Share

Pesona Pertama

last update Last Updated: 2025-04-25 21:46:18

Laki-laki berbalut kemeja batik lengan panjang itu turun dari mobil SUV putih. Untuk sesaat, lelaki itu menatap bangunan rumah dua lantai bernuansa putih dan krem di hadapannya sampai akhirnya, bahunya ditepuk.

“Deg-degan?”

Lelaki berkemeja batik tadi pun tersenyum saja tanpa menjawab.

“Kyai Rais nggak usah tanya. Sudah jelas dia kelihatan gugup sekali.” Seorang pria paruh baya menyahut.

“Ayah ngeledek aku?”

“Kenapa? Kamu salah tingkah ya? Ck, tarik napas dalam-dalam ya. Ayah tahu ini keputusan besar, Nak, tapi kalau kamu sudah yakin, insyaallah semua akan berjalan baik.”

“Aamiin.”

“Ayah kamu benar, Langit. Keyakinan kamu beriring dengan niat baikmu. Insyaallah, akan dimudahkan,” tambah Kyai Rais.

“Tapi, Langit ragu, Ayah, Kyai,” ungkap Langit.

“Kenapa?”

“Apa iya dia benar-benar mau sama bujang tua seperti Langit?”

Belum sempat Kyai Rais dan ayahnya menjawab, seseorang yang muncul dari balik pintu rumah, berseru, “Pak Pram, Kyai Rais, Nak Langit, ayo masuk!”

“Masyaallah, Pak Herdi. Assalamualaikum.” Kyai Rais maju lebih dulu menyalami Herdi Suseno. Setelahnya Pramono Aji yang tak lain adalah ayahnya Langit ikut menyalami juga.

“Assalamu’alaikum, Pak Herdi,” sapa Langit lalu menyalami dan mencium tangan Herdi. Setelahnya, entah mengapa Langit merasa jika Herdi menatapnya dengan ekspresi penuh arti. Lelaki paruh baya itu bahkan menggenggam tangan Langit cukup lama.

“Terima kasih sudah menerima saya malam ini, Pak,” kata Langit.

Herdi lalu melepaskan genggamannya. “Saya yang terima kasih,” ucapnya. Fokus Herdi lalu beralih, dia pun membuka pintu rumahnya lebar dan kembali mempersilakan ketiga orang itu masuk.

“Selamat datang, Bapak-bapak.” Kali ini, mamanya Bulan yang menyapa.

“Bulan masih siap-siap. Sambil menunggu, ayo langsung ke meja makan saja,” lanjutnya.

“Terima kasih, Bu Inaya. Duh! Baru sampai, sudah langsung diajak ke meja makan,” kata Pramono.

“Nggak papa, Pak Pram. Calon besan, anggap saja rumah sendiri,” kata Inaya. “Ngomong-ngomong, Nyonya … nggak ikut?”

Pertanyaan Inaya langsung membuat Pramono dan Langit saling melirik. Sejurus kemudian, Pramono pun memberikan alasan, “Istri saya terlanjur ada acara malam ini. Jadi, maaf sekali tidak bisa hadir.”

“Oh ya, nggak papa. Memang semua serba mendadak ya, Pak,” kata Inaya. "Sudah, ayo ke meja makan. Nak Langit, jangan sungkan ya.”

“Iya, Bu, terima kasih,” ucap Langit dengan nada sopan.

Semua orang di sana pun saling bercakap basa-basi kecuali Langit yang malah terpaku di ruang tengah yang menghubungkan ruang tamu dan ruang makan. Dia berdiri menatap salah satu dinding yang memajang foto berjajar.

“Itu foto Bulan. Dari dia bayi, mulai sekolah, sampai terakhir foto waktu dia wisuda S1.” Inaya ternyata mengikuti arah pandangan Langi.

“Cantik sekali. Dari bayi sudah lucu, cantik, makin dewasa semakin cantik lagi,” kata Langit dengan arah pandangan tetap pada foto-foto Bulan.

“Semoga kamu bisa mencintai dia, Langit. Bulan sudah hancur lebur,” ucap Inaya. Suaranya terdengar sendu.

“Saya akan belajar, Bu Inaya,” kata Langit.

“Terima kasih. Ayo, kita susul yang lain ke meja makan,” ajak Inaya.

Lalu, saat Langit baru saja berbalik hendak mengikuti langkah Inaya ke meja makan, dia melihat seorang perempuan dengan terusan bunga-bunga sedang menuruni tangga dengan hati-hati.

Tatapan Langit pun bertemu dengan perempuan itu. Lalu, satu senyum tipis terbit di bibir Langit. Dia pun memberanikan diri untuk menyapa, “Assalamu’alaikum, Bulan.”

“Walaikumsalam.” Untuk sekian detik pertama, Bulan yang melihat sosok Langit berdiri di hadapannya pun terpaku.

Apa yang Bulan pikirkan sebelumnya tentang laki-laki tiga puluh lima tahun yang akan menikahinya, ternyata salah besar. Bulan kira Langit adalah sosok bujang tua yang sangat tidak menarik tapi nyatanya Langit yang kini berada di hadapannya terlihat seperti para dosen tampan di kampusnya yang masih membujang karena pilihan hidup bukan karena tidak laku.

“Perkenalkan, saya Langit. Bulan, apa kabar?” Kalimat Langit terdengar basa-basi tetapi melahirkan kecanggungan di antara mereka berdua.

Bulan mengerjap, menyadarkan dirinya yang sempat terpaku pada wajah Langit.

“Ba-baik … Pak Langit,” jawab Bulan.

Langit langsung terkekeh. “Pak? Memangnya saya kelihatan bapak-bapak banget ya?”

Tidak. Tidak sama sekali. Di mata Bulan saat ini, Langit memang terlihat sesuai usianya tetapi bukan seperti bapak-bapak, melainkan seperti sosok pria matang, dewasa, dan mempesona.

Bulan tersenyum tipis. Dia terlihat malu sekali. “Maaf, tapi ….”

“It's ok. Umur kita memang hampir dua kali lipat selisihnya. Lagian udah biasa juga di sekolah dipanggil Pak,” kata Langit.

“Pak Langit beneran guru?” Bulan mengernyit.

“Kenapa? Nggak percaya? Muka saya nggak mencerminkan seorang guru ya? Banyak yang bilang gitu sih,” kata Langit.

Bulan mengulum senyum saja.

“Oh ya, kamu … nggak seharusnya naik turun tangga, kan? Bahaya,” kata Langit.

“Ya, tapi, saya terlanjur nyaman dengan kamar di atas,” kata Bulan.

Langit mengangguk. “Yang penting hati-hati,” katanya. “Eum … ayo ke meja makan. Semua orang sudah di sana,” kata Langit lagi. Dia lebih baik mengajak Bulan segera bergabung dengan orang tua mereka sebelum kecanggungan semakin terasa.

Bulan pun mengangguk. Namun, sebelum dia benar-benar berjalan mengikuti Langit ke meja makan, Bulan lebih dulu bertanya, “Pak Langit benar-benar mau menikahi saya?”

Langit menatap Bulan lekat sebelum kemudian memberi jawaban dengan anggukan kepala disertai senyuman penuh keyakinan.

***

“Pak Langit yakin mau menikahi saya? Nggak akan nyesel?”

Pertanyaan yang terus Bulan ulang dengan tatanan kalimat versi berbeda-beda sepanjang mereka bertemu tadi, terus terngiang di kepala Langit. Sejujurnya keraguan Bulan beralasan karena Langit pun belum meyakini keputusannya seratus persen. Namun, satu hal yang Langit percaya bahwa niatnya baik maka dirinya akan dapat jalan terbaik.

“Gimana, Langit? Apa kamu berubah pikiran setelah bertemu putri Pak Herdi?” tanya Kiai Rais.

Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan pulang kembali ke Pesantren Al Huda milik Kiai Rais.

“Masih ada waktu kalau kamu memang mau mundur, Langit.” Pramono menambahi.

Langit yang sedang menatap jalanan sembari memegang kendali kemudi, tersenyum. “Sejauh ini, Langit belum dapat alasan untuk mundur. Apalagi … ehem … Ayah lihat sendiri Rembulan cantik sekali.”

“Aiihh! Kamu ini. Pintar menilai,” ujar Pramono.

“Langit saja sampai nggak percaya diri. Takut kelihatan butek karena bersanding sama Bulan yang secantik itu.”

Kiai Rais dan Pramono terkekeh bersamaan.

“Tapi Ayah setuju. Dia memang cantik.”

“Tapi cantik, nggak bisa dijadikan satu-satunya alasan untuk kamu menikahi dia, Langit.” Kiai Rais mengoreksi.

Langit mengangguk. “Ya, Saya tahu, Kiai.”

“Saya harap, kehadiran Rembulan bisa membuat kamu yang sudah baik menjadi semakin baik,” kata Kiai Rais yang langsung disahut dengan seruan aamiin oleh Pramono dan Langit.

“Kalau begitu, langsung kita deal-kan saja hari pernikahannya dalam minggu ini, Kiai,” kata Pramono.

“Ya, memang harus disegerakan. Kasihan Rembulan kalau terlalu lama ditunda, nanti kandungannya akan semakin besar,” kata Kiai Rais.

“Kamu siap secepatnya, kan, Langit?” tanya Pramono.

“Insyaallah siap, Ayah,” jawab Langit.

“Selain siap untuk menikahi, kamu juga harus siap dengan konsekuensinya, Langit.” Kiai Rais menjeda. Beliau terlihat menghela napas. “Kamu harus siap dengan ketentuan berat menikahi wanita hamil yang bukan anak kamu,” lanjutnya.

“Saya terima Bulan apa adanya, Kiai. Lagi pula, sedari awal memang niat saya menolong dia dan bertanggung jawab atas bayinya,” kata Langit.

“Bukan, bukan hanya itu,” kata Kiai Rais.

“Lalu?”

“Kamu tidak diperbolehkan menyentuh dia sampai bayinya lahir dan masa nifasnya selesai meskipun kalian sudah sah jadi suami istri.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Tentang Niatnya

    “Ibu, kenapa akte kelahiranku beda sama teman-teman, Bu? Di akte teman-temanku, semua tulisannya ada nama ayah sama ibunya, tapi punyaku, cuma ada nama ibu. Memang benar ya kalau aku nggak punya ayah?”“Langit, kamu nggak boleh ngomong gitu. Setiap anak pasti punya ayah. Suatu saat, ayah kamu pasti datang.”“Ibu bohong! Ibu selalu bilang begitu dari dulu tapi apa? Sampai aku sudah mau lulus SD, aku nggak pernah lihat ayah. Bahkan namanya saja aku tidak tahu, Bu.”“Langit, ayah kamu itu orang hebat, Nak. Dia sibuk. Kamu sabar ya.”“Siapa namanya, Bu?”“Namanya ….”“Langit, penghulu sudah datang.” Ucapan sang ayah menyadarkan Langit dari lamunan tentang masa kecilnya.“Oh ya. Sebentar. Langit pakai peci dulu,” kata Langit. Dia kemudian menatap cermin sembari memakai peci abu-abu senada dengan pakaian yang dia kenakan.“Duh! Anak ayah ganteng sekali. Jadi ingat waktu Ayah muda. Ck, benar kata orang-orang kalau kamu versi 2.0 dari Ayah,” kata Pramono.Mendengar itu, Langit tersenyum getir

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Pesona Pertama

    Laki-laki berbalut kemeja batik lengan panjang itu turun dari mobil SUV putih. Untuk sesaat, lelaki itu menatap bangunan rumah dua lantai bernuansa putih dan krem di hadapannya sampai akhirnya, bahunya ditepuk. “Deg-degan?” Lelaki berkemeja batik tadi pun tersenyum saja tanpa menjawab. “Kyai Rais nggak usah tanya. Sudah jelas dia kelihatan gugup sekali.” Seorang pria paruh baya menyahut. “Ayah ngeledek aku?” “Kenapa? Kamu salah tingkah ya? Ck, tarik napas dalam-dalam ya. Ayah tahu ini keputusan besar, Nak, tapi kalau kamu sudah yakin, insyaallah semua akan berjalan baik.” “Aamiin.” “Ayah kamu benar, Langit. Keyakinan kamu beriring dengan niat baikmu. Insyaallah, akan dimudahkan,” tambah Kyai Rais. “Tapi, Langit ragu, Ayah, Kyai,” ungkap Langit. “Kenapa?” “Apa iya dia benar-benar mau sama bujang tua seperti Langit?” Belum sempat Kyai Rais dan ayahnya menjawab, seseorang yang muncul dari balik pintu rumah, berseru, “Pak Pram, Kyai Rais, Nak Langit, ayo masuk!” “Masyaallah,

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Sebuah Solusi

    Tangan Bulan bergetar hebat saat mengangkat benda pipih memanjang itu dari dalam gelas kecil. Setelah menunda-nunda, akhirnya pagi ini Bulan memantapkan hati untuk mengecek agar semuanya benar-benar pasti. Entah kepastian baik atau buruk, yang jelas, Bulan harus siap.Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa dibendung saat garis dua terpampang di benda pipih memanjang itu. Bulan langsung terduduk di atas closet yang tertutup kemudian melemparkan benda yang dia pegang ke lantai kamar mandi kosnya. Kesakitannya akibat pemerkosaan itu sepertinya belum cukup pedih. Kini, bebannya bertambah dengan kehadiran benih Beni dalam perutnya.Tanpa pikir panjang, Bulan keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil ponselnya di atas kasur. Dia melakukan pencarian mengenai obat penggugur kandungan sampai akhirnya dia memesan dua merek obat yang berbeda melalui salah satu aplikasi belanja daring.Anak ini nggak boleh berkembang. Gue nggak boleh hamil, batin Bulan dengan napas naik turun. Dia te

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Menuai Akibat

    “Hai, kamu lulusan tahun berapa?”Seseorang dengan jaket jeans menyapa. “Aku … baru lulus tahun ini, Kak.” Bulan menjawab dengan nada sedikit ragu. “Oh, baru lulus. Nama kamu?” Orang itu bertanya lagi. “Rembulan” “Wow, nama yang sesuai sama orangnya. Cantik. Kalau istilah sekarang, glowing. Oh iya, kenalin. Aku … Handarbeni Utomo. Panggil aja Beni.” Seandainya Bulan tidak datang pada acara reuni lintas angkatan itu, mungkin semuanya tidak akan terjadi. Dia tidak akan mengenal Beni. Dia juga tidak perlu mengalami hal seperti ini. Waktu itu, Bulan yang baru lulus terlalu bersemangat untuk datag karena ingin bertemu dengan teman-teman sekolahnya lagi setelah beberapa bulan mereka berpisah dan jadi mahasiswa baru, “Bulan, ini kuesioner kelompok kita. Udah beres tugasku ya. Sekarang bagian kamu input datanya.” Seseorang menyodorkan beberapa lembar kertas yang dijepit jadi satu kepada Bulan. Namun, Bulan malah bergeming. “Bulan.” Orang itu memanggilnya lagi. “Lan?” “Oh iya, m

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Malam Menjijikkan

    “Bulan, aku pamit!”Teriakan itu membuat Bulan langsung melongok dari pintu kamar kosnya. “Loh! Kak Sinta pulang juga? Yaaahh, kenapa semua orang pulang sih? Aku di kosan sendirian dong!” kata Bulan.“Sama Laili.”“Laili balik tadi siang, Kak.”“Loh iya, kah? Ya emang ini long weekend sih, Lan. Kamu juga harusnya balik,” kata Sinta.Bulan menghela napas. “Lagi banyak tugas, Kak. Kalau di rumah, mager banget mau ngerjain,” kata Bulan.“Halah, baru semester dua juga. Santai aja! Aku yang bulan depan harus magang aja santai,” kata Sinta.“Haduh! Maunya ya santai, tapi omelan Mama enggak bisa diajak santai, Kak.”“Yah, mama kamu dosen sih, pasti ekspektasinya tinggi ya.”Bulan mencebik sambil mengangguk.“Hmm ... kaciaaaan. Ya udah, nggak papa kalau nggak pulang. Masih ada Antika kok, jadi kamu nggak beneran sendiri. Cuma, sabar ya kalau nanti si Antika ....”“Sssst! Udah paham,” sambung Bulang. Dia dan Sinta langsung terkekeh bersamaan karena keduanya paham soal Antika si paling sering b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status