Share

BAB 3

Setelah pertemuannya dengan Hakam barusan, semua kembali seperti biasa. Puspa sibuk dengan jenazah si nenek tua yang di gadang-gadang punya harga melebihi harga dirinya. Setelah beberapa waktu sibuk dengan semua persiapan jenazahnya di dalam peti mati, tugas Puspa akhirnya selesai. Dia dan Salsa bersiap untuk pulang dengan keadaan lelah, seperti biasanya.

“Kamu yakin, pulang sendiri?” Salsa bertanya pada Puspa untuk yang kesekian kali. Biasanya, dia akan mengantar temannya itu sampai ke halte bus depan sana. Karena posisi Rumah Duka masuk ke dalam gang, yang cukup jauh dari jalan raya.

Puspa memutar mata, “Memangnya aku punya pilihan? Kamu sendiri yang bilang ada urusan, ya sudah tidak apa-apa. Halte depan tidak terlalu jauh, kok.”

Walaupun merasa bersalah, Salsa tidak bisa mengabaikan urusannya yang satu ini, sehingga dia benar-benar harus pergi sekarang. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Kamu hati-hati!” Motor matic itu dinyalakan, kemudian rodanya berputar meninggalkan area Rumah Duka.

Sampai sini, pekerjaan mereka memang sudah selesai. Dia dan Salsa hanya bertugas mempersiapkan mayat di dalam peti mati. Urusan kubur dan lain-lain sudah ada bagiannya sendiri.

Melihat langit yang agak mendung, Puspa jadi agak ngeri. Dia alergi hawa dingin. Jika suhu tubuhnya tidak dalam kondisi yang hangat saat hujan turun, bersin-bersin seratus kali mungkin akan Ia alami.

“Semoga tidak turun hujan, ya.” Gumam Puspa. Selain takut kena dingin, dia juga takut kena sembur Ibunya jika pulang telat dan melewatkan doa sore di gereja. Ya, walaupun seringnya memang begitu, sih.

Karena tidak punya pilihan, Puspa memutuskan untuk jalan kaki saja. Setelah melewati gang ini, dia akan langsung menunggu di halte seperti biasa. Namun, sesaat kemudian, Puspa melihat mobil ambulan lewat dengan sirine yang memekakkan telinga. Puspa tebak, itu pasti jenazah Nenek dari keluarga Astana yang sedang dalam perjalanan menuju area pemakaman.

Puspa abai saja, toh bukan urusannya. Hanya saja, sesuatu terjadi. Klakson mobil tiba-tiba berbunyi tepat di samping tubuhnya. Puspa menoleh untuk melihat siapa pelakunya.

“Hai, butuh tumpangan?” Ketika kaca mobil di turunkan, sosok Zara Naila yang tersenyum pada Puspa membuat suasana menjadi agak aneh.

Sejak kapan dia jadi ramah.’ Pikir Puspa curiga. Jelas-jelas beberapa saat lalu orang ini merendahkannya. Walau begitu, dengan bodohnya Puspa malah menanggapi. “Apa boleh?” tanyanya, ragu.

“Boleh, kok.” Zara tersenyum lebar, namun detik berikutnya memasang wajah sinis. “Tapi jangan masuk mobil. Di bagasi, mau?”

Nah, kan. Aku bilang juga apa.’ Menyalahkan kebodohannya sendiri, Puspa harus menerima kenyataan pahit karena sudah masuk ke dalam perangkap memalukan yang di buat oleh Zara.

Melihat raut kesal Puspa, Zara merasa sangat puas. “Dasar kampungan, kamu pikir mobilku selevel dengan orang udik sepertimu? Sudah bagus kamu punya kaki, jadi masih bisa berjalan. Tapi kalau tidak punya pun tidak masalah, sih. Kan bisa mengesot di tanah,” ejeknya dengan raut bahagia sambil tertawa kencang, kemudian menutup kaca mobil sebelum meninggalkan Puspa yang masih berdiri disana seperti orang bodoh.

Untungnya, Puspa sudah kenyang hinaan. Dirinya sudah berpengalaman jadi korban diskriminasi sejak sekolah dasar. Malahan dulu pelakunya main fisik, jadi kalimat tajam seperti itu sama sekali tidak mempengaruhi emosinya.

“Butuh tumpangan?” Kali ini, mobil lain berhenti lagi dan membuka kaca. Memperlihatkan wajah tampan orang asing yang entah siapa.

Tidak ingin mengulang kesalahan yang sama, Puspa tanpa ragu menolak. “Tidak usah, terimakasih.” Tolaknya, sopan. Kemudian berjalan menjauh, berharap mobil itu mengabaikannya saja daripada pura-pura sok baik yang ujung-ujungnya pasti cuma tipuan.

Dan benar saja, kalimat selanjutnya yang Puspa dengar mirip-mirip dengan yang terakhir di sebutkan Zara. “Dasar udik, diberi tumpangan malah di tolak. Sudahlah miskin, berlagak sombong pula. Amit-amit, deh. Cus, ah, cyinn ...” lelaki tampan di dalam mobil itu akhirnya menunjukkan sifat aslinya.

Puspa abai saja, bahkan saat mobil itu lewat di sampingnya dengan suara gas kasar yang sengaja di buat untuk mengejeknya. ‘Dasar lelaki jadi-jadian, sudahlah ngondek, berlagak manly pula.’ Batin Puspa menirukan kalimat si lelaki gemulai yang baru saja bicara dengannya.

“Bisa-bisanya orang seperti mereka hidup kaya, tidak kelihatan elegan sama sekali. Berarti semua drama korea yang sering aku tonton itu cuma tipuan, ya. Buktinya, mereka jauh lebih urakan dari orang rendahan kaya aku.” Puspa geleng-geleng kepala. Kemudian melanjutkan jalan kaki menuju halte di depan sana.

“Papa, stop.” Dari dalam sebuah mobil, seorang anak lelaki melihat ke luar jendela dan meminta sang Ayah menghentikan laju mobil.

Hakam mengerutkan kening, menebak apa kiranya yang sedang di pikirkan sang putra, Hamun, ketika melihat Puspa sedang berjalan sendirian di pinggir jalan. “Hamun, jangan macam-macam.” Hakam memperingatkan dengan nada mengancam.

Namun anak itu jelas tidak merasa takut sama sekali, dia justru balas menatap wajah sang Ayah dengan ekspresi serius. “Mendiang Nenek buyut berkata, seorang perempuan tidak boleh di biarkan jalan sendiri. Itu berbahaya, Papa!”

“Hanya perempuan dari keluarga kita, dia orang luar. Lupakan saja.” Jawab Hakam yang segera mendapat balasan mata mendelik dari sang putra.

“Nenek buyut tidak bilang begitu. Nenek dan Kakek juga tidak bilang begitu. Cuma Papa yang berbeda. Artinya, Papa bohong! Iya, kan?!”

Menghela napas, Hakam menyerah berdebat dengan Hamun. Bagaimanapun juga, anak itu adalah darah dagingnya. Sifat keras kepala seperti itu jelas turunan genetik dari dirinya sendiri, Hakam tidak bisa marah akan hal tersebut.

“Hanya sekali ini saja!” Hakam berkata dengan menekankan setiap kata, juga tak lupa ekspresi menakutkan untuk membuat anaknya diam. Namun, jelas Hamun tidak puas. Baginya, dia selalu ingin menolong semua perempuan yang berjalan sendiri.

“Tiga kali?” Tawar Hamun.

Hakam pun mendelik, “Sekali atau tidak sama sekali.”

“Deal! Sekali ini saja!” Berdecak kesal, Hamun juga akhirnya menyerah berdebat dengan sang Ayah.

Sementara itu, Puspa yang sedang berjalan sambil memikirkan banyak hal, jelas tidak menyadari keributan yang terjadi di sekitarnya. Hanya ketika klakson mobil berdengung di telinganya, Ia kembali ke kenyataan dan hanya cengo saat melihat wajah tampan Hakam muncul dari balik jendela mobil Fortuner hitam; persis berada di sampingnya.

“Naik.” Hakam berkata singkat sambil memijat pangkal hidungnya. Sejujurnya, itu bukan permintaan, melainkan perintah mutlak. Benar-benar ciri khas gaya bicaranya orang kaya yang selalu seenak jidat!

Puspa jelas belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Hanya ketika wajah imut Hamun muncul di samping Hakam, gadis itu akhirnya sadar. “Eh, kalian sedang apa? Rombongan keluarga Astana sudah pergi sejak tadi.”

Hamun menjulurkan jari telunjuknya, menunjuk ke arah Puspa. “Ayo naik, biar aku antar kamu pulang. Nenekku berkata seorang perempuan tidak boleh jalan sendirian. Bahaya!”

Puspa berkedip beberapa kali, ‘Apa anak ini juga pandai menipu? Wah, aktingnya bagus sekali.’ Batinnya yang mengira mereka sama dengan dua orang yang barusan mengejeknya.

“Hei, Kakak yang cantik, kamu mau naik tidak? Sebentar lagi hujan, loh.” Hamun berkedip bingung.

Melihat betapa polosnya tatapan anak itu, Puspa akhirnya menyadari bahwa seorang anak hanyalah anak-anak. Mana mungkin mereka sama seperti orang-orang gila yang barusan membuatnya kesal. Namun, untuk memastikan benar atau tidaknya, Puspa mencoba menolak sekali lagi. “Tidak usah, terimakasih.”

Hamun memasang ekspresi tidak senang. Puspa awalnya mengira anak itu akan mengatainya udik atau kalimat kejam lain. Namun dia salah, karena anak lelaki itu justru tetap pada keinginannya. “Jangan menolak. Lihat, sudah gerimis. Tidak ada waktu lagi atau kamu akan kehujanan!”

Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa.

“Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status