Setelah pertemuannya dengan Hakam barusan, semua kembali seperti biasa. Puspa sibuk dengan jenazah si nenek tua yang di gadang-gadang punya harga melebihi harga dirinya. Setelah beberapa waktu sibuk dengan semua persiapan jenazahnya di dalam peti mati, tugas Puspa akhirnya selesai. Dia dan Salsa bersiap untuk pulang dengan keadaan lelah, seperti biasanya.
“Kamu yakin, pulang sendiri?” Salsa bertanya pada Puspa untuk yang kesekian kali. Biasanya, dia akan mengantar temannya itu sampai ke halte bus depan sana. Karena posisi Rumah Duka masuk ke dalam gang, yang cukup jauh dari jalan raya.
Puspa memutar mata, “Memangnya aku punya pilihan? Kamu sendiri yang bilang ada urusan, ya sudah tidak apa-apa. Halte depan tidak terlalu jauh, kok.”Walaupun merasa bersalah, Salsa tidak bisa mengabaikan urusannya yang satu ini, sehingga dia benar-benar harus pergi sekarang. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Kamu hati-hati!” Motor matic itu dinyalakan, kemudian rodanya berputar meninggalkan area Rumah Duka.Sampai sini, pekerjaan mereka memang sudah selesai. Dia dan Salsa hanya bertugas mempersiapkan mayat di dalam peti mati. Urusan kubur dan lain-lain sudah ada bagiannya sendiri.Melihat langit yang agak mendung, Puspa jadi agak ngeri. Dia alergi hawa dingin. Jika suhu tubuhnya tidak dalam kondisi yang hangat saat hujan turun, bersin-bersin seratus kali mungkin akan Ia alami.“Semoga tidak turun hujan, ya.” Gumam Puspa. Selain takut kena dingin, dia juga takut kena sembur Ibunya jika pulang telat dan melewatkan doa sore di gereja. Ya, walaupun seringnya memang begitu, sih.Karena tidak punya pilihan, Puspa memutuskan untuk jalan kaki saja. Setelah melewati gang ini, dia akan langsung menunggu di halte seperti biasa. Namun, sesaat kemudian, Puspa melihat mobil ambulan lewat dengan sirine yang memekakkan telinga. Puspa tebak, itu pasti jenazah Nenek dari keluarga Astana yang sedang dalam perjalanan menuju area pemakaman.Puspa abai saja, toh bukan urusannya. Hanya saja, sesuatu terjadi. Klakson mobil tiba-tiba berbunyi tepat di samping tubuhnya. Puspa menoleh untuk melihat siapa pelakunya.“Hai, butuh tumpangan?” Ketika kaca mobil di turunkan, sosok Zara Naila yang tersenyum pada Puspa membuat suasana menjadi agak aneh.‘Sejak kapan dia jadi ramah.’ Pikir Puspa curiga. Jelas-jelas beberapa saat lalu orang ini merendahkannya. Walau begitu, dengan bodohnya Puspa malah menanggapi. “Apa boleh?” tanyanya, ragu.“Boleh, kok.” Zara tersenyum lebar, namun detik berikutnya memasang wajah sinis. “Tapi jangan masuk mobil. Di bagasi, mau?”‘Nah, kan. Aku bilang juga apa.’ Menyalahkan kebodohannya sendiri, Puspa harus menerima kenyataan pahit karena sudah masuk ke dalam perangkap memalukan yang di buat oleh Zara.Melihat raut kesal Puspa, Zara merasa sangat puas. “Dasar kampungan, kamu pikir mobilku selevel dengan orang udik sepertimu? Sudah bagus kamu punya kaki, jadi masih bisa berjalan. Tapi kalau tidak punya pun tidak masalah, sih. Kan bisa mengesot di tanah,” ejeknya dengan raut bahagia sambil tertawa kencang, kemudian menutup kaca mobil sebelum meninggalkan Puspa yang masih berdiri disana seperti orang bodoh.Untungnya, Puspa sudah kenyang hinaan. Dirinya sudah berpengalaman jadi korban diskriminasi sejak sekolah dasar. Malahan dulu pelakunya main fisik, jadi kalimat tajam seperti itu sama sekali tidak mempengaruhi emosinya.“Butuh tumpangan?” Kali ini, mobil lain berhenti lagi dan membuka kaca. Memperlihatkan wajah tampan orang asing yang entah siapa.Tidak ingin mengulang kesalahan yang sama, Puspa tanpa ragu menolak. “Tidak usah, terimakasih.” Tolaknya, sopan. Kemudian berjalan menjauh, berharap mobil itu mengabaikannya saja daripada pura-pura sok baik yang ujung-ujungnya pasti cuma tipuan.Dan benar saja, kalimat selanjutnya yang Puspa dengar mirip-mirip dengan yang terakhir di sebutkan Zara. “Dasar udik, diberi tumpangan malah di tolak. Sudahlah miskin, berlagak sombong pula. Amit-amit, deh. Cus, ah, cyinn ...” lelaki tampan di dalam mobil itu akhirnya menunjukkan sifat aslinya.Puspa abai saja, bahkan saat mobil itu lewat di sampingnya dengan suara gas kasar yang sengaja di buat untuk mengejeknya. ‘Dasar lelaki jadi-jadian, sudahlah ngondek, berlagak manly pula.’ Batin Puspa menirukan kalimat si lelaki gemulai yang baru saja bicara dengannya.“Bisa-bisanya orang seperti mereka hidup kaya, tidak kelihatan elegan sama sekali. Berarti semua drama korea yang sering aku tonton itu cuma tipuan, ya. Buktinya, mereka jauh lebih urakan dari orang rendahan kaya aku.” Puspa geleng-geleng kepala. Kemudian melanjutkan jalan kaki menuju halte di depan sana.“Papa, stop.” Dari dalam sebuah mobil, seorang anak lelaki melihat ke luar jendela dan meminta sang Ayah menghentikan laju mobil.Hakam mengerutkan kening, menebak apa kiranya yang sedang di pikirkan sang putra, Hamun, ketika melihat Puspa sedang berjalan sendirian di pinggir jalan. “Hamun, jangan macam-macam.” Hakam memperingatkan dengan nada mengancam.Namun anak itu jelas tidak merasa takut sama sekali, dia justru balas menatap wajah sang Ayah dengan ekspresi serius. “Mendiang Nenek buyut berkata, seorang perempuan tidak boleh di biarkan jalan sendiri. Itu berbahaya, Papa!”“Hanya perempuan dari keluarga kita, dia orang luar. Lupakan saja.” Jawab Hakam yang segera mendapat balasan mata mendelik dari sang putra.“Nenek buyut tidak bilang begitu. Nenek dan Kakek juga tidak bilang begitu. Cuma Papa yang berbeda. Artinya, Papa bohong! Iya, kan?!”Menghela napas, Hakam menyerah berdebat dengan Hamun. Bagaimanapun juga, anak itu adalah darah dagingnya. Sifat keras kepala seperti itu jelas turunan genetik dari dirinya sendiri, Hakam tidak bisa marah akan hal tersebut.“Hanya sekali ini saja!” Hakam berkata dengan menekankan setiap kata, juga tak lupa ekspresi menakutkan untuk membuat anaknya diam. Namun, jelas Hamun tidak puas. Baginya, dia selalu ingin menolong semua perempuan yang berjalan sendiri.“Tiga kali?” Tawar Hamun.Hakam pun mendelik, “Sekali atau tidak sama sekali.”“Deal! Sekali ini saja!” Berdecak kesal, Hamun juga akhirnya menyerah berdebat dengan sang Ayah.Sementara itu, Puspa yang sedang berjalan sambil memikirkan banyak hal, jelas tidak menyadari keributan yang terjadi di sekitarnya. Hanya ketika klakson mobil berdengung di telinganya, Ia kembali ke kenyataan dan hanya cengo saat melihat wajah tampan Hakam muncul dari balik jendela mobil Fortuner hitam; persis berada di sampingnya.“Naik.” Hakam berkata singkat sambil memijat pangkal hidungnya. Sejujurnya, itu bukan permintaan, melainkan perintah mutlak. Benar-benar ciri khas gaya bicaranya orang kaya yang selalu seenak jidat!Puspa jelas belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Hanya ketika wajah imut Hamun muncul di samping Hakam, gadis itu akhirnya sadar. “Eh, kalian sedang apa? Rombongan keluarga Astana sudah pergi sejak tadi.”Hamun menjulurkan jari telunjuknya, menunjuk ke arah Puspa. “Ayo naik, biar aku antar kamu pulang. Nenekku berkata seorang perempuan tidak boleh jalan sendirian. Bahaya!”Puspa berkedip beberapa kali, ‘Apa anak ini juga pandai menipu? Wah, aktingnya bagus sekali.’ Batinnya yang mengira mereka sama dengan dua orang yang barusan mengejeknya.“Hei, Kakak yang cantik, kamu mau naik tidak? Sebentar lagi hujan, loh.” Hamun berkedip bingung.Melihat betapa polosnya tatapan anak itu, Puspa akhirnya menyadari bahwa seorang anak hanyalah anak-anak. Mana mungkin mereka sama seperti orang-orang gila yang barusan membuatnya kesal. Namun, untuk memastikan benar atau tidaknya, Puspa mencoba menolak sekali lagi. “Tidak usah, terimakasih.”Hamun memasang ekspresi tidak senang. Puspa awalnya mengira anak itu akan mengatainya udik atau kalimat kejam lain. Namun dia salah, karena anak lelaki itu justru tetap pada keinginannya. “Jangan menolak. Lihat, sudah gerimis. Tidak ada waktu lagi atau kamu akan kehujanan!”Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa.“Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman.Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa. “Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman. Dalam perjalanan, Hamun terus menatap wajah Puspa. Anak itu begitu terus terang dalam bertindak. Dia bahkan sengaja membalik posisi badan agar bisa terus melihat wajah Puspa. Gadis muda itu jelas tidak nyaman di perhatikan sampai sedemikian rupa, namun apalah daya, anak-anak seperti Hamun mana tahu perasaan orang dewasa, dan tentu tidak mau tahu terlepas dari apa yang mereka rasa. Sudah menjadi ciri khasnya anak-anak pada umumnya, jika kamu senang maka tunjukkanlah sikap bahwa kamu menyukainya. Begitupun sebaliknya. “Kamu sangat cantik,” Hamun tersenyum lebar. Menunjukkan deretan gigi yang tak sepenuhnya utuh. Satu gigi depannya ompong, terlihat lucu saat di perhatikan lebih dekat. Puspa tida
Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?” “Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam. Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!” Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu. “Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas
Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya. “Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. “Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain. Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa. Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalana
“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!” “Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara. Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera d
Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g
Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
"Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain