MasukTerima kasih sudah membaca cerita ini. Semoga bisa mengikuti sampai tamat. Sambil menunggu bab baru, silakan baca judul ceritaku yang sudah tamat : ISTRI DEKILKU ANAK SULTAN FOTO PELAKOR DI PROFIL PONSEL SUAMIKU ISTRI YANG TAK KAU PERCAYA TERNYATA KAYA RAYA PELAKOR ITU ADIKKU CINTA SETELAH BERCERAI KAYA SETELAH DIUSIR MERTUA
POV BIMO"Tunggu, Vania!" seruku spontan. Suaraku terdengar lebih keras dari yang kusadari. "Aku sudah bilang, aku tidak akan pernah menceraikan kamu."Vania sama sekali tidak menggubris. Dia bahkan tidak menoleh. Tangannya cekatan menarik resleting koper sampai rapat, lalu berdiri sambil mengangkat gagangnya. Gerakannya tegas, seperti seseorang yang sudah yakin seratus persen dengan keputusannya.Ia berjalan melewatiku begitu saja. Aku sempat ingin menahan lengannya, tapi aku ragu. Takut salah gerak, takut membuatnya semakin yakin pergi.Begitu Vania sampai di pintu, dia tertegun. Matanya membesar."Loh … kenapa barang-barang ini tidak jadi dipindahkan?" tanyanya pada para karyawannya yang masih berdiri kikuk di depan rumah."Aku yang suruh mereka," jawabku cepat.Vania langsung menoleh. Tatapannya tajam, dingin, tapi tidak berteriak. Justru itu membuatku semakin tegang."Mas, kamu memang senang ya mempersulit aku," katanya datar. “Pokoknya keputusanku sudah bulat. Kalau kamu tidak b
POV BIMO"Eh, Lang. Aku mau tanya sama kamu. Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dan istriku?"Pertanyaan itu keluar begitu saja. Awalnya aku hanya ingin memastikan sesuatu. Bukan karena aku benar-benar curiga Galang punya perasaan pada Vania. Aku tahu diri. Aku tahu siapa Galang. Dia orang kaya, posisinya tinggi, seleranya pun pasti tinggi. Kalau pun dia suka perempuan, pasti tipe seperti Ratna atau yang levelnya sama.Vania? Cuma tukang nasi.Cantik sih, sekarang lebih rapi, lebih bersih, lebih bersinar. Teman-temanku pun sempat bilang begitu. Tapi tetap saja, dia bukan tipe wanita yang akan dilirik pria seperti Galang.Tapi Galang masih diam saja. Ekspresinya datar. Aku sempat salah tingkah.Jangan-jangan dia marah?Kemarin aku memang sempat cemburu waktu dia makan bersama Vania dan bilang sesuatu yang tidak bisa kudengar. Tapi aku cepat sadar, tidak mungkin Galang suka pada Vania. Ini pasti karena dia kasihan sama Vania. Lagi pula, Galang sampai sekarang belum punya anak. Mung
GALANG"Sela, apa Bimo sudah datang?"Pertanyaan itu meluncur begitu saja begitu kakiku memasuki lobi kantor. Suara denting lift, telepon, dan langkah para pegawai tidak mampu meredam kegelisahan yang sejak pagi menusuk kepalaku. Fokusku hanya satu: Bimo.Sela, yang duduk dengan rapi di balik meja resepsionis, langsung menoleh cepat."Belum, Pak. Biasanya agak siang, Pak.""Kalau dia datang, suruh menghadap saya ke ruangan.""Baik, Pak."Aku tidak menambahkan apa-apa. Tidak ada gunanya. Tubuhku melangkah cepat menuju lift, dan begitu pintu menutup, aku mengembuskan napas kasar. Semalaman kepalaku dipenuhi kekesalan yang sama, Bimo, Vania, dan perubahan sikap Bimo yang tiba-tiba itu.Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana tangan Bimo menggandeng Vania sore kemarin. Masih bisa mendengar dengan jelas bagaimana dia memanggil Vania dengan kata “sayang,” seolah-olah selama ini dia bukan suami yang paling lalai di atas bumi.Aneh. Tidak masuk akal. Dan sangat memuakkan.Saat aku sampai di
POV GALANG"Bimo! Sepertinya kamu mau coba-coba ingkar janji rupanya!" Galang memukul stir mobil saat menuju pulang ke rumahnya malam itu. Mobilnya melaju menembus malam di antara jalanan yang masih sedikit macet. Dia masih ingat sikap Bimo yang berbeda pada Vania tadi. Bimo memanggil Vania dengan kta 'sayang, Bimo menggandeng Vania berjalan menuju motornya. "Brengsek!" Galang kembali mencengkram setir mobil dengan wajah menggelap. Cengkramannya begitu kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.Sisi lain dari dirinya menyadari bahwa Bimo memang masih berhak atas Vania. Sampai hari ini Bimo adalah suami sah Vania. Tetapi, kenapa baru sekarang ia berubah, di saat Vania hendak melahirkan? Disaat aku telah memintanya menceraikan Vania setelah Vania melahirkan nanti? Aku meremas wajahku kasar dengan satu tangan. Napasku tak beraturan. Bukan hanya marah yang kurasakan saat ini. Tetapi, ada kegelisahan, ada kepanikan yang berusaha kutekan dalam-dalam.“Tidak! Vania harus jadi milikku.”Suara
“Terima kasih kamu mau antar Vania. Tapi aku datang untuk jemput istriku, Lang.”Suara Bimo terdengar tegas, dan penuh penekanan pada kata istriku. Dia berdiri tepat di depan Galang, tubuhnya sedikit condong ke depan seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa.Galang tidak mundur setapak pun. Mereka berdiri begitu dekat, hanya terpisah beberapa centimeter. Dua pria dengan dua sikap yang benar-benar berbeda, keduanya saling memandang tajam tanpa berkata apa-apa.Beberapa detik tak ada yang bicara di antara kami, hanya terdengar obrolan pelan pelanggan. Lalu Galang memecah keheningan.Dengan senyum yang sulit kuterjemahkan, antara mengejek atau sekadar terlihat tenang, dia berkata,“Kamu jemput Vania, Bim?”Suaranya terdengar seperti tidak percaya.Bimo mengangguk sekali, pendek.“Ya. Kasihan istriku kerja dari pagi.”Dia menatapku sambil tersenyum … tapi senyumnya berbeda. Aku tahu itu senyum palsu. Senyum yang hanya muncul kalau dia sedang ingin menunjukkan sesuatu ke orang lain.Ak
“Nia …. Apa kabar?”Suaranya lembut. Hangat. Jantungku berdetak cepat. Aku menelan ludah, mencoba tetap tersenyum.“Mas Galang ….”Galang makin mendekat. Tatapannya tidak berpaling sedikit pun dari mataku. Ada sesuatu dalam sorot “Hei,” katanya dengan suara lebih pelan, “kamu baik-baik aja?”Aku mengangguk, meski jelas sekali aku tidak baik-baik saja.Galang menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya. “Nia, bisa keluar sebentar? Nanti aku antar pulang.”Aku menelan ludah, melirik sekeliling. Beberapa karyawan jelas mengenali Galang. Dia suami Ratna. Mereka pasti bertanya-tanya jika aku keluar bersama Galang. “Mas … maaf.” Suaraku liriih.Galang mengangguk, wajahnya tenang.Seolah ia sudah menduga aku akan menolak. Tapi tatapannya f… tetap tidak berubah. Hangat. Lembut.“Nggak apa,” katanya. “Aku ngerti.”Untuk menutupi kegugupan yang langsung memanas di wajahku, aku cepat-cepat bertanya, “Mas mau makan apa?”Galang tersenyum. Senyum itu ... kenapa membuat dadaku makin berdebar? Tidak!







