiasaan Pak Risman setiap hari. Hanya bermalas-malasan di dalam rumah tanpa menjalankan kewajibanya sebagai kepala rumah keluarga (mencari nafkah). Bila dirasa bosan melanda, pria tua tersebut akan menyewa peremp