"Lu kenapa, sih, Jun? Dari tadi gue perhatiin kayak gelisah banget gitu." Kevin mengerutkan alisnya. "Lu nyesal udah setuju kerjasama sama Arkan?" Juna menggeleng, mengempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya. Mereka baru tiba di kantor dan memasuki ruangannya. Pertanyaan Kevin tidak salah, dia benar. Juna mengakuinya, ia memang gelisah. Namun, Kevin salah jika menebak Arkan yang menyebabkannya gelisah. Bukan Arkan, melainkan sepupunya yang sudah meninggal. Juna khawatir ia akan mengulangi tidur di malam Diva lagi jika terus seperti ini. Tadi itu rasanya benar-benar nyata, Diva memanggilnya. Memanggil namanya dengan suaranya yang sedikit lebih besar, suara Diva versi dewasa. Ingin Juna menceritakannya pada Kevin, tapi tak mungkin Kevin percaya karena sepertinya hanya dirinya yang mendengarnya. Oleh sebab itu, ia memilih diam dan gelisah sendirian. "Nggak apa-apa, kok, Vin. Gue cuman capek doang kayaknya." Juna mendongak, memejamkan matanya. "Pagi-pagi lu udah capek aja, Bos. Kayak y
Sesi wawancara berakhir, Diva segera menemui Arkan di ruangan pria itu. Ternyata tak sesulit yang dia bayangkan. Dengan pengalaman tiga tahun bekerja di salah satu perusahaan ternama di dunia, menjawab pertanyaan dari suara yang ditugaskan Arkan untuk mewawancarainya, cukup mudah. Sekarang tinggal menemui Arkan dan bertanya tentang pria kemarin yang kemungkinan besar bernama Juna. Dia yakin pria itu baru saja bertemu dengan Arkan. Dia juga yakin pria itu ada hubungannya dengan masa lalunya. "Mau ke mana lu?" Pertanyaan itu menghentikan gerakan tangan Diva yang hendak memutar handle pintu berwarna keemasan. Tangannya mengambang, mulut berdecak. Dia memutar leher ke arah kirinya di mana wanita sok cantik itu berdiri dengan berkacak pinggang menantang. "Nggak ada yang boleh masuk ke ruangan Pak Arkan kecuali udah buat janji sebelumnya!"Diva mendelik. Emosinya tersulut. Dia yang sudah kurang tidur tadi malam gara-gara kembali bermimpi tentang pria yang selalu memanggilnya dengan pangg
Ini buruk, sangat buruk. Sudah sejak beberapa menit yang lalu dia mencoba mengingatnya, tapi tak bisa. Tak ada satu potong pun ingatan tentang Juna yang tersimpan di memori otaknya. Dia sudah melupakan semuanya. Diva mengepal kuat, napasnya memburu, dada naik turun dengan cepat. Bulir-bulir air mata semakin deras, tak bisa berhenti sejak dia keluar dari ruangan Arkan. Persetan dengan orang-orang yang berlalu-lalang dan tatapan mereka yang beraneka ragam. Dia hanya ingin meluapkan perasaannya. Keluar dari ruangan Arkan, Diva tidak langsung pulang. Dia memilih mengikuti kakinya membawanya ke mana. Taman kota bukan tempat yang buruk untuk menyendiri. Meskipun ramai, tapi mereka mempunyai kesibukan masing-masing. Tak ada yang peduli dengan wanita yang menangis, mereka pasti berpikir jika si wanita baru saja putus cinta atau memiliki masalah lainnya. Orang-orang itu menatapnya. tapi mereka hanya membiarkannya saja. Diva bersyukur ibu kota secuek kota besar lainnya di dunia. Dia bisa 'bers
Juna menggeleng beberapa kali, mengerjap-ngerjapkan mata untuk memastikan penglihatannya tidak bermasalah. Wanita yang berdiri di depannya adalah Diva. Astaga!"Be, ini beneran kamu?" Gemetar tangan Juna menyentuh pipi yang dipenuhi air mata. Pipi itu hangat, tidak sedingin seperti kondisi seseorang yang sudah meninggal. Hanya air nata yang membuatnya terasa dingin. Apakah ia bermimpi? Namun, kenapa mimpinya kali ini terasa nyata? Ia dapat menyentuh Diva, dapat mencium aromanya yang khas –wangi susu. "Juna." Dada Diva terasa mau meledak setiap kali dia menyebutkan nana itu. Benar, ini adalah pria di dalam mimpinya. Meskipun dia tidak mengingatnya, tapi ia hafal dengan suaranya, juga panggilan khas yang biasanya didengarnya di dalam mimpi. "Kamu Juna?" Juna mengangguk. Tersenyum geli mendengar pertanyaan itu. Ia masih menganggap ini semua adalah mimpi, tidak nyata. Diva pasti kasihan melihatnya sendirian di taman ini sehingga turun dari atas sana untuk menemaninya. Diva versi dewasa
Suasana taman tiba-tiba menjadi sepi, seolah hanya ada mereka berdua saja di sana, sementara yang lainnya seakan menghilang. Sista embusan angin dan suara bising kendaraan di jalan raya pun tak tertangkap oleh indra pendengaran Diva. Kedua telinganya seolah tuli dengan suara-suara yang berasal dari luar, tertutup oleh segala macam pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya yang disebabkan oleh perkataan Juna. Dia sudah meninggal sebelas tahun yang lalu? Astaga! Bagaimana bisa? Siapa yang memberitahunya seperti itu? Siapa yang mengatakan itu? Dia belum mati, masih hidup. "Kamu, 'kan, udah meninggal, Be. Gimana kamu bisa di sini?" Tak hanya Juna yang mengucurkan air mata, bulir-bulir bening juga meluncur di pipi mulus Diva. Kepalanya menggeleng, menyangkal semua yang dikatakan Juna. "Be, ini ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Ia kesusahan mencari kosakata yang tepat untuk menggambarkan kebingungannya saat ini. "Aku masih hidup, Juna. Aku belum mati." Diva makin terisak. Tida
Sejak tiba tadi, Kevin sudah dibuat kebingungan dengan sikap Juna. Wajahnya pucat dan terlihat sangat panik. Ada seorang wanita di pelukannya, dan sepertinya ia mengenal wanita itu, tapi lupa pernah melihatnya di mana, wajahnya seolah tak asing. Wanita itu juga pucat. Yang lebih membuatnya heran adalah mata Juna yang memerah, dan setelah diamati lebih seksama ada jejak air mata di pipinya. Juna baru saja menangis. Setahunya, Juna sangat kuat, tak ada yang bisa membuatnya menangis kecuali Diva. Hati-hati Juna mendudukkan Diva di jok belakang. Mengitari separuh bagian mobil dengan setengah berlari setelah menutup pintu. "Lu yang bawa, Vin!" serunya. "Cepetan, ya! Hidung Diva mimisan!" Juna masuk ke jok belakang di samping Diva, kembali memeluk dan menyadarkan kepala Diva di bahunya. "Be, kamu masih sadar, 'kan?" Tak ada jawaban, Juna hanya merasakan kepala di bahunya bergerak ke atas dan ke bawah, Diva mengangguk, memberitahu jika dia masih bisa bertahan. Kevin mengernyit. Be? Kenapa
"Nggak ada apa-apa di dalam makam Diva, peti matinya kosong." Seandainya mereka tidak sedang berada di rumah sakit, wajah tampan itu pasti sudah babak-belur dihajarnya. Juna mengepalkan kedua tangannya kuat sampai buku-buku jarinya memutih, ia menahan amarah. Begitu mudahnya Arkan mengatakannya, tidak ada tubuh Diva di makamnya, makam itu palsu, dan ia dengan bodohnya percaya jika tubuh tak bernyawa Diva terbaring di sana. Bahkan sempat tidur di makam itu. Ia sangat ingin menyela, tapi juga ditahannya mati-matian. Ia ingin mendengar semuanya lebih dulu, setelah itu baru melancarkan pertanyaan yang menumpuk di dalam kepalanya. "Waktu jantung Diva emang udah nggak berdetak lagi, dia juga kehilangan banyak darah makanya dinyatakan dokter meninggal." Arkan menghela napas, menatap ke dalam ruang ICU, berusaha untuk mencari tahu apa saja yang dilakukan dokter untuk menolong sepupunya. "Pas lu pingsan, mayat Diva juga udah ditutupin nggak tau kenapa perawat yang bertugas melepas semua pera
Juna mendengkus, masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Diva. Namun, ada satu yang membuatnya harus mengenyampingkan perasaan bersalah itu. Masih ada satu pertanyaannya yang belum terjawab. Saat hari pemakaman, sebelumnya dia melihat Diva di dalam peti mati. Ia bahkan menciumnya dan merasakan kulitnya yang dingin. Ia yakin itu memang manyat, 'kan, atau ia salah. Itu bukan mayat Diva, tetapi boneka yang didandani dan diserupakan seperti Diva. Manekin!"Mayat ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Tidak mungkin ia mengatakan mayat Diva. Hei, wanitanya masih hidup! Diva baik-baik saja, dokter sedang memeriksanya di dalam sana. Sebagai gantinya, ia mengibaskan kedua tangan dengan kacau. Arkan berdeham. Ia sudah menyangka pasti Juna akan menanyakan hal itu. "Kayaknya biar pun nggak gue kasih tau lu tetap bakalan ngehajar gue, 'kan, Jun?" tanyanya terkekeh lagi. "Jadi, mending gue kasih tau lu aja, deh, biar lu puas." Juna memutar bola mata. Arkan benar-benar menguji kesaba