Share

Part 5

Penulis: Ida Saidah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-05 12:00:30

Apa aku gadaikan sertifikat rumah saja ya?

“Bagaimana, Ar?”

“Kalau sertifikat rumah ibuku kira-kira bisa buat pinjam berapa duit, Jo?”

“Jangan terlalu bernafsu, Ar. Pinjam secukupnya, takut nanti tidak bisa bayar nyaho, lo!”

“Halah...! ‘Kan kamu tau sendiri gaji aku itu gede. Pasti bisalah bayar angsuran doang mah! Yang penting angsurannya jangan terlalu besar!”

“Ya sudah. Aku hubungi temen dulu, nanti kalo udah deal, aku langsung kabari kamu. Gimana?”

“Aku butuh cepet, Jo. Kalo bisa besok ato lusa!”

“Kamu itu hidup susah dibikin sendiri. Udah enak-enakkan hidup sama Nirmala, malah bertingkah. Padahal apa sih kurangnya dia. Cacat juga kamu sendiri yang bikin!” Dia menggeleng kepala.

“Jangan sampai rahasia aku bocor, Jo. Masalah ini juga. Apalagi kalau Siska istri baruku tau tentang statusku. Bisa ditinggalin aku sama dia!”

“Aku nggak mau ikut campur urusan lain, Ar.”

“Ya sudah. Aku pamit balik. Jangan lupa kabari segera. Nggak pake lama, jangan sampai aku dipermalukan!”

Jojo hanya diam tidak menyahut. Ekspresinya datar, terlihat tidak suka denganku.

[Bu, tolong ke gang rumah depan. Aku mau bicara sama Ibu. Jangan sampai Siska tau.]

Kukirimkan pesan kepada Ibu setelah sampai di depan gapura komplek, meminta dia menemui diriku. Aku tidak mungkin langsung pulang sebab nanti Siska curiga. Belum lagi harus dikejar-kejar dia dimintai uang terus. Lama-lama bisa botak kepalaku memikirkan masalah yang tiada pernah ada habisnya.

Satu belum selesai, datang masalah baru yang lebih runyam. Amsyong banget hidupku ini.

Apa aku kualat karena mengkhianati cinta wanita baik seperti Nirmala?

Ah, sepertinya tidak. Bukannya laki-laki itu boleh menikahi lebih dari satu wanita? Jadi aku tidak salah dong...

Lamat-lamat kulihat ibu datang diantar oleh tukang ojek langganan. Buru-buru dia berjalan menghampiri, masuk ke dalam mobil menanyakan maksudku meminta bertemu di depan gerbang komplek.

“Aku mau minjem sertifikat rumah Ibu buat digadein. Soalnya Lala pindah nggak tau ke mana. Sepertinya dia sengaja menghindari aku, Bu!” keluhku menahan emosi yang kembali meninggi.

“Kok bisa, Ar?” Mata wanita dengan jambul khatulistiwa itu mendelik tidak percaya. Mungkin itu juga ekspresi yang aku tunjukkan kemarin ketika tahu kalau Nirmala pergi tanpa permisi. “Kamu nggak lagi nge-prank Ibu, ‘kan?”

Aku menyentak napas kuat. Boro-boro buat nge-prank dan menjahili orang. Otakku saja sudah hampir buntu, tidak bisa berpikir sama sekali kalau sedang kalut seperti ini.

“Aku serius, Bu. Lala pergi. Rumahnya kosong. Kalo aku ketemu sama dia nggak mungkin dong minta Ibu ke sini, pasti saat ini juga aku lagi seneng-seneng sama dia!”

“Terus? Sekarang bagaimana, Ar?”

“Cuma satu jalan keluarnya, Bu. Pinjami aku sertifikat rumah biar bisa bayar WO. Kalo nggak, aku pinjam uang ke Ibu. ‘Kan kemarin amplop dari orang-orang kondangan banyak. Biar kita nggak perlu gadaikan sertifikat!”

“Apaan! Amplopnya kebanyakan isinya goceng ma ceban. Pada numpang makan enak doang tamu-tamunya. Yang isinya gede Cuma beberapa orang doang. Makanya Ibu kesel. Kalo begini ‘kan jadi rugi bandar!!”

“Lagian Ibu juga sih, kalo kondangan cuma ngisi ceban. Paling gede mabelas ribu! Ya wajar kalo sekarang orang-orang juga kondangannya segitu!”

Ibu mendengus kesal mendengar serentetan kalimat yang keluar dari mulutku.

Untuk apa tersinggung? Orang nyatanya begitu kok!

“Ibu nggak mau pinjemin sertifikat rumah, Ar. Takut nggak kebayar dan rumah Ibu disita bank!” tolak ibu sambil melipat tangan di depan dada.

“Ya sudah kalau begitu. Asalkan Ibu siap dicibir tetangga karena nggak mampu bayar WO, dibilang orang miskin dan tidak lagi dihormati!”

“Ya sudah. Tapi janji jangan sampe gak ditebus. Bisa tambah malu Ibu nanti!”

“Siap, Bu!” Memeluk tubuh gempal ibu, berterima kasih karena akhirnya mendapatkan solusi. Walaupun sebenarnya bukan benar-benar jalan keluar, sebab pasti menambah masalah serta beban baru di kemudian hari.

Segera menghubungi Jojo sahabatku, mendesak dia supaya cepat mencarikan orang yang mau membantu dan akhirnya dia mengajakku bertemu sore ini juga di sebuah cafe ternama di Ibukota.

Dengan semangat empat lima juga membara kudatangi cafe tersebut, berjalan cepat menuju meja yang sudah dipesan, namun, langkah ini berderap kaku ketika melihat seorang wanita cantik nan anggun tengah duduk bersama Pak Irsyad bosku.

Senyum terkembang menawan di bibir tipisnya, beberapa kali juga kulihat laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu mencuri pandang, dengan pindaian penuh kekaguman membuat hati ini terbakar cemburu.

Panas! Dadaku terasa seperti tersiram lava gunung berapi mendengar tawa riang si perempuan. Sakit. Perih terparut luka tersayat cemburu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Ending

    Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siksa 2

    Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siska

    “Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 111

    “Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 110

    Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 109

    Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status