Laki-laki berbalut kemeja batik lengan panjang itu turun dari mobil SUV putih. Untuk sesaat, lelaki itu menatap bangunan rumah dua lantai bernuansa putih dan krem di hadapannya sampai akhirnya, bahunya ditepuk.
“Deg-degan?” Lelaki berkemeja batik tadi pun tersenyum saja tanpa menjawab. “Kyai Rais nggak usah tanya. Sudah jelas dia kelihatan gugup sekali.” Seorang pria paruh baya menyahut. “Ayah ngeledek aku?” “Kenapa? Kamu salah tingkah ya? Ck, tarik napas dalam-dalam ya. Ayah tahu ini keputusan besar, Nak, tapi kalau kamu sudah yakin, insyaallah semua akan berjalan baik.” “Aamiin.” “Ayah kamu benar, Langit. Keyakinan kamu beriring dengan niat baikmu. Insyaallah, akan dimudahkan,” tambah Kyai Rais. “Tapi, Langit ragu, Ayah, Kyai,” ungkap Langit. “Kenapa?” “Apa iya dia benar-benar mau sama bujang tua seperti Langit?” Belum sempat Kyai Rais dan ayahnya menjawab, seseorang yang muncul dari balik pintu rumah, berseru, “Pak Pram, Kyai Rais, Nak Langit, ayo masuk!” “Masyaallah, Pak Herdi. Assalamualaikum.” Kyai Rais maju lebih dulu menyalami Herdi Suseno. Setelahnya Pramono Aji yang tak lain adalah ayahnya Langit ikut menyalami juga. “Assalamu’alaikum, Pak Herdi,” sapa Langit lalu menyalami dan mencium tangan Herdi. Setelahnya, entah mengapa Langit merasa jika Herdi menatapnya dengan ekspresi penuh arti. Lelaki paruh baya itu bahkan menggenggam tangan Langit cukup lama. “Terima kasih sudah menerima saya malam ini, Pak,” kata Langit. Herdi lalu melepaskan genggamannya. “Saya yang terima kasih,” ucapnya. Fokus Herdi lalu beralih, dia pun membuka pintu rumahnya lebar dan kembali mempersilakan ketiga orang itu masuk. “Selamat datang, Bapak-bapak.” Kali ini, mamanya Bulan yang menyapa. “Bulan masih siap-siap. Sambil menunggu, ayo langsung ke meja makan saja,” lanjutnya. “Terima kasih, Bu Inaya. Duh! Baru sampai, sudah langsung diajak ke meja makan,” kata Pramono. “Nggak papa, Pak Pram. Calon besan, anggap saja rumah sendiri,” kata Inaya. “Ngomong-ngomong, Nyonya … nggak ikut?” Pertanyaan Inaya langsung membuat Pramono dan Langit saling melirik. Sejurus kemudian, Pramono pun memberikan alasan, “Istri saya terlanjur ada acara malam ini. Jadi, maaf sekali tidak bisa hadir.” “Oh ya, nggak papa. Memang semua serba mendadak ya, Pak,” kata Inaya. "Sudah, ayo ke meja makan. Nak Langit, jangan sungkan ya.” “Iya, Bu, terima kasih,” ucap Langit dengan nada sopan. Semua orang di sana pun saling bercakap basa-basi kecuali Langit yang malah terpaku di ruang tengah yang menghubungkan ruang tamu dan ruang makan. Dia berdiri menatap salah satu dinding yang memajang foto berjajar. “Itu foto Bulan. Dari dia bayi, mulai sekolah, sampai terakhir foto waktu dia wisuda S1.” Inaya ternyata mengikuti arah pandangan Langi. “Cantik sekali. Dari bayi sudah lucu, cantik, makin dewasa semakin cantik lagi,” kata Langit dengan arah pandangan tetap pada foto-foto Bulan. “Semoga kamu bisa mencintai dia, Langit. Bulan sudah hancur lebur,” ucap Inaya. Suaranya terdengar sendu. “Saya akan belajar, Bu Inaya,” kata Langit. “Terima kasih. Ayo, kita susul yang lain ke meja makan,” ajak Inaya. Lalu, saat Langit baru saja berbalik hendak mengikuti langkah Inaya ke meja makan, dia melihat seorang perempuan dengan terusan bunga-bunga sedang menuruni tangga dengan hati-hati. Tatapan Langit pun bertemu dengan perempuan itu. Lalu, satu senyum tipis terbit di bibir Langit. Dia pun memberanikan diri untuk menyapa, “Assalamu’alaikum, Bulan.” “Walaikumsalam.” Untuk sekian detik pertama, Bulan yang melihat sosok Langit berdiri di hadapannya pun terpaku. Apa yang Bulan pikirkan sebelumnya tentang laki-laki tiga puluh lima tahun yang akan menikahinya, ternyata salah besar. Bulan kira Langit adalah sosok bujang tua yang sangat tidak menarik tapi nyatanya Langit yang kini berada di hadapannya terlihat seperti para dosen tampan di kampusnya yang masih membujang karena pilihan hidup bukan karena tidak laku. “Perkenalkan, saya Langit. Bulan, apa kabar?” Kalimat Langit terdengar basa-basi tetapi melahirkan kecanggungan di antara mereka berdua. Bulan mengerjap, menyadarkan dirinya yang sempat terpaku pada wajah Langit. “Ba-baik … Pak Langit,” jawab Bulan. Langit langsung terkekeh. “Pak? Memangnya saya kelihatan bapak-bapak banget ya?” Tidak. Tidak sama sekali. Di mata Bulan saat ini, Langit memang terlihat sesuai usianya tetapi bukan seperti bapak-bapak, melainkan seperti sosok pria matang, dewasa, dan mempesona. Bulan tersenyum tipis. Dia terlihat malu sekali. “Maaf, tapi ….” “It's ok. Umur kita memang hampir dua kali lipat selisihnya. Lagian udah biasa juga di sekolah dipanggil Pak,” kata Langit. “Pak Langit beneran guru?” Bulan mengernyit. “Kenapa? Nggak percaya? Muka saya nggak mencerminkan seorang guru ya? Banyak yang bilang gitu sih,” kata Langit. Bulan mengulum senyum saja. “Oh ya, kamu … nggak seharusnya naik turun tangga, kan? Bahaya,” kata Langit. “Ya, tapi, saya terlanjur nyaman dengan kamar di atas,” kata Bulan. Langit mengangguk. “Yang penting hati-hati,” katanya. “Eum … ayo ke meja makan. Semua orang sudah di sana,” kata Langit lagi. Dia lebih baik mengajak Bulan segera bergabung dengan orang tua mereka sebelum kecanggungan semakin terasa. Bulan pun mengangguk. Namun, sebelum dia benar-benar berjalan mengikuti Langit ke meja makan, Bulan lebih dulu bertanya, “Pak Langit benar-benar mau menikahi saya?” Langit menatap Bulan lekat sebelum kemudian memberi jawaban dengan anggukan kepala disertai senyuman penuh keyakinan. *** “Pak Langit yakin mau menikahi saya? Nggak akan nyesel?” Pertanyaan yang terus Bulan ulang dengan tatanan kalimat versi berbeda-beda sepanjang mereka bertemu tadi, terus terngiang di kepala Langit. Sejujurnya keraguan Bulan beralasan karena Langit pun belum meyakini keputusannya seratus persen. Namun, satu hal yang Langit percaya bahwa niatnya baik maka dirinya akan dapat jalan terbaik. “Gimana, Langit? Apa kamu berubah pikiran setelah bertemu putri Pak Herdi?” tanya Kiai Rais. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan pulang kembali ke Pesantren Al Huda milik Kiai Rais. “Masih ada waktu kalau kamu memang mau mundur, Langit.” Pramono menambahi. Langit yang sedang menatap jalanan sembari memegang kendali kemudi, tersenyum. “Sejauh ini, Langit belum dapat alasan untuk mundur. Apalagi … ehem … Ayah lihat sendiri Rembulan cantik sekali.” “Aiihh! Kamu ini. Pintar menilai,” ujar Pramono. “Langit saja sampai nggak percaya diri. Takut kelihatan butek karena bersanding sama Bulan yang secantik itu.” Kiai Rais dan Pramono terkekeh bersamaan. “Tapi Ayah setuju. Dia memang cantik.” “Tapi cantik, nggak bisa dijadikan satu-satunya alasan untuk kamu menikahi dia, Langit.” Kiai Rais mengoreksi. Langit mengangguk. “Ya, Saya tahu, Kiai.” “Saya harap, kehadiran Rembulan bisa membuat kamu yang sudah baik menjadi semakin baik,” kata Kiai Rais yang langsung disahut dengan seruan aamiin oleh Pramono dan Langit. “Kalau begitu, langsung kita deal-kan saja hari pernikahannya dalam minggu ini, Kiai,” kata Pramono. “Ya, memang harus disegerakan. Kasihan Rembulan kalau terlalu lama ditunda, nanti kandungannya akan semakin besar,” kata Kiai Rais. “Kamu siap secepatnya, kan, Langit?” tanya Pramono. “Insyaallah siap, Ayah,” jawab Langit. “Selain siap untuk menikahi, kamu juga harus siap dengan konsekuensinya, Langit.” Kiai Rais menjeda. Beliau terlihat menghela napas. “Kamu harus siap dengan ketentuan berat menikahi wanita hamil yang bukan anak kamu,” lanjutnya. “Saya terima Bulan apa adanya, Kiai. Lagi pula, sedari awal memang niat saya menolong dia dan bertanggung jawab atas bayinya,” kata Langit. “Bukan, bukan hanya itu,” kata Kiai Rais. “Lalu?” “Kamu tidak diperbolehkan menyentuh dia sampai bayinya lahir dan masa nifasnya selesai meskipun kalian sudah sah jadi suami istri.”Enam tahun yang laluTak kurang dari dua puluh orang berkumpul di sebuah gedung yang pembangunannya terbengkalai. Mereka yang mayoritas berjaket gelap itu memfokuskan pandangan pada lelaki bertubuh tinggi yang sedang berdiri berkacak pinggang. Dia, sosok paling mencolok di antara yang lain karena mengenakan flanel merah itu, berkata, "Gue harap siapa pun pelakunya, ngaku sekarang, sebelum gue repot-repot ngecek satu-satu tato di badan kalian karena kalau ternyata kalian terbukti bohongin gue, kalian bakal tahu akibatnya."Semua yang di sana diam. Beberapa saling menoleh lalu berbisik, beberapa menggeleng, meyakinkan bahwa mereka bukan pelaku yang dicari, dan beberapa yang lain hanya diam tertunduk karena takut akan ancaman pemimpin mereka meski mereka tak melakukan apa pun."Berkali-kali gue udah bilang, jangan recokin pembangunan fasilitas umum! Termasuk pasar. Mikir dong pakai otak! Sebagian kalian nyari duit di situ. Emang kalian nggak mau pasar jadi bagus, hah? Kalian mau pasar te
Mas Langit: Bulan, perasaanmu belum baikan ya? Maaf soal ketidakjujuranku tadi. Aku berangkat ke sekolah dulu ya.Mas Langit: Istriku yang cantik, apa perasaanmu sudah membaik? Ini aku sudah di sekolah. lagi ngawasi anak murid main voli.Mas Langit: Sudah ya sedihnya. Aku minta maaf sekali. Sedihmu bikin dedek bayi sedih juga. Ayo senyum lagi.Bulan meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Dia belum berminat membalas rentetan chat dari sang suami. Tidak, dia tidak marah pada Langit karena Bulan justru sebal dengan dirinya sendiri yang tidak becus jadi istri. Langit terlalu baik. Bulan hanya ingin menjadi istri yang baik juga agar Langit bahagia.“Duaar!”Seseorang mengejutkan Bulan.“Bu Darti,” ucap Bulan setelah mendapati asisten rumah tangganya itu.“Ibu hamil jangan kebanyakan ngelamun nanti auranya nggak positif. Kasihan bayi dalam perut,” kata Bu Darti.Bulan tersenyum getir. “Lagi galau,” ucapnya.“Cantik-cantik kok galau. Kenapa sih, Bulan? Hidupmu udah enak. Wajah cantik, dui
Dengan sedikit ragu, Langit menepikan mobilnya di depan sebuah toko yang sudah tutup dan lampunya tak menyala. Dia sengaja memilih tempat itu agar keberadaannya tak mengundang kecurigaan.Dari jarak sekitar sepuluh meter, Langit bisa melihat sebuah warung bertuliskan Warung kopi Bagas Waras. Sebuah tempat yang sedari bertahun lalu menjadi tempat nongkrong anak-anak geng scorpio.Seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendela mobil Langit."Masuk," kata Langit setelah membuka pintu sebelah kirinya."Ini hasil print out yang Mas Bos minta," kata orang itu sambil mengulurkan kertas dokumen yang dibungkus plastik kepada Langit."Oh iya. Ini buat bayar ngeprintnya." Langit memberikan lembaran dua puluh ribuan."Nggak usah, Mas. Mana bisa gue nerima bayaran ngeprint dari orang yang beliin gue tiga unit komputer, dua printer, dan mesin potokopi, hmm?""Ya jangan gitu, Dis." Langit bersikeras memberikan uangnya. Namun, Yudis tetap menggeleng."Oke, semoga rejeki lo makin lancar. Usaha cetak dan fo
"Saya tegaskan sekali lagi. Ini anak saya. Anak Bulan adalah anak saya. Jadi, jangan pernah kamu mengganggu dia lagi."“Aaargh, bangsat!” Beni mengumpat sambil melempar kaleng minuman kosong yang sejak tadi digenggamnya setelah isinya tandas."Eh, Anjing! Itu kaleng kalau kena jidat pelanggan gue gimana? Mau matiin warung gue, lo?" Seorang lelaki dengan kaus bergambar tengkorak, bertanya dengan nada sebal."Kasih gue sekaleng bir lagi," kata Beni alih-alih menanggapi kekesalan pemilik warung.Dengan masih cemberut si pemilik warung memberikan sekaleng bir dari dalam kulkas kepada Beni. "Ini bir nol alkohol. Mau lo minum satu tanki juga nggak bakalan mabok. Beli ciu sana kalau otak lo lagi budrek!""Masih sore, bangsat! Ntar kalau udah gelap gue mabok," kata Beni lalu membuka kaleng bir itu dan meminumnya."Lo lagi kenapa sih? Nggak jelas amat."Beni tersenyum kecut. "Hidup gue emang nggak pernah jelas, Gas.""Iya juga sih," ucap Bagas si pemilik warung. Dia lanjut menata piring berisi
Segelas susu hangat, Langit letakkan di atas karpet di dekat Bulan yang kini duduk serius menatap laptop. Aah tidak, mode serius Bulan langsung terganggu saat aroma sabun yang maskulin menggelitik indera penciumannya.“Mas, udah?” Ucapnya.Langit mengangguk. “Diminum dulu susunya.““Nanti.”“Bulan, minum susu dulu.”Bulan menggeleng. Dia lalu menggeser posisi laptopnya dan berganti menatap Langit dengan serius. “Mas pasti marah ya?” Ucapnya.“Kata siapa?”“Kataku.”“Dan itu nggak bener.”Bulan mengerucutkan bibir. “Mas, Mas Langit jangan marah ya. Please. Aku bakal jelasin semuanya. Aku ….”“Aku nggak marah, Bulan,” potong Langit.“Beneran?”Langit mengangguk. “Orang marah nggak mungkin bikinin kamu susu.”Bulan langsung nyengir. “Iya juga sih. Tapi … Aku tetep aja nggak enak. Kehadiran Kak Beni pasti mengusik Mas Langit, kan?”Langit mengangguk jujur.“Maaf,” ucap Bulan.“Aku benci ucapan dia yang merendahkan kamu. Kesel banget rasanya. Sampai aku harus mandi dulu biar otakku nggak m
Dengan laptop di atas meja lipat, Bulan duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ahh tulang belakangnya memang sudah mulai rewel belakangan ini. Mungkin karena beban perutnya semakin berat. Apalagi setelah dia tahu kalau Bu Darti hari ini tidak datang, Bulan memutuskan untuk melakukan sendiri pekerjaan rumah tangga, jadilah punggungnya makin sakit.“Oke, mari kita nyalakan laptop. Istirahat sudah cukup,” gumam Bulan sendirian. Dia menyalakan laptop dua belas incinya, kemudian mengakses laman akademik kampus untuk mengurus cuti kuliah seperti yang Langit sarankan.“Oh, ternyata pakai surat pernyataan sama scan kartu mahasiswa juga. Oke, mari kita buat dulu,” gumam Bulan lagi.Lalu, baru saja dia hendak mulai menulis surat pernyataan, suara ketukan pintu depan terdengar dari ruang tengah tempatnya berada saat ini.“Mas Langit? Masa iya, udah pulang?” Gumam Bulan sembari bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju pintu.Seketika Bulan terperangah saat mendapa