Ku usap bulir keringat di dahi. Kemudian, aku menatap ke arah wajah pemuda tampan yang terbaring kaku di dalam peti matinya.
"Akhirnya, selesai juga," ujarku sambil menghela nafas panjang.“Kasihan, ya. Masih muda tapi sudah meninggal. Iya ‘kan, Puspa?” Salsabila, seperti biasa, menyeletuk tidak sopan tanpa tahu tempat.Untung saja hanya ada kami berdua di ruangan ini. Dia adalah sahabat dekat sekaligus tim kerjaku di Agen Pemakaman. Ya, kalian tidak salah baca, aku selalu berurusan dengan mayat setiap hari. Termasuk si pemuda tampan yang meninggal akibat kecelakaan ini.Aku mendelik, menatap kesal ke arah Salsa. “Jangan sembarangan ngomong! Kalau ada yang dengar, kita berdua bisa dipecat!”Kulihat Salsa hanya tersenyum bodoh, kemudian kami kembali fokus menatap mayat lelaki muda yang sudah selesai di dandani dalam peti itu."Ya, mau bagaimana lagi? Habisnya dia ini definisi lelaki idaman semua wanita, lho. Lihat, wajahnya sangat tampan, keluarganya kaya raya, umurnya juga masih muda! Bisa-bisanya mati duluan dibanding orang tuanya." Salsa berdecak sambil menggelengkan kepala.Aku pun memutar bola mata, "Jangankan dia, pulang dari sini kamu meninggal pun bukan perkara mustahil, lho. Jangan suka berkomentar di depan jenazah, nanti nasibnya nular ke kamu, mau?""Duh, amit-amit!" Salsa bergidik, kemudian bersiap untuk pergi. "Aku mandi duluan, ya. Sebentar, kok. Janji!""Sebentarnya mandimu itu sama dengan dua kalinya aku mandi," Aku yang sudah hafal dengan kebiasaan Salsa, hanya bisa menggelengkan kepala. Apalagi ketika melihatnya sama sekali tak mengindahkan kalimatku.Alhasil, aku yang kelelahan dan berkeringat memutuskan turun ke lantai satu untuk mencari udara segar, di halaman gedung tempatku bekerja.***Karena hanya ada dua lantai di gedung ini, lift tidak disediakan. Puspa berjalan menuruni anak tangga terakhir, melewati meja resepsionis yang sepertinya sedang menerima tamu tak biasa.Puspa berpikir begitu karena dari gaya berpakaiannya, orang itu terlihat bukan seperti lelaki sembarangan."Aku berniat memakai jasa kalian. Hanya saja, aku perlu melihat bagaimana mekanismenya, tempat eksekusi jenazahnya, juga para pekerja yang bertugas menangani para mayat." Seorang lelaki dengan temperamen luar biasa dominan berbicara tegas tanpa senyum di wajahnya.Sang resepsionis terlihat sedikit gugup, namun ketika melihat Puspa lewat, matanya berbinar terang seolah melihat malaikat penolong yang siap membantunya."Puspa!" Panggilnya yang seketika membuat sang empu menghentikan langkah.Puspa berhenti, kemudian berbalik dan melihat dua pasang mata menatap ke arahnya dengan pandangan yang kontras berbeda.Yang satu terlihat berbinar bahagia, sementara yang lain jelas menunjukkan ekspresi hinaan di wajahnya. Lelaki yang entah siapa itu mengangkat sebelah alis, menatap Puspa seolah dia adalah sampah buangan di atas genangan air comberan yang berbau busuk.Puspa mungkin tidak sadar, namun fakta bahwa dia kelelahan akibat berturut-turut melayani 3 jenazah sekaligus, membuat energinya terkuras habis. Bedak di wajahnya belang setengah, terutama di bagian dahi yang terus berkeringat dan tentu perlu di usap setiap saat. Sementara rambutnya yang dikuncir kuda itu berantakan karena gatal ketombe akibat belum keramas dua hari ini. Jadi, terlihat jelas sekusut apa kondisinya saat ini.Namun, apa Puspa nampak peduli? Tidak sama sekali!Dia lelah! Hanya ingin istirahat lalu pulang. Jadi, ketika di panggil resepsionis itu, dia sama sekali tidak bergeming. Hanya berjalan lesu dan bertanya dengan lemas."Butuh bantuan?" Tanya Puspa dengan senyuman paksa."Banget!" Resepsionis itu tanpa basa-basi langsung mengangguk. "Ini, tolong bawa Pak Hakam berkeliling gedung. Beritahu semua fasilitas dan jelaskan mekanisme persiapan mayat sebelum masuk ke dalam peti. Bisa, kan?"Puspa terdiam. Teramat murka dalam hati, namun sulit dia tunjukkan akibat sifat 'tak enakan' yang selalu membuatnya jadi babu untuk orang lain, secara tidak langsung.Akhirnya, hanya anggukan kecil yang cukup untuk menyelesaikan persetujuan terpaksanya itu. "Oke," jawabnya singkat. Kemudian beralih pada lelaki yang diketahui bernama Hakam. "Kamu 'kan, Pak Hakam?" Lanjutnya tanpa ekspresi yang berarti, yang seketika membuat Resepsionis geram sampai memukul pelan pundak Puspa."Puspa, kamu yang sopan, ya." Resepsionis itu membulatkan mata, bersuara lirih dengan gigi terkatup. Kemudian beralih lagi pada Hakam, resepsionis itu kembali tersenyum lebar, "Pak Hakam, perkenalkan, ini Puspa. Semua pertanyaan yang sebelumnya Bapak berikan akan dijawab oleh agen kami yang cekatan ini."Melirik Puspa dengan ekor matanya, Hakam mengernyitkan dahi dan berkata dengan tidak setuju. "Ada orang lain? Hidungku alergi bau keringat. Mataku juga alergi dengan 'sesuatu' yang berantakan."Ketika kalimat ini dilontarkan, dua perempuan disana terdiam. Puspa yang sudah lelah sejak awal, jelas naik pitam. Dengan deru nafas tak beraturan, dia berbalik sambil berkata kasar."Kalau begitu cari saja orang lain! PERMISI!" Puspa berjalan dengan kedua tangan terkepal. Meninggalkan jejak udara kosong di antara Resepsionis dan lelaki jangkung bernama Hakam Astana, yang sejak tadi tidak bergeming dari tempatnya.Resepsionis itu menghela napas panjang, "Mohon maaf, sepertinya kesan pertama pertemuan kita jadi agak buruk, Pak.""Aku tidak peduli," Hakam memantik sebatang rokok. "Suruh dia mandi, kemudian minta temui aku di taman belakang. Aku mau gadis bau itu jadi pemanduku.""Hah?" Resepsionis itu berkedip bingung, namun tidak sempat bertanya karena Hakam sudah melenggang pergi melewati pintu keluar.Sungguh, dia tidak habis pikir dengan tamu spesialnya itu. Apa tamunya yang satu ini memang tipe orang yang suka keributan, ya? Atau gaya hidup setiap orang kaya memang seperti itu? Entahlah. Hanya mereka sendiri yang tahu.***Usai mandi dan keramas, Puspa merasa segar dan hidup kembali. Rambutnya yang super gatal akhirnya terasa normal. Gadis itu berkaca di cermin sambil mengoleskan krim pelembab di wajahnya.Pikirnya, dia bisa pulang dengan nyaman setelah ini. Namun, harapannya harus sirna begitu saja ketika Salsa masuk kedalam kamar dan memberitahu perihal Hakam yang hanya mau di pandu olehnya untuk berkeliling.Puspa menggebrak meja, "Maunya apa, sih?!" Sungutnya kesal."Huss, jangan begitu. Kamu lupa ada marga Astana di belakang namanya?" Sambil makan sekantong keripik singkong, Salsa bergumam pada Puspa.Puspa pun hanya bisa menghela napas, menetralkan segala emosi yang berkecamuk dalam hati, sebelum akhirnya membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar.Namun, baru sejengkal Ia melangkah, seseorang menabrak bahunya sangat keras. Membuatnya terjungkal ke belakang dan hampir jatuh ke lantai."MINGGIR!" Teriak seorang wanita yang barusan menabrak Puspa. Wanita itu terlihat sangat gelisah sambil membawa sesuatu di pelukannya. Juga terbukti dengan gaya berlarinya yang tak beraturan, seolah menjelaskan situasinya yang sedang dalam bahaya serius.Dan untungnya, mata Puspa cukup tajam untuk mengenali benda apa yang dibawa wanita barusan. Menghadap ke belakang, Puspa lekas memberitahu Salsa."Telepon polisi!" Pekiknya yang berhasil mengejutkan Salsa.Kantong keripik yang di pegangnya melayang begitu saja, isinya pun berhamburan keluar. Namun, Salsa melihat situasi yang nampak serius, sehingga tanpa basa-basi segera mengambil ponsel pipih di sebelahnya dan mendial kontak polisi.Sementara Puspa juga bergerak cepat menyusul si pencuri. Ya, dia yakin itu pasti pencuri. Karena benda yang dibawa wanita barusan jelas adalah kotak perhiasan berisikan emas yang sengaja diberikan pihak keluarga untuk disertakan dalam peti mati putra mereka. Bagi umat Katolik sebenarnya tidak dibenarkan, hanya saja keluarga jenazah terlihat seperti keturunan Tionghoa. Sehingga masih bisa di toleransi."HEI, PENCURI!" Puspa cukup lincah. Dalam beberapa langkah lebar, dia berhasil menyusul wanita itu dan menabrak punggungnya dengan keras.Sayang, posisi keduanya saat ini berada tepat di bibir pintu menuju turunan anak tangga. Wanita pencuri itu terdorong ke depan dan jatuh berguling-guling. Sementara Puspa juga ikut terjerumus, namun bukan terdorong ke depan, melainkan ke arah pembatas pagar antara lantai satu dan lantai dua, yang seketika membuat tubuhnya melayang di udara.Untung saja, Tuhan tidak tidur. Salah satu tangan Puspa berhasil menggapai besi pembatas. Tubuhnya bergelantungan, sementara bibirnya berteriak meminta pertolongan.Di lantai satu, beberapa orang yang mendengar suara keributan itu ikut heboh. Terlebih ketika melihat tubuh seorang wanita berguling-guling dari lantai dua dan berhenti tepat di anak tangga terakhir.Hakam mengernyitkan dahi, kemudian terkejut ketika mendengar teriakan yang berasal dari atas kepalanya.Pegangan Puspa tidak terlalu kuat, terlebih tangannya berkeringat dan besi itu licin. Hingga pada akhirnya, ia tetap jatuh bebas. Namun, bersamaan dengan jatuhnya dia ke bawah, ada Hakam yang siap pasang badan. Dengan reflek cepat ala tentara militer, dia maju ke depan dan berhasil menangkap tubuh ramping itu tepat sasaran.Namun, tetap saja, jatuh dari ketinggian bukan suatu perkara mudah. Tubuh Hakam tak kuasa menahan beban yang jatuh secara tiba-tiba. Ia pun berakhir tertimpa tubuh Puspa dengan posisinya yang telentang, sementara Puspa juga mendarat dengan selamat, tepat di atas tubuh Hakam.Setiap hari update. Jangan lupa klik ❤️ untuk berlangganan. Terimakasih~
Puspa gemetar sebadan-badan, tubuhnya jadi lemas layaknya jeli. Dia bahkan tidak menyadari jika ada orang lain yang saat ini sedang menopang berat tubuhnya tanpa persiapan sama sekali. Dan di posisi seperti itu, yang paling dirugikan jelas adalah Hakam. Punggungnya terasa seperti remuk, belum lagi fakta bahwa dia harus menahan massa seorang perempuan dewasa yang beratnya jelas tidak seringan anak-anak. Melihat bahwa Puspa tidak bergerak sama sekali, Hakam menghela napas dan berdiam diri sejenak. Sebetulnya, dia pernah berada di posisi yang sama. Hanya saja waktu itu yang menimpa tubuhnya adalah anak lelakinya sendiri. Mereka jelas memiliki ciri khas yang sama pasca terjatuh, yaitu badan gemetar tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dan hal ini pula yang Hakam rasakan pada Puspa.Setelah beberapa menit terlewati, tubuh Puspa akhirnya jadi sedikit rileks. Hakam pun membuat suara deheman kecil, menyadarkan Puspa betapa ambigunya posisi mereka saat ini. “M-maaf, Pak.” Puspa berusaha men
Setelah pertemuannya dengan Hakam barusan, semua kembali seperti biasa. Puspa sibuk dengan jenazah si nenek tua yang di gadang-gadang punya harga melebihi harga dirinya. Setelah beberapa waktu sibuk dengan semua persiapan jenazahnya di dalam peti mati, tugas Puspa akhirnya selesai. Dia dan Salsa bersiap untuk pulang dengan keadaan lelah, seperti biasanya. “Kamu yakin, pulang sendiri?” Salsa bertanya pada Puspa untuk yang kesekian kali. Biasanya, dia akan mengantar temannya itu sampai ke halte bus depan sana. Karena posisi Rumah Duka masuk ke dalam gang, yang cukup jauh dari jalan raya. Puspa memutar mata, “Memangnya aku punya pilihan? Kamu sendiri yang bilang ada urusan, ya sudah tidak apa-apa. Halte depan tidak terlalu jauh, kok.” Walaupun merasa bersalah, Salsa tidak bisa mengabaikan urusannya yang satu ini, sehingga dia benar-benar harus pergi sekarang. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Kamu hati-hati!” Motor matic itu dinyalakan, kemudian rodanya berputar meninggalkan area Rumah Du
Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa. “Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman. Dalam perjalanan, Hamun terus menatap wajah Puspa. Anak itu begitu terus terang dalam bertindak. Dia bahkan sengaja membalik posisi badan agar bisa terus melihat wajah Puspa. Gadis muda itu jelas tidak nyaman di perhatikan sampai sedemikian rupa, namun apalah daya, anak-anak seperti Hamun mana tahu perasaan orang dewasa, dan tentu tidak mau tahu terlepas dari apa yang mereka rasa. Sudah menjadi ciri khasnya anak-anak pada umumnya, jika kamu senang maka tunjukkanlah sikap bahwa kamu menyukainya. Begitupun sebaliknya. “Kamu sangat cantik,” Hamun tersenyum lebar. Menunjukkan deretan gigi yang tak sepenuhnya utuh. Satu gigi depannya ompong, terlihat lucu saat di perhatikan lebih dekat. Puspa tida
Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?” “Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam. Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!” Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu. “Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas
Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya. “Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. “Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain. Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa. Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalana
“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!” “Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara. Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera d
Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g