“Selamat pagi, La. Apa hari ini kamu ada jadwal terapi?” sapa Kak Irsyad saat aku baru saja keluar dari dalam kamar.
Kapan dia datang? Lagian kok tumben. Pagi-pagi seperti ini dia sudah berada di rumahku.“Nggak ada, Kak. Aku terapi seminggu dua kali!” jawabku datar.“Kita jalan, yuk! Aku mau mengajak kamu main ke rumah Mama. Sudah lama aku tidak bertandang ke sana. Mama meminta aku datang, karena hari ini Mama ulang tahun.”Dahiku mengernyit mendengar ajakannya. Apa dia tidak malu mengajak perempuan cacat seperti aku ini? Apalagi pasti hari ini keluarga besar Kak Irsyad semuanya hadir.Enggak. Aku takut dipermalukan di sana. Sudah cukup luka yang dia torehkan dulu, dan aku tidak mau menggores kembali luka yang sudah mengering.“Kenapa malah bengong, La? Kamu mau ya?” Pria bertubuh jangkung itu berjongkok di depanku dan menggenggam jari-jemariku.“Maaf, Kak. Aku belum bisa bertemu dengan keluarga Kakak!” toAku terus memberontak mencoba melepaskan diri, akan tetapi pria misterius itu mengikat kuat tangan ini menggunakan tali dan menutup mulutku menggunakan saputangan. Dalam hati tidak henti-hentinya merapalkan doa, meminta kepada Tuhan supaya Kak Irsyad menyadari bahwa ada orang yang tengah menculikku dan segera mengejarSetelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam, mobil yang membawaku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Mereka lalu membawaku keluar, membopong tubuhku masuk ke dalam rumah tersebut tanpa melepas ikatan di tangan.Buk!Sebuah tendangan melayang di punggung salah satu orang yang membawaku. Virgo berdiri dengan tangan terkepal serta dada naik turun tidak beraturan, terus menghadiahi tinju kepada laki-laki bertopeng yang menculikku hingga mengerang kesakitan.“Lepaskan Lala, atau gue patahkan tangan dan kaki Lo!!” teriak sang pemilik sabuk hitam itu seraya menunjuk ke arah orang yang tengah m
Aku mendengus kesal mendengarnya. Sambil menahan emosi kukerjakan sendiri apa yang seharusnya menjadi tugas istri, menyiapkan sarapan sendiri sudah seperti seorang duda.Padahal, dulu ketika ada Nirmala aku tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan pun, karena semuanya sudah dipegang oleh asisten rumah tangganya. Sepertinya aku harus lebih getol lagi merayu wanita itu supaya menerimaku kembali, apalagi sekarang dia sudah tinggal di Jakarta. Tidak masalah dia cacat, yang penting banyak uang dan bisa mencukupi semua kebutuhan, juga bisa melayani semua keinginanku.“Kamu nyetrika sendiri, Ar?” tanya Ibu saat melihat aku tengah mengenakan kemeja di kamar yang biasa dipakai untuk melicin pakaian.“Habis mau bagaimana lagi, Bu. Siska nggak mau nyetrikain baju aku. Dia masih ngantuk katanya!” sungutku kesal.“Istri kamu itu memang bener-bener, Ar. Maunya mainan hape terus. Nggak pernah mau bantuin Ibu
“Memangnya apa yang bisa buat gue iri sama lu? Nggak ada ‘kan?” “Gue punya dua istri dan lu jomlo!”“Lu punya dua istri juga hasil nipu orang, Ar. Lu diem-diem nikah sama Siska tanpa sepengetahuan istri tua lu, dan lu ngaku bujang sama si Siska. Ngaku orang kaya. Makanya sekarang lu pusing sendiri kan?Kalo boleh gue kasih saran, sebaiknya lu jujur sama Siska siapa diri lu sebenarnya. Gue kasian liat lu pontang-panting juga pusing mikirin utang, apalagi istri baru lu itu hobi banget foya-foya macam istri bos. Satu lagi, syarat laki-laki berpoligami itu harus mampu baik materi maupun waktu. Lu harus adil membagi waktu juga nafkah kepada kedua istri lu. Jangan malah ngarepin istri tua lu yang ngasih duit ke lu dan lu pake buat bahagiain istri muda. Itu namanya zalim.Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebe
“Siska ke mana, Bu?” tanyaku, menghampiri Ibu yang sedang menonton televisi di ruang tengah.“Mana Ibu tau. Dia pergi dari pagi dan belum pulang sampai sekarang!” jawab Ibu ketus. Tidak menoleh sama sekali ke arahku.“Harusnya Ibu tau dong. ‘Kan seharian Ibu ada di rumah. Masa menantunya sendiri pergi Ibu malah tidak tau!”“Kamu tau sendiri perlakuan Siska sama Ibu seperti apa? Mana berani Ibu nanya-nanya kalau dia mau pergi. Bisa ditelan hidup-hidup Ibu sama dia!”Aku mengusap wajah frustasi. Benar juga. Siska itu ‘kan tidak akur sama Ibu akhir-akhir ini. “Pasti dia pergi juga karena nggak betah diomelin Ibu terus. Lagian, Ibu itu kenapa sih? Kok sekarang jahat banget sama istri aku. Dulu aja Ibu muji-muji dan nyuruh aku buru-buru nikah sama Siska. Sekarang setelah kami berdua nikah, Ibu malah musuhin dia!” tuduhku sambil berlalu pergi meninggalkan perempuan yang sudah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu. Malas berdebat pa
Aku mencoba menerobos masuk tapi, Bi Sarni malah menutup pintu rapat. Pasti ini kerjaan Nirmala. Dia yang menyuruh pembantunya untuk melarangku masuk ke dalam rumah, meskipun aku masih punya hak juga di rumah yang sedang dia tinggali.Tidak lama kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan memasuki halaman rumah. Samar-samar terlihat Nirmala turun dipapah oleh laki-laki muda yang tempo hari bersama dia di taman, bercanda mesra membuat isi dalam dada terasa nyeri luar biasa.Kenapa begini? Mengapa sakit sekali melihatnya bersama pria lain? Apa ini yang dinamakan cemburu?Ah, sepertinya tidak. Aku tidak mungkin cemburu, karena memang tidak mencintai Nirmala.“Hati-hati jalannya, La. Jangan terlalu bersemangat. Nanti kamu jatuh. Kalau jatuh cinta sama aku sih nggak apa-apa. Nggak sakit. Tapi kalo jatuh dan lututnya nyium conblock kan sakit!” Gombal banget itu laki-laki. Garing kaya kanebo kering.Panas hati
POV Nirmala.Menyibak tirai, melihat dua orang satpam yang aku panggil tengah menarik paksa Mas Arya keluar. Heran sama orang satu itu. Muka tembok banget. Sudah berkhianat, sok-sokan jadi orang paling tersakiti pula. Mungkin otaknya sudah geser ke dengkul, gara-gara keseringan tidur sama si wanita plastik itu.“Kalau masih peduli keluar saja, La. Bilang ke suami kamu kalau sebenarnya kamu masih mencintai dia!” ucap Virgo seraya mengusap lembut bahuku.“Kamu ngomong apa, sih, Vir? Aku itu bukan boneka. Punya harga diri. Biar pun cacat, tapi tidak mau bucin. Biar tidak diinjak-injak sama orang yang pernah aku anggap begitu berarti di kehidupan aku!” jawabku lugas.Laki-laki bermata bulat dengan iris cokelat itu melengkungkan bibirnya membentuk bulan sabit. Dia lalu membantuku untuk duduk, membuka pintu setelah petugas keamanan benar-benar mengusir Mas Arya pergi.Aku meluruskan kaki yang terasa sedikit nyeri, mengoleskan krim yang diberikan dokter tempat terapiku yang baru sambil meri
“Aku pikir-pikir dulu, Kak. Sebaiknya Kakak pulang dulu. Aku mau istirahat. Kaki aku sakit!”“Kita ke dokter sekarang kalau begitu, La. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!” Raut kekhawatiran tergambar jelas di wajah tampan lawan bicaraku.“Aku tidak apa-apa, hanya butuh istirahat saja!” Mengusir Kak Irsyad secara halus.“Kalau begitu kita jalan nanti sore. Aku akan menunggu kamu di sini!”“Dokter melarangku untuk terlalu banyak bergerak!”Lagi, pria dengan garis wajah tegas itu menghela napas. Air mukanya terlihat berubah karena ajakannya untuk jalan aku tolak.“Ya suda. Aku pulang. Jangan lupa buah-buahannya di makan, dan besok pagi aku ke sini lagi!” Kak Irsyad mencondongkan tubuh, ingin mendaratkan ciuman tapi, secepat kilat memalingkan wajah menghindari kecupannya. “Aku permisi!” Dia beranjak dari sofa kemudian keluar dari rumah.Aku berusaha berdiri, berjalan bertumpu di pinggiran meja meraih kursi roda
"Lala! Ya Allah!" teriak seorang laki-laki sambil berlari menghampiri dan segera membopong tubuhku, mendudukkannya di bangku taman tidak jauh dari Kak Irsyad duduk dengan mimik khawatir tergambar jelas di wajahnya. "Sakit!!" Memekik kesakitan ketika Virgo meluruskan kakiku, melepas sepatu yang aku kenakan lalu memijat lembut pergelangannya. Aku terisak menahan nyeri luar biasa, sementara Virgo terlihat begitu khawatir juga dengan telaten dia mengurut bagian kakiku yang sakit."Heh, apa-apaan ini? Siapa yang menyuruh kamu menyentuh pacar saya?!" sentak Kak Irsyad seraya berjalan mendekat. Wajahnya sudah memerah dengan api amarah berkobar-kobar di sorot kedua netranya.Laki-laki berkaus polos dengan merek ternama melekat di tubuh itu tetap acuh tak acuh, mengabaikan Kak Irsyad yang sudah muntap."Bagaimana, La? Apa masih sakit?" tanya pria berumur dua puluh lima tahun itu seraya menggerak-gerakkan kakiku perlahan.Aku