POV Arya.
"Mas, liat story-nya Nirmala. Di memosting foto pernikahan Mas Arya sama Mbak Siska!" bisik Irni adikku, membuat mata ini membulat tidak percaya.Dengan tangan gemetar mengambil ponsel dari saku celana, mengecek kebenaran ucapan Irni dan ternyata Nirmala benar-benar mengunggah foto pernikahanku dengan istri baruku.Duh, bisa gawat kalau begini. Mana dia belum transfer uang yang aku minta lagi."Mas, kamu mau ke mana?" tanya Siska ketika melihat diri ini turun dari pelaminan."E--enggak, Dek. Mas cuma mau liat temen. Tadi katanya dia sudah sampai di depan gang!" dustaku, sebab tidak mau Siska sampai tahu kalau aku sebenarnya sudah punya pendamping hidup."Oh, ya sudah!" Dia tersenyum manis kepadaku.Aku pun segera berlari ke arah parkiran, mencari keberadaan istri ingin memberi penjelasan kepadanya. Kosong. Tidak ada mobil Nirmala di sana.Ya Tuhan...Pasti dia marah sekali dan kecewa karena pengkhianatan ini.Habis mau bagaimana lagi? Aku malu punya istri cacat seperti dia. Mau diceraikan juga tidak tega, karena penyebab dia seperti itu juga diriku sendiri. Aku yang menabraknya hingga kaki perempuan itu cedera dan mau tidak mau menikahi dirinya sebagai permintaan maaf. Tapi tentu saja dia tidak tahu kalau aku pelaku sebenarnya, sebab setelah kecelakaan itu aku segera melarikan diri dan kembali beberapa bulan setelah kejadian, datang bak pahlawan karena butuh uang untuk membayar hutang.Habis sudah kalau seperti ini. Dia pasti tidak akan mau lagi mengucurkan dana, apalagi membiayainya pernikahan mewah ini.Duh! Bagaimana ini. Pusing kepalaku.Kembali masuk, duduk di pelaminan sambil terus memikirkan Nirmala. Semoga saja dia cukup tahu diri dengan keadaannya dan mau menerimaku kembali."Bagaimana, Mas? Apa Nirmala masih di depan?" bisik Irni."Nggak ada, Ir. Mungkin dia sudah pulang!""Terus bagaimana, Mas?""Mas juga nggak tau!!"Aku menghempaskan bokong secara kasar di kursi. Memijat pelipis yang terasa berdenyut, menoleh sekilas ke arah Siska sambil mengulas senyum tipis mencoba menutupi rasa takut serta gelisah yang tengah mendera.Lagian si Nirmala nggak nurut banget sama omongan suami. Disuruh diam di rumah malah nyusul ke sini.***Duduk terpekur di sisi ranjang, aku masih terus saja memikirkan istri yang berada jauh di sana. Rasanya ingin sekali pulang ke kampung Nirmala, menjelaskan semua juga meminta maaf kepada dirinya.Tapi, ini malam pertamaku dengan Siska. Masa iya lebih memilih meninggalkan istri yang rupanya bagai bidadari hanya demi wanita cacat seperti dia?Ah, sudahlah. Nirmala itu 'kan cinta mati sama aku. Mana mungkin dia bisa marah. Pasti saat ini juga dia sedang menangis di dalam kamar, meratapi nasib serta diriku hingga nomor ponselnya tidak bisa dihubungi."Mas, kok kamu melamun?" Aku terkesiap saat tiba-tiba tangan halus istri baruku mengusap lembut dada ini."Oh, enggak, Dek. Mas cuma grogi saja karena ini yang pertama buat Mas!" dustaku lagi.Siska tersenyum penuh cinta. Dia lalu memeluk tubuhku dengan agresif, tidak ada rasa malu sama sekali seperti saat aku melakukannya dengan Nirmala. Bahkan dia terlihat begitu pandai menyenangkan pasangan.Kamu memang luar biasa, Siska!Tapi tunggu! Kenapa aku mudah sekali melewatinya. Tidak seperti saat melakukannya dengan Nirmala yang masih tersegel dengan rapat. Apa jangan-jangan ini bukan yang pertama untuk dia?Ya Tuhan. Bukankah dia kemarin bilang kalau dia masih bersegel?"Dek, apa kamu sudah melakukan ini sebelumnya?" tanyaku sesaat setelah meminta hak untuk yang pertama kali."Enggak, Mas. Aku belum pernah melakukannya!" Dia tersenyum. Manis sekali. "Memangnya kenapa, Mas?""Kamu kaya udah sering melakukan, Dek. Karena aku begitu mudah melewati kamu!""Mungkin karena terlalu terbawa suasana, Mas!"Jelas saja aku bisa membedakan mana yang masih orisinil dan mana yang sudah lepas segel, Siska. Hanya saja tidak mungkin aku mengatakannya, sebab sama saja menelanjangi diri sendiri, membuka rahasia yang selama ini kututupi.***Dua hari setelah pernikahanku dan Siska digelar, pihak wedding organizer datang meminta bayaran. Aku menggaruk kepala yang terasa tidak gatal, karena saat ini tidak memegang uang sama sekali. Uang gajiku sudah aku transfer tiga juta buat menafkahi Nirmala pas awal bulan, dan sisanya sudah dibelanjakan seserahan untuk Siska.Berkali-kali mencoba menghubungi Nirmala, akan tetapi nomornya selalu saja sibuk. Jika pun tersambung dia tidak mau menerima panggilan dariku.[La, udah ditransfer belum uangnya?]Memberanikan diri mengirimkan pesan, dan langsung centang dua biru. Itu tandanya dia sudah membaca pesan dariku. Semoga saja segera ada kabar baik darinya.Ting!Senyumku terkembang merekah saat melihat Nirmala membalas pesan dariku dan sepertinya dia mengirimkan bukti transferan. Memang luar biasa wanita yang satu ini. Aku bilang juga apa. Dia itu 'kan cinta mati sama aku dan pasti akan melakukan apa saja asal tidak kehilangan diriku.Namun, senyum yang terkembang merekah di bibir seketika memudar saat melihat balasan darinya.[Sudah aku transfer ya, Mas. Lima puluh ribu buat kondangan. Semoga kalian berbahagia]Aku hampir saja kejang dibuatnya. Bagaimana ini. Nyari uang di mana untuk membayar biaya pernikahanku dengan Siska kemarin?Duh, Nirmala. Tinggal ngasih uang lima puluh juta doang apa susahnya sih? Kenapa kamu malah mempersulit hidupku?Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang