Share

Part 8

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2022-11-05 12:13:40

Tidak bisa. Aku bukan boneka yang bisa dimainkan oleh siapa saja dengan seenaknya. Lebih baik sendiri, menata hidup yang sudah terlanjur berantakan dan mencoba untuk mencari terapis yang baru agar aku bisa berjalan kembali.

Mobil milik Kak Irsyad menepi di depan rumah yang aku tinggali. Dia lalu membuka pintu kendaraan roda empatnya, mengeluarkan kursi roda milikku dari bagasi dan tersenyum ramah ketika Bi Sarni membuka pintu garasi.

“Bi, tolong bawa kursi rodanya masuk!” perintah laki-laki bertubuh tinggi itu kepada embanku.

“Kamu sengaja meledekku, Kak. Sudah tau aku tidak bisa jalan, cacat, tapi malah kursi rodanya disuruh dibawa masuk. Aneh!” sungutku kesal.

Tanpa menjawab pertanyaan dariku dia langsung membopong tubuh ini, membawaku masuk ke dalam sehingga aku bisa menghidu aroma maskulin yang dulu selalu aku rindukan. Ia lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang, mengusap lembut rambut ini sambil mengunci netraku dengan tatapannya.

Jujur, berada di dekat Kak Irsyad getaran di hati masih ada. Aku masih menyimpan setitik rasa cinta di dalam sanubari, karena memang pernikahanku dengan Mas Arya dulu bukan didasari oleh cinta. Mas Arya datang bagai malaikat tanpa sayap, yang melengkapi hidupku juga menghidupkan kembali harapanku yang patah dan menyediakan bahu untuk bersandar.

Aku berusaha menjadi istri yang baik juga berbakti, memberikan apa saja yang dia mau, sebagai ungkapan rasa terima kasih karena telah menerima diriku yang tidak sempurna.

Namun, nyatanya cinta yang selalu dia gaungkan, kata-kata yang selalu terucap dari mulut manisnya semua hanya dusta belaka. Dia hanya memanfaatkan diriku, menikahiku karena uang, bukan karena cinta. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu oleh para lelaki.

Dan siapa pun orang yang sudah membuatku menjadi cacat seperti ini, aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan, supaya kelak mendapatkan balasan yang setimpal supaya bisa merasakan apa yang aku rasa. Bahkan mungkin mendapatkan balasan yang lebih menyakitkan.

Andai saja dia mau bertanggungjawab dan tidak langsung kabur meninggalkan diriku yang terkapar tidak berdaya di tengah jalan. Jika saja pelaku itu membawaku ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan, mungkin saat ini aku sudah bisa jalan karena mendapatkan penanganan lebih cepat juga tepat. Tetapi bed*bah itu langsung kabur meninggalkan diriku setelah menabrak tubuh ini hingga terpental, bahkan aku saja tidak sampai melihat siapa yang melakukannya, juga pelat kendaraan yang dia gunakan.

“Kamu kenapa melamun, La. Apa masih memikirkan Arya? Aku bisa memecatnya kalau kamu mau!” ucap Kak Irsyad membuyarkan lamunanku.

“Tidak perlu. Aku ingin bermain cantik dengan dia. Jangan Kakak pecat dia dari pekerjaan, karena aku masih ingin bersenang-senang dengan pengkhianat itu!”

“Ya sudah. Aku pulang dulu. Kalau butuh sesuatu jangan sungkan hubungi aku, La. Aku akan setia membantu kapan pun dan jam berapa pun.”

Aku menerbitkan senyuman. Kak Irsyad kembali mengusap rambutku, mencondongkan tubuh hendak mendaratkan ciuman tetapi aku segera mendorong tubuh kekar itu menjauh.

“Maaf, La. Aku Cuma terbawa suasana!” lirih Kak Irsyad.

Dua bulat beningnya mengisyaratkan luka serta cinta yang teramat dalam, juga rindu yang belum sepenuhnya ia curahkan.

“Ya sudah. Aku pulang. Besok aku ke sini lagi.”

Aku diam tidak menyahut, takut terbawa perasaan hingga akhirnya kembali jatuh juga sakit seperti dulu.

Kak Irsyad beranjak dari duduknya lalu mengayunkan kaki meninggal aku sendiri di dalam kamar.

Ponsel di dalam tas terdengar berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk dari Virgo—orang yang aku suruh memata-matai suami serta istri barunya. Aku juga membayar beberapa orang lagi untuk membantu menghancurkan Mas Arya serta gundiknya itu.

Dia berani bermain api, maka dia sendiri yang akan terbakar perlahan, hangus menjadi abu.

“Ada info apalagi, Vir?” tanyaku sambil meluruskan kaki yang terasa nyeri.

“Saya ada informasi bagus tentang Siska, Mbak. Tapi sepertinya tidak mungkin kalau saya bicarakan lewat sambungan telepon!” jawab Virgo terdengar serius.

“Ya sudah. Kamu ke rumah saja, Vir. Saya tunggu!”

“Baik, Mbak.”

Lekas memanggil Bi Sarni untuk membawakan kursi roda ke kamar, berdiri dengan kedua tangan bertopang pada meja lalu duduk di atas kursi roda dan keluar dari kamar.

Tidak lama kemudian terdengar suara sepeda motor orang suruhanku masuk ke pekarangan rumah. Seraut wajah tampan dengan senyum khasnya muncul, memberi salam lalu menghampiri diriku dan segera duduk setelah kupersilakan.

“Ada info apa, Vir?” tanyaku penasaran.

“Ini, Mbak!” Dia menyodorkan beberapa lembar foto wanita yang terlihat tidak asing di mata, mirip seperti Siska tapi dia begitu berbeda. Hidungnya pesek dan kulitnya gelap serta kumal. Sementara yang aku lihat kemarin di pelaminan, Siska begitu putih juga cantik. Tubuhnya juga langsing bak gitar spanyol, hampir tidak ada cela dari fisiknya.

“Kenapa kamu ngasih foto ini sama saya? Siapa dia, Vir?”

“Siska sebelum operasi plastik. Dia itu cantiknya nggak alami, Mbak. Dia juga ternyata punya satu anak, tapi tidak diakui. Siska mengaku masih single dan Mas Arya tidak tau kalau cantiknya Siska hasil operasi plastik. Ini fotonya anaknya, dan saya juga punya alamat anak itu.”

Bagus. Akan kugunakan anak itu untuk menghancurkan Siska juga Mas Arya. Aku juga akan membongkar kedok Siska secara perlahan, menunjukkan seperti apa wajah asli istri baru suamiku itu.

Kasihan sekali kamu, Mas. Membuang berlian demi seonggok sampah buruk rupa. Tapi Laki-laki sampah memang pantas bersanding dengan perempuan sampah pula.

Sekarang kamu boleh senang dan menganggap istri kamu bidadari yang sempurna. Tapi aku pengen tau reaksi kamu setelah tau wajah Siska sebenarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Ending

    Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siksa 2

    Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siska

    “Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 111

    “Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 110

    Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 109

    Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status