Share

Part 5

Apa aku gadaikan sertifikat rumah saja ya?

“Bagaimana, Ar?”

“Kalau sertifikat rumah ibuku kira-kira bisa buat pinjam berapa duit, Jo?”

“Jangan terlalu bernafsu, Ar. Pinjam secukupnya, takut nanti tidak bisa bayar nyaho, lo!”

“Halah...! ‘Kan kamu tau sendiri gaji aku itu gede. Pasti bisalah bayar angsuran doang mah! Yang penting angsurannya jangan terlalu besar!”

“Ya sudah. Aku hubungi temen dulu, nanti kalo udah deal, aku langsung kabari kamu. Gimana?”

“Aku butuh cepet, Jo. Kalo bisa besok ato lusa!”

“Kamu itu hidup susah dibikin sendiri. Udah enak-enakkan hidup sama Nirmala, malah bertingkah. Padahal apa sih kurangnya dia. Cacat juga kamu sendiri yang bikin!” Dia menggeleng kepala.

“Jangan sampai rahasia aku bocor, Jo. Masalah ini juga. Apalagi kalau Siska istri baruku tau tentang statusku. Bisa ditinggalin aku sama dia!”

“Aku nggak mau ikut campur urusan lain, Ar.”

“Ya sudah. Aku pamit balik. Jangan lupa kabari segera. Nggak pake lama, jangan sampai aku dipermalukan!”

Jojo hanya diam tidak menyahut. Ekspresinya datar, terlihat tidak suka denganku.

[Bu, tolong ke gang rumah depan. Aku mau bicara sama Ibu. Jangan sampai Siska tau.]

Kukirimkan pesan kepada Ibu setelah sampai di depan gapura komplek, meminta dia menemui diriku. Aku tidak mungkin langsung pulang sebab nanti Siska curiga. Belum lagi harus dikejar-kejar dia dimintai uang terus. Lama-lama bisa botak kepalaku memikirkan masalah yang tiada pernah ada habisnya.

Satu belum selesai, datang masalah baru yang lebih runyam. Amsyong banget hidupku ini.

Apa aku kualat karena mengkhianati cinta wanita baik seperti Nirmala?

Ah, sepertinya tidak. Bukannya laki-laki itu boleh menikahi lebih dari satu wanita? Jadi aku tidak salah dong...

Lamat-lamat kulihat ibu datang diantar oleh tukang ojek langganan. Buru-buru dia berjalan menghampiri, masuk ke dalam mobil menanyakan maksudku meminta bertemu di depan gerbang komplek.

“Aku mau minjem sertifikat rumah Ibu buat digadein. Soalnya Lala pindah nggak tau ke mana. Sepertinya dia sengaja menghindari aku, Bu!” keluhku menahan emosi yang kembali meninggi.

“Kok bisa, Ar?” Mata wanita dengan jambul khatulistiwa itu mendelik tidak percaya. Mungkin itu juga ekspresi yang aku tunjukkan kemarin ketika tahu kalau Nirmala pergi tanpa permisi. “Kamu nggak lagi nge-prank Ibu, ‘kan?”

Aku menyentak napas kuat. Boro-boro buat nge-prank dan menjahili orang. Otakku saja sudah hampir buntu, tidak bisa berpikir sama sekali kalau sedang kalut seperti ini.

“Aku serius, Bu. Lala pergi. Rumahnya kosong. Kalo aku ketemu sama dia nggak mungkin dong minta Ibu ke sini, pasti saat ini juga aku lagi seneng-seneng sama dia!”

“Terus? Sekarang bagaimana, Ar?”

“Cuma satu jalan keluarnya, Bu. Pinjami aku sertifikat rumah biar bisa bayar WO. Kalo nggak, aku pinjam uang ke Ibu. ‘Kan kemarin amplop dari orang-orang kondangan banyak. Biar kita nggak perlu gadaikan sertifikat!”

“Apaan! Amplopnya kebanyakan isinya goceng ma ceban. Pada numpang makan enak doang tamu-tamunya. Yang isinya gede Cuma beberapa orang doang. Makanya Ibu kesel. Kalo begini ‘kan jadi rugi bandar!!”

“Lagian Ibu juga sih, kalo kondangan cuma ngisi ceban. Paling gede mabelas ribu! Ya wajar kalo sekarang orang-orang juga kondangannya segitu!”

Ibu mendengus kesal mendengar serentetan kalimat yang keluar dari mulutku.

Untuk apa tersinggung? Orang nyatanya begitu kok!

“Ibu nggak mau pinjemin sertifikat rumah, Ar. Takut nggak kebayar dan rumah Ibu disita bank!” tolak ibu sambil melipat tangan di depan dada.

“Ya sudah kalau begitu. Asalkan Ibu siap dicibir tetangga karena nggak mampu bayar WO, dibilang orang miskin dan tidak lagi dihormati!”

“Ya sudah. Tapi janji jangan sampe gak ditebus. Bisa tambah malu Ibu nanti!”

“Siap, Bu!” Memeluk tubuh gempal ibu, berterima kasih karena akhirnya mendapatkan solusi. Walaupun sebenarnya bukan benar-benar jalan keluar, sebab pasti menambah masalah serta beban baru di kemudian hari.

Segera menghubungi Jojo sahabatku, mendesak dia supaya cepat mencarikan orang yang mau membantu dan akhirnya dia mengajakku bertemu sore ini juga di sebuah cafe ternama di Ibukota.

Dengan semangat empat lima juga membara kudatangi cafe tersebut, berjalan cepat menuju meja yang sudah dipesan, namun, langkah ini berderap kaku ketika melihat seorang wanita cantik nan anggun tengah duduk bersama Pak Irsyad bosku.

Senyum terkembang menawan di bibir tipisnya, beberapa kali juga kulihat laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu mencuri pandang, dengan pindaian penuh kekaguman membuat hati ini terbakar cemburu.

Panas! Dadaku terasa seperti tersiram lava gunung berapi mendengar tawa riang si perempuan. Sakit. Perih terparut luka tersayat cemburu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status