Share

BAB 2

Puspa gemetar sebadan-badan, tubuhnya jadi lemas layaknya jeli. Dia bahkan tidak menyadari jika ada orang lain yang saat ini sedang menopang berat tubuhnya tanpa persiapan sama sekali. 

Dan di posisi seperti itu, yang paling dirugikan jelas adalah Hakam. Punggungnya terasa seperti remuk, belum lagi fakta bahwa dia harus menahan massa seorang perempuan dewasa yang beratnya jelas tidak seringan anak-anak. 

Melihat bahwa Puspa tidak bergerak sama sekali, Hakam menghela napas dan berdiam diri sejenak. Sebetulnya, dia pernah berada di posisi yang sama. Hanya saja waktu itu yang menimpa tubuhnya adalah anak lelakinya sendiri. Mereka jelas memiliki ciri khas yang sama pasca terjatuh, yaitu badan gemetar tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dan hal ini pula yang Hakam rasakan pada Puspa.

Setelah beberapa menit terlewati, tubuh Puspa akhirnya jadi sedikit rileks. Hakam pun membuat suara deheman kecil, menyadarkan Puspa betapa ambigunya posisi mereka saat ini. 

“M-maaf, Pak.” Puspa berusaha menopang berat tubuhnya menggunakan kedua tangannya. Namun, hanya satu detik Ia bertahan sebelum jatuh lagi ke pelukan Hakam. Dan lebih parahnya lagi, ada berita buruk lain, dimana posisi mereka yang sebelumnya sudah ambigu, kini jadi semakin ambigu lantaran buah dada Puspa saat ini berada tepat di depan Hakam. Menenggelamkan seluruh area wajah lelaki itu di antara bongkahan daging lembut yang cukup membuat semua cucu adam frustasi hanya dengan melihatnya.

“MAAF, PAK!” Puspa pun menjerit karena makin panik. Dan dengan begitu, dia juga makin berusaha keras mengerahkan semua tenaga untuk bangun dan menjauh dari tubuh Hakam. Kali ini memang berhasil, hanya saja posisinya masih duduk, belum bisa berdiri akibat kedua kakinya yang masih lemas dan mati rasa. 

Sementara itu, perlahan-lahan Hakam juga berdiri. Menatap mata Puspa dengan tatapan setajam pisau daging, dia berkata, “Lain kali kamu sengaja melakukannya lagi, jangan kaget jika isi kepalamu berhamburan.”

Puspa yang masih syok, merasa malu sekaligus kesal. Dia pikir siapa yang sengaja terjatuh secara dramatis begitu? Lagipula tidak ada untungnya juga, kan? Yang ada, namanya jadi tercoreng lantaran akan dilihat oleh mata orang lain sebagai kejadian konyol yang sangat memalukan.

“Puspa!” Salsa berteriak dari anak tangga. Tanpa memperdulikan tubuh si pencuri yang masih pingsan, dia melompat begitu saja dan segera membantu rekannya berdiri. 

“Sudah telepon polisi, kan?” Tanya Puspa yang segera mendapat anggukan mantap dari Salsa. 

Dan benar saja, hanya selang beberapa detik setelah Salsa menganggukkan kepala, beberapa lelaki berseragam sama datang melewati pintu depan. Puspa dan Salsa tentu saja jadi saksi, yang kemudian diajak berunding serta dimintai keterangan. 

“Terimakasih atas kerjasamanya,” selesai dengan semua pertanyaan, Polisi itu menjabat tangan Salsa dan Puspa secara bergantian, sebelum akhirnya pamit undur diri dengan membawa tersangka pencurian untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Salsa menghela nafas, kemudian menatap wajah Puspa yang masih nampak pucat seakan kehabisan darah. “Istirahat dulu, ya. Kamu pasti syok banget,” Salsa membantu Puspa berdiri dan membawanya ke ruang tunggu paling dekat dengan posisi mereka saat ini.

Disana, Puspa meneguk habis air mineral dari dalam wadah 200 mili. Menatap wajah Salsa, dia bergumam sambil menggelengkan kepala. “Yang tadi itu super menakutkan!”

“Kamu itu, lho, yang cerobohnya keterlaluan,” sambar Salsa dengan ekspresi kesal. “Bisa-bisanya main dorong di dekat tangga, untung selamat.” Lanjutnya masih dengan intonasi kesal yang sama seperti sebelumnya.

“Eh, bicara soal selamat, Pak Hakam ternyata masih disini, loh.” Imbuh Salsa yang sengaja merubah topik pembicaraan.

Puspa memutar mata, “Terus kenapa?”

“Yeuu .. masih belum paham juga. Ya, kamu harus berterima kasih, dong.” Salsa memukul pelan kepala Puspa. Kemudian, seakan teringat sesuatu, dia melanjutkan, “Ternyata, dia datang kesini juga bukan tanpa alasan. Tetua di keluarga mereka meninggal.”

Puspa langsung nyambung, “Tetua di keluarga Astana meninggal? Neneknya atau Kakeknya?”

“Tetua yang perempuan. Aku dengar meninggalnya tepat dini hari tadi, dan mereka butuh jasa kita, katanya,” jawab Salsa.

“Memang mayatnya sudah di antar?” tanya Puspa yang langsung dijawab gelengan kecil dari Salsa.

“Belum, masih dalam perjalanan,” Salsa tiba-tiba menjatuhkan diri ke sandaran sofa belakang. “Nanti kamu harus berterimakasih loh, sama Pak Hakam. Dia yang selamatkan kamu.”

Puspa pun seketika diingatkan akan dada bidang yang penuh aroma lelaki dewasa itu. Sayangnya, ada kejadian yang kurang mengenakkan, yang seharusnya tidak pernah terjadi di antara mereka. Walau sejujurnya, dia memang suka tipe lelaki yang lebih tua darinya. Apalagi yang tampan dan mapan seperti Hakam Astana. 

“Tapi sifatnya menakutkan, ya. Kamu pasti sering dengar tentang rumor keluarga Astana.” Timpal Salsa, lagi, yang seketika membuyarkan khayalan indah Puspa Paramita.

Puspa mengangguk, “Keluarga rentenir,” gumamnya pelan, yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.

“Banyak yang bersaksi, pernah melihat Hakam Astana menembak mati para penghutang yang meminjam uang padanya.” Salsa pun melanjutkan gosipnya. Tentu saja, di antara mereka berdua, yang paling up to date tentang banyak hal di sekitar mereka, jelas Salsabila.

Puspa bergidik ngeri, “Aku juga pernah dengar, tapi pasti ada alasannya, kan? Mana mungkin asal tembak orang tanpa alasan yang jelas.” Tanpa sadar, Puspa memberi pembelaan terhadap rumor kekejaman Hakam. Hal itu jelas di sadari oleh Salsa, yang kemudian ia jadikan sebagai bahan olokan kepada temannya itu.

“Ya, ampun. Baru sekali di peluk, itu pun bukan disengaja, kamunya sudah klepek-klepek.” Salsa menggelengkan kepala sambil tersenyum jahil.

Puspa mendelik kesal, namun pipinya jelas agak merona. “Jangan asal bicara, kamu lupa siapa dia? Lagipula, dia ‘kan sudah punya keluarga sendiri.”

Seakan diingatkan akan sesuatu, Salsa tiba-tiba memukul keras pundak Puspa. “Astaga, aku baru ingat! Kamu tahu, rumah tangga Pak Hakam rumornya lagi kena badai. Banyak yang bilang mereka bakal ... cerai.”

Puspa terkejut, kemudian pura-pura tak peduli. “Sudahlah, bukan urusan kita.”

***

Hakam memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana. Seseorang barusan menelepon, orang gila itu terus mengungkit soal sidang perceraian yang akan mereka lakukan. Jujur saja, beberapa kali Hakam menolak keputusan sang istri yang meminta pisah. Bukannya dia cinta, hanya saja Hakam memikirkan perasaan putra mereka. Hamun Ihatra Astana, anak itu jelas masih membutuhkan kasih sayang dari ibu kandungnya. Namun, sayangnya, Zara Naila, calon mantan istrinya itu hanya memikirkan dirinya sendiri.

“Pak Hakam?” Puspa datang dan menyapa. Sebenarnya, dia sudah sejak tadi memperhatikan Hakam berdiri diam di bawah pohon itu, namun baru sekarang Ia berani membuka suaranya.

Hakam berbalik dan menatap mata Puspa. “Kakimu tidak patah?” Pertanyaan aneh yang membuat Puspa bingung untuk menjawabnya.

Gadis muda itu tertawa canggung, kemudian mengangguk dan berkata, “Terimakasih karena menyelamatkan saya.”

“Cuma kebetulan. Kalau aku sedang tidak butuh jasa kalian, sebenarnya aku tidak peduli.” Hakam memantik sebatang rokok dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

Puspa hanya bisa meringis kecil, merasa bahwa sikap Hakam terlalu kasar dan blak-blakan. Juga, bukankah yang seharusnya marah itu dia? Jangan lupakan sikap menyebalkan Hakam di awal pertemuan mereka tadi. 

Namun, apa mungkin dia masih bisa kesal sementara yang menyelamatkan nyawanya tadi adalah orang yang sama yang juga menghinanya? Kemungkinan kecil memang masih marah, namun selebihnya jelas sudah pudar.

Kendati demikian, tetap saja Puspa bertanya-tanya dalam hati kecilnya. ‘Keluarga Astana ini, apa mereka semua bersikap seperti ini, ya.’ Batinnya. Untung saja dia tidak bekerja sebagai pelayan keluarga itu. Kalau tidak, mungkin dia sudah mati bunuh diri karena sakit hati.

“Aku anggap ini sebagai hutang. Kau tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini,” Hakam tiba-tiba membuka mulutnya. Mengucapkan kalimat angkuh yang membuat Puspa agak menyesal karena sudah diselamatkan oleh Iblis kejam macam Hakam.

Puspa pun mencoba tetap tenang, “Berapa yang harus saya bayar?” Tanyanya dengan berani.

“Aku tidak butuh uang. Simpan saja untuk sementara, mungkin suatu saat nanti aku membutuhkan jasamu lagi sebagai agen mayat, atau ... bantuan yang lainnya? Siapa yang tahu.” Membuang puntung rokok di dalam genangan air, Hakam beralih menatap mata Puspa. “Nenekku sebentar lagi sampai, bersiaplah.” Titah Hakam yang entah bagaimana berhasil membuat Puspa menurut tanpa perlawanan.

Gadis itu beranjak pergi, dan tanpa sadar jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa, hutang yang dibicarakan Hakam barusan terdengar ambigu dan terus membuatnya kepikiran. ‘Aih, aku berpikir apa, sih.’ Puspa menggelengkan kepala dan mencoba fokus lagi pada pekerjaannya.

Tidak sampai satu jam, sebuah mobil yang jelas masuk dalam kategori mahal memasuki halaman Rumah Duka. Salsa dan Puspa bergegas kesana untuk mengambil alih mayat si Nenek untuk kemudian dipersiapkan dalam peti mati.

“Hati-hati, sehelai rambut Nenek kami sangat berharga. Nyawamu bahkan tidak sepadan.” Seorang wanita cantik menepis tangan Puspa yang hendak menyentuh bagian tubuh si Nenek. Dia adalah istri Hakam, Zara Naila.

Pakaiannya khas berkabung, hitam-hitam, namun masih membentuk lekuk tubuhnya yang berbentuk seperti biola. Dalam hati, Puspa mengeluh, ‘Ternyata benar, sepertinya semua orang di keluarga kaya sangat sombong seperti ini. Merepotkan!’ Batinnya. Kemudian menatap wajah Zara dengan ekspresi rendah hati.

“Maaf, saya harus memindahkan mayat ini ke dalam Rumah Duka. Jika saya dan teman saya tidak di perkenankan menyentuh bahkan sehelai rambutnya saja, mungkinkah Nyonya ini ingin mengangkat jasadnya sendiri?” Sudah cukup terus di remehkan, Puspa merasa perlu memberi pelajaran pada orang-orang kaya yang sombong ini.

Zara pada dasarnya tidak pernah ditentang oleh siapapun, dia merasa sangat kesal ketika gadis miskin seperti Puspa menjawab dengan sarkasme atas kalimat yang disampaikan. “Kamu mengejekku?” Tanya Zara dengan ekspresi tidak senang. “Aku bilang, hati-hati. Apa telingamu tidak pernah di bawa ke dokter telinga? Sudah rusak, ya?”

Puspa sebenarnya masih ingin berdebat, namun Salsabila dengan cepat mendahului. “Tolong maafkan teman saya, kadang-kadang dia memang bicara seperti itu. Nyonya tenang saja, kami selalu hati-hati dalam memperlakukan semua jenazah yang datang. Anda tidak perlu khawatir.”

Zara berdecak pelan, mengabaikan dua gadis itu dan berjalan keluar dari mobil, mendatangi Hakam yang terlihat sedang berjalan mendekat ke arahnya. Melihat Hakam dengan wajah angkuhnya itu, seperti biasa, Zara tidak terkejut. Sebaliknya, dia dengan mesra langsung memeluk leher sang suami dan berbisik di telinganya.

“Setelah pemakaman Nenek selesai, sebaiknya kamu bersiap untuk sidang perceraian kita.” Zara mundur dan membenarkan kerah kemeja sang suami. “Hamun pasti akan pulang bersama Ibunya. Aku jamin, aku yang akan memenangkan hak asuhnya di persidangan nanti, Suamiku.” Zara tersenyum manis, namun jelas menyiratkan perasaan lain di balik senyuman itu.

Menatap mata Zara, Hakam mengangkat ujung bibirnya, menyeringai kecil dan membalas dengan singkat. “Semoga berhasil,” ujarnya, kemudian pergi menyusul yang lain masuk ke Rumah Duka. Meninggalkan Zara yang masih berdiri diam dengan kedua tangan mengepal erat.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status