[La, tolong transfer uang lima puluh juta ke nomor rekening Mas sekarang ya.]
Aku mengernyitkan dahi membaca pesan singkat dari suami. Untuk apa dia meminta uang dalam jumlah banyak seperti itu?[Untuk apa, Mas?] Send, Mas Arya.[Aku butuh banget. Ibu sakit.][Sakit apa, Mas? Aku ke Jakarta nyusul kamu aja ya? Sekalian pengen liat Ibu.][Nggak usah, La. Kamu juga ‘kan keadaannya sedang kurang sehat. Di rumah saja, nanti uangnya tolong ditransfer. Jangan pake lama, soalnya butuh banget.][Oke.]Aku menatap layar gawai, ada sedikit rasa khawatir karena setahuku Ibu memang memiliki riwayat penyakit gula, dan bisa kambuh kapan saja.Tapi, kok tumben sekali suami meminta uang sebanyak ini kepadaku? Biasanya semua masalah akan dia tangani sendiri dan tidak pernah melibatkan diriku sama sekali. Apa mungkin Mas Arya sedang sangat kesulitan di Jakarta?“Ada apa, Nok?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba seseorang mengusap lembut bahuku.Dia adalah Bi Sarni—orang yang membantu merawatku sejak kecil, apalagi setelah kecelakaan yang menimpaku beberapa tahun yang lalu sehingga membuat kaki ini cedera dan tidak bisa berjalan.“Mas Arya kirim pesan ke saya. Katanya Ibu sakit dan butuh uang. Menurut Bibi, sebaiknya saya ke sana atau transfer saja ya? Soalnya perasaan saya itu tiba-tiba nggak enak banget. Nggak tau kenapa perasaan saya itu gelisah banget, Bi. Kaya deg-degan terus. Mas Arya juga ‘kan udah beberapa hari ini tidak pulang.”“Kalau begitu kita ke Jakarta saja, Nok. Kita nyusul suami kamu.”Aku mengangguk setuju.Bi Sarni segera mengemasi barang-barang yang hendak dibawa ke Jakarta, sementara aku mencoba membantu sebisa mungkin, karena gerakkanku memang terbatas. Entah kapan kaki ini bisa kembali normal, sebab sudah berkali-kali terapi tapi masih belum ada perubahan. Padahal, kata dokter yang menangani dulu, aku bisa kembali berjalan normal jika rajin terapi.Selepas subuh aku berangkat menyusul suami tanpa sepengetahuan darinya, berniat ingin memberikan kejutan kepada Mas Arya. Pasti dia seneng banget melihatku tiba-tiba sudah berada di depan mata.Hingga pukul sembilan siang, mobil yang mengantarku sampai di gang kompleks yang ditinggali ibu mertua dan aku lihat seperti sedang ada acara besar di sana. Ada pelaminan juga di halaman rumah ibu, juga tenda yang terlihat lumayan mewah.Siapa yang menikah? Sebab setahuku, semua anak-anak Ibu berkeluarga bahkan sudah memiliki anak semua.Pak Karyo menepikan mobil di sebuah lahan kosong sesuai arahan hansip yang bertugas. Aku menurunkan kaca mobil, melihat sekilas siapa yang sedang duduk di atas kursi pelaminan. Mas Arya dan seorang perempuan cantik tengah duduk sambil tersenyum bahagia dan sesekali saling memandang.Ada Ibu juga di sana bersama tiga orang anak yang lainnya, dan mereka semua terlihat begitu bahagia.Ya Allah ... Benarkah dia suamiku? Tega sekali dia menghianati cintaku.“Pak, maaf numpang tanya. Siapa yang menikah?” tanyaku kepada Pak Hansip, untuk memastikan.“Anaknya Bu Haryanti, Mbak. Mas Arya namanya,” jawab si Hansip sambil tersenyum sopan.“Oke, terima kasih.”“Sama-sama, Mbak.”Aku memotret suami serta istri barunya yang tengah duduk manis sambil saling melempar senyum di pelaminan lalu menjadikannya story di w******p-ku, supaya Mas Arya tahu kalau aku sudah mencium pengkhianatan yang sudah dia lakukan. Aku juga tidak akan mengirimkan uang walaupun hanya seperak, biar dia kelimpungan mencari sendiri buat biaya pernikahannya yang megah itu.Enak saja. Dia telah berkhianat, berani membagi cintanya tapi, aku yang harus memodalinya juga.Aku kepingin tahu, apakah dia mampu membayar semua itu? Dan aku juga pengen lihat seperti apa reaksinya nanti setelah melihat story di w******p-ku.Meskipun aku cacat tapi aku tidak terima diperlakukan seperti itu. Aku tidak mentolerir pengkhianatan. Aku masih bisa hidup sendiri juga mandiri. Toh, selama ini juga punya suami hanya di atas kertas doang. Dia jarang pulang, apalagi mendatangi diriku.Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang