Share

Part 7

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2022-11-05 12:13:11

Jojo lekas mengayunkan kaki meninggalkan aku juga Ibu, sementara Pak Handoyo terlihat sedang sibuk menghubungi seseorang.

"Baik, Bu. Sudah saya lakukan sesuai perintah Ibu. Iya, nanti saya antarkan ke rumah Ibu!" sekilas indra pendengaranku menangkap percakapan laki-laki gendut itu dengan seseorang. Mungkin dengan rekan bisnisnya, atau...

Sudahlah. Bukan urusanku dia berbicara dengan siapa. Yang penting aku sudah mendapatkan uang untuk menyelesaikan masalah yang tengah membelenggu, meski dengan cara membuat masalah baru. Ini yang disebut menyelesaikan masalah dengan masalah.

"Ayo, Ar. Kita mampir ke toko perhiasan dulu. Ibu udah nggak sabar pengen beli cincin baru!" ajak Ibu seraya menggandeng tanganku.

"Besok saja lah, Bu. Aku sudah kangen berat sama Siska. Aku mau langsung pulang!" tolakku karena sudah tidak sabar ingin bertemu istri baru. Rindu rasanya dua hari satu malam tidak bertemu dengan dia.

Ketika sampai di parkiran. Beberapa orang bertubuh tinggi besar berdiri mengelilingi mobil milikku yang terparkir di depan kafe. Salah satu dari mereka menatap tajam ke arahku, melipat tangannya yang penuh tato di depan dada sambil menyenderkan tubuh di moncong mobil.

"Maaf, Bang. Ini mobil saya," kataku sedikit takut. Apalagi mata si preman tidak lepas dari wajahku, seperti singa hendak menerkam mangsanya.

"Serahkan kunci mobilnya ke saya, Pak!" Laki-laki berwajah sangar itu menodongkan tangan seraya memindai wajahku dengan tatapan menghunus.

"Ku--kunci mobil? Maksud kalian? Ini mobil saya loh. Untuk apa kalian meminta kuncinya. Kalian mau membegal saya secara terang-terangan?"

"Ini bukan mobil Bapak, tapi mobil bos kami. Dan bos meminta kami untuk mengambil mobil ini dari Bapak!"

"Bos?"

"Iya. Bu Nirmala Wulan. Dia yang menyuruh kami untuk mengambil mobil ini dari Bapak!"

Ya Tuhan, Nirmala. Apa-apaan ini? Tega sekali dia membayar preman untuk mengambil mobilnya yang sudah dihadiahkan kepadaku.

"Sekarang juga serahkan kunci mobil bos kami, atau kami akan mematahkan leher kamu!" ancamnya membuat nyaliku menciut seperti sekarang pengecut.

Ragu-ragu merogoh saku celana lalu menyerahkan apa yang mereka minta. Lebih baik mengalah daripada nanti babak belur.

Aku melungguh lemas di trotoar sambil menatap mobil mewah yang biasa aku gunakan dibawa oleh anak buah Nirmala, menjambak rambut frustrasi merasa kesal kepada istri.

Tega, kejam, juga tidak punya perasaan.

Argh!

Mengayunkan kepal ke udara, benar-benar kesal luar biasa dengan apa yang sudah dilakukan oleh istri tua. Mentang-mentang banyak uang, mau sok berkuasa dia.

***

POV NIRMALA

“Kamu tidak apa-apa, La?” tanya Kak Irsyad seraya menatap wajahku sekilas.

Aku mengulas senyum kepadanya, menyembunyikan luka yang tengah meraja di dada.

Sakit, itu sudah pasti. Hati wanita mana yang tidak terluka jika melihat suami yang dicintainya tengah bersanding dengan perempuan lain, padahal statusnya masih sah menjadi suamiku.

Tapi biarlah. Aku tidak mau memperebutkan laki-laki pengkhianat seperti dia. Tubuhku memang cacat, tetapi tidak mau hanya gara-gara ketidakberdayaanku membuat orang-orang yang kucintai memperlakukan seenaknya sendiri. Kalau Mas Arya lebih memilih perempuan itu ya, silakan. Aku tidak akan melarang apalagi sampai bertindak bar-bar di depan orang banyak. Bukan sifatku seperti itu.

Aku akan bermain secara halus, menghancurkan dia secara perlahan tanpa mengotori tangan. Membunuh tanpa menyentuh.

“Kamu yang sabar ya, La. Kakak akan membantu kamu sebisa mungkin. Kamu tidak sendirian!” ucapnya lagi seraya menyunggingkan bibir.

“Terima kasih!”

“Apa kamu sudah mengurus perceraian kamu dengan Arya?”

“Secepatnya akan aku urus, Kak. Aku akan meminta pengacara keluarga mengurus semuanya. Untuk saat ini aku akan bersembunyi dari Mas Arya, karena aku yakin pasti dia sedang mencariku.”

“Bagaimana dengan rencana kamu setelah berpisah dengan suami benalu kamu itu, La?”

“Belum ada rencana, Kak. Mau menenangkan diri dan mengobati luka ini sendiri!”

“Apa masih ada kesempatan ke dua untuk aku, La. Aku mau kita kembali seperti dulu.”

“Tidak terpikirkan sampai ke situ, Kak. Aku takut kembali dikecewakan.”

“Aku akan setia.”

“Tapi dulu Kakak meninggalkan aku setelah tau aku cacat. Terus, apa bedanya Kakak sama Mas Arya.”

“La, aku ....”

“Sudahlah, Kak. Aku sedang tidak mau membahas masa lalu. Aku ingin hidup sendiri, karena sendiri ternyata lebih menyenangkan!”

Kak Irsyad terlihat mencengkeram kemudi kuat, hingga buku-buku tangannya memutih.

Masih teringat jelas dulu ketika Mbak Delima memberitahu kalau aku mengalami kecelakaan dan tidak lagi bisa berjalan, Kak Irsyad langsung pergi begitu saja, dan dia memutuskan pertunangan kami secara sepihak dengan alasan masih ingin melanjutkan karirnya.

Aku tahu, pasti dia malu memiliki pendamping hidup seperti aku ini. Mana ada seorang pengusaha muda yang mau jalan sama perempuan berkursi roda seperti diriku. Sekarang, tiba-tiba dia meminta kesempatan ke dua, mencoba menawarkan air ketika bunga cintaku kembali layu. Apa dia juga berniat menghancurkan perasaanku seperti Mas Arya?

“La, sekali lagi aku minta maaf. Jujur aku dulu merasa malu dan tidak siap. Tetapi setelah kamu pergi, ternyata rasa cintaku masih tersemat begitu dalam di dasar hati. Seumur hidup aku selalu saja dihantui rasa bersalah karena sudah menyakiti perasaan kamu. Aku masih mencintai kamu, La.

Sungguh. Perasaan cinta aku sama kamu itu tidak pernah mati. Makanya hingga saat ini aku masih sendiri, karena belum ada satu orang pun yang bisa menggantikan posisi kamu di hati.” Serentetan kalimat yang keluar dari mulut Kak Irsyad benar-benar menambah sesak hati ini. Dia yang dulu begitu aku cinta, tega membuang aku begitu saja, dan sekarang meminta kembali berlagak jadi pahlawan yang akan mengobati luka di hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
He Paridah
bagus sekali
goodnovel comment avatar
Putri Leo
Gk usah mau kmbali PD Irsyad Nirmala
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Ending

    Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siksa 2

    Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siska

    “Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 111

    “Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 110

    Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 109

    Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status