Nadya menggantungkan kakinya di kursi teras. Habis sudah hari ini ia disumpahi Maya. Video di kedai Aisya yang ia posting di status media sosialnya ramai diperbincangkan rekan-rekannya di lokalisasi. Beberapa segera menghubungi Maya pribadi untuk mengejek alih-alih mendoakan kesembuhan. Jika bukan karena bantuannya untuk memanggilkan tukang urut rekomendasi Mamak Wira, mungkin perempuan pemilik tinggi 158 cm itu masih mendiamkannya.
Sebuah pesan dari Maya sampai di gawai Nadya, meneruskan pesan dari Firman perihal penggunaan lensa kontak yang bisa digunakan agar Wira tak mampu melihat masa lalu penggunanya. Semuanya dilakukan demi mengamati keseharian pemuda itu lebih dekat. Hati Mamak Ayu sudah Nadya dapatkan, kini tinggal mengakrabkan diri dengan laki-laki pemilik kekuatan unik itu.
“Yaelah, May, serumah aja pake WA-an,” gerutu Nadya dalam hati.
Di teras rumah kontrakan ini lah Nadya menanti kepulangan Wira. Tes terhadap lensa kontak yang sudah ia
Minggu, pukul tujuh lewat lima menit. Wira masih memeluk guling di tempat tidurnya. Sinar matahari menerobos masuk dari sela-sela daun jendela dan lubang angin di atasnya. Kamar pemuda itu perlahan menjadi hangat. Lepas sholat subuh tadi, Wira memutuskan untuk tidur lagi, memberikan jatah pada tubuhnya untuk istirahat.Mamak sudah hafal dan maklum jika hari minggu putranya ini akan bangun lebih siang. Kebiasaan yang tidak pernah berubah sejak masa sekolah. Baginya tak apa asal Wira tak meninggalkan sholat subuh. Apa lagi kini sudah ada Nadya. Gadis itu kini malah tengah membantunya memasak di dapur setelah menemaninya belanja. Meski sudah di larang Nadya tetap memaksa karena ingin merasakan masakan rumahan seperti di kampung.Perlahan Wira membuka matanya. Kamar yang menghangat serta suara aktivitas di dapur dan suara gurauan dua orang perempuan memaksanya untuk bangun.“Mamak ngobrol sama siapa pagi-pagi begini?” batin Wira. Ia bangkit dan meraih ha
Tak ada yang lebih dinantikan Wira hari ini selain segera bertemu dengan Aisya untuk menunjukan perubahan fisiknya. Selain reaksi dari perempuan cantik itu, Wira juga merasa sudah saatnya membicarakan hati dan masa depan padanya. Perasaannya semakin terpupuk seiring semakin seringnya mereka bertemu.“Wira? Aku kira siapa, apa sih yang beda? Kok aku hampir nggak ngenalin kamu?” tanya Aisya. Ia mengernyitkan keningnya meski sudah mengkonfirmasi pemuda di hadapannya benar-benar Wira.“Ah, masa, Sya? Aku berubah?” Wira merentangkan tangannya dan memperhatikan tubuhnya mencari apa yang berbeda. Sebenarnya bukan itu lah niatnya. Ia hanya ingin agar Aisya dapat leluasa menemukan perbedaan fisiknya.“Serius, kamu beda banget!” seru Aisya. Untuk mengatakan bila Wira terlihat jauh lebih tampan tentu Aisya tak berani. Perempuan itu selalu memberikan batas yang tegas kepada lawan jenis, meski hanya verbal.“Oh ya? Bisa aja ka
Aisya mendudukkan tubuhnya di jok sepeda motor milik Wira. Ini lah kali pertama ia duduk sedekat ini dengan seorang laki-laki setelah mendiang suaminya. Meski begitu dekat, perempuan itu masih memberikan sedikit jarak. Gamis bagian bawah ia angkat sedikit agar terbebas dari putaran roda belakang sepeda motor matic itu. Sedang tangan kirinya menggenggam pegangan besi di ujung jok.Wira tersenyum menyaksikan wajah cantik perempuan di belakangnya yang tengah mencari posisi nyaman dalam boncengannya. Ia sudah tentu bahagia, apa lagi melihat mantan guru mengajinya itu sama sekali tak keberatan meski hanya dibonceng sepeda motor matic lama.“Siap?” tanya Wira. Matanya masih memandangi wajah Aisya dari kaca spion kiri sepeda motornya.“Siap, Wir,” jawab Aisya. Ia segera tersenyum setelah menyadari lelaki di depannya tengah memandang refleksinya dari kaca spion.Sebagai bentuk kesepakatan bersedia membantu membesarkan bisnis online
Wira memegangi keningnya yang terasa berat. Tak seperti biasa, bayangan masa lalu tentang bapak yang sudah belasan tahun tak pernah ia lihat itu begitu menguras energi. Padahal seharusnya masalah energi ini sudah teratasi. Sepertinya memang ia harus menanyakan perihal kematian sang bapak kepada mamaknya yang sealu saja bungkam dan menghindar bila ada pertanyaan tentang suaminya.Aisya yang berada di sampingnya menghentikan makannya. Kondisi Wira lebih jadi perhatian dari pada makanan yang tersaji di hadapannya. Ia hanya tahu ia dan Wira sama-sama menyatakan cinta. Lalu pemuda itu terdiam beberapa saat dan mengaku melihat bapaknya di tempat ini di penglihatan masa lalunya.“Wir, kamu serius denganku?” tanya Aisya.“Hah? Tentu aku serius, Sya. Makanya aku bersedia keluar dari pekerjaanku dan membantumu membesarkan usahamu itu. Benar kan?” Wira menoleh ke arah perempuan cantik di sampingnya.Aisya menunduk sekilas dan memandang Wira m
Udara di daerah ini masih terasa sejuk. Meski matahari sudah membakar tubuh berbalut jaket ekspedisi, tapi Wira masih merasakan hawa sejuk yang menerpanya. Efek dari rimbunnya pepohonan yang tumbuh di sepanjang tepi kanan jalan selebar tiga meter ini. Sedang sebelah kiri mengular aliran sungai yang kini sedang surut.Baru pertama kali Wira mengantarkan paket ke daerah ini. Seorang kurir berhalangan masuk hingga ia yang beroperasi bersebelahan dengan wilayah kurir itu lah yang mengemban tugasnya. Sebuah daerah yang sebenarnya cukup dekat dengan rumahnya namun cukup jauh dari kantor ekspedisi.Air sungai yang keruh itu memantulkan sinar matahari. Terkadang silaunya cukup mengganggu pandangan mata. Kaca helm gelap kadang pula tak mampu meredupkan maksimal pantulan sinarnya. Sebuah rumah sederhana di bantaran sungai seolah memancarkan energi yang menarik Wira untuk berhenti.Rumah pertama sepanjang daerah ini, semi permanen terbuat dari papan dan beberapa bagian lai
“Kayanya kamu harus ikut aku, Sya!” seru Wira begitu melihat Aisya menyambut kedatangannya.“Ikut kemana, Wir?” Perempuan itu menatap Wira dingin. Ia mengerti ada yang tengah dirisaukan kekasihnya ini.“Aku lihat bapak lagi kemarin. Kali ini lebih jelas dari pada tempo hari,” terang Wira. Wajahnya beegitu masam, amat berbeda dengan ekspresi Wira biasanya saat bertemu Aisya.“Oh ya? Apa memang bapak sering ke sungai?” Aisya mencoba terkoneksi dengan pernyataan Wira. Namun lawan bicaranya itu masih saja dingin.“Nggak. Jasad bapak ditemukan di sungai. Yang aku lihat kemarin adalah orang-orang yang kemungkinan terlibat dan jadi sebab kematian bapak, Sya.” Titik air mata menggantung di kelopak mata Wira.“Maksudmu ... bapak meninggal karena dibunuh?” mata Aisya terbelalak. Sebenarnya apa yang sudah dilalui laki-laki ini. Belum tuntas rasa penasarannya pada kemampuan Wira melihat ma
“Mbak Niken? Kamu tinggal di sini?” tanya Wira gembira. Sesuatu yang sama sekali belum Aisya lihat hari ini.“Iya, Mas. Oh iya, mari mampir dulu, Mas. Anak saya pasti senang sekali ketemu Mas Wira?” ujar Niken ramah. Ia langsung menghambur saja ke dalam rumah tak menunggu persetujuan Wira.“Siapa?” tanya Aisya sambil turun dari sepeda motor dan membenahi jilbab dan gamisnya.“Niken, dia itu perawat yang dulu rawat aku di rumah sakit. Awal-awal diberi kemampuan ini, aku sempat nggak sadarkan diri dua hari, Sya. Niken lah yang rawat aku, terutama kalau mamak lagi pulang,” terang Wira.Pemuda itu melepas helmnya. Ia tak menyangka bisa bertemu Niken di sini. Padahal sudah beberapa kali rumah ini ia lewati, terutama kemarin karena mencari alamat di luar trayeknya.“Terus kalian jadi dekat, gitu?” tanya Aisya lagi.Wira tertawa kecil. Ia paham api cemburu tengah berkobar di hati Aisya. Se
“Tolong ceritakan, Pak,” pinta Wira dengan mata sayu penuh dengan pengharapan. Tabir misteri kematian sang Bapak terasa sudah akan tersingkap beriring kata-kata yang akan Pak kamis ucapkan.“Saya hanya ingat sedikit saja. Saya lupa tepatnya tahun berapa. Pukul 4 pagi saya terbangun karena mendengar suara laki-laki minta tolong. Arahnya dari belakang rumah,” buka Pak Kamis sambil terus mencoba mengingat keras memori yang tak ingin ia ingat. Matanya menerawang jauh menembus waktu belasan tahun silam.“Saya ragu, entah sudah berapa lama laki-laki itu berada di sana. Saya keluar saat mendengar suara gaduh orang-orang berlari di samping rumah. Saya melihat beberapa orang masuk ke dalam sungai. Sisanya mengejar menyusuri tepian.” Pak Kamis menyeka sisa air mata di pipi.“Lalu?” Wira mencondongkan tubuhnya ke depan, ke arah Pak Kamis yang masih saja mencoba mengingat detail kejadian itu.“Lalu beberapa pria k