"Ayah ... ayahnya Kia sama Arka, kan?"Hatiku mencelos mendengar pertanyaan bernada penuh harap dari putriku. Tanpa sadar tungkai ini gemetar, hingga luruh dan berlutut di depannya."Iya, Sayang. Ayah ini ayahnya Kia sama Arka. Sini peluk Ayah, Nak."Tubuh mungil itu perlahan mendekat. Segera kurengkuh dan kudekap dengan erat. Tangis kami sama-sama pecah."Maafkan Ayah ... maaf," gumamku. Kami semua hening. Hanya isak tangis yang terdengar memenuhi indera pendengaran ini.Cukup lama kami berada dalam posisi ini sampai Hana memecah keheningan dengan mempersilahkan aku masuk."Masuk dulu, Bang. Abang sama Farel pasti cape," ucapnya.Kami pun masuk beriringan. Kia masih sesenggukan dalam gendonganku, sedangkan Arka, putra kecilku dituntun oleh Farel."Duduk, Bang. Hana ambilkan minum dulu."Aku mengangguk. Dia beranjak diiringi tatapan sendu dariku. Wanita ini ... pasti ia tengah menahan tangis karena kejadian tadi. Berpura-pura tegar di hadapanku karena tidak ingin dikasihani. Namun, ia
"Papa pastikan kamu akan hancur. Perusahaan yang kamu rintis dari nol, bisa Papa buat gulung tikar, dan anak-anakmu, kecuali Nana ... akan Papa buat mereka mengemis di jalanan.================================="Maaf, Pa. Kalau sampai Papa berani melakukan itu, saya tidak akan pernah tinggal diam. Saya akan melindungi anak-anak bahkan kalau perlu dengan mengorbankan nyawa saya sendiri. Soal harta, Papa tidak berhak ikut campur karena itu sepenuhnya urusan saya. Papa tenang saja, saya tidak akan lepas tanggung jawab terhadap Rani dan juga Nana. Mereka akan mendapat bagiannya masing-masing," tegasku. Wajah mertuaku memerah pertanda mulai diliputi amarah. Mungkin ia tidak pernah berpikir aku akan mengabaikan ancamannya, bahkan terkesa melawan. Namun, aku tidak peduli. Jika sudah menyangkut keselamatan anak-anakku, apa pun akan aku lakukan termasuk menghadapi mertua sendiri."Kamu mulai berani melawan Papa. Ternyata Papa memang salah telah memberi restu pada kalian. Andai dulu Rani Papa n
"Kamu apa-apaan sih, Bang? Kok mendadak gini? Bukannya kita di sini dua hari lagi?""Keadaannya mendesak, Ran. Lain kali Abang janji kita ke sini lagi lebih lama. Sekarang ayok kemasi barang-barang, Abang sudah pesankan tiket untuk besok pagi.""Enggak! Pokoknya aku masih mau di sini. Jawab jujur, sebenarnya ada apa sih?"Rani terus mendesakku. Mau tak mau aku harus menjawab jujur karena nanti pun ia akan tetap akan tahu."Hana kecelakaan dan Farel sampai saat ini masih di sana.""Mereka lagi?!" pekiknya. "Mbak Hana yang kecelakaan kenapa Abang yang repot? Ingat, Bang! Abang itu sudah bukan suaminya lagi. Segala hal yang menyangkut Mbak Hana bukan menjadi urusan Abang!""Masalahnya anak-anak, Ran! Kamu mikir gak sih? Kia sama Arka masih kecil, siapa yang menjaga mereka saat bundanya sakit? Cuma Farel dan Abang yakin anak itu pun tengah kerepotan mengurusi bundanya. Abang cuma ingin bantu mereka. Setidaknya lihat dari sisi kemanusiaan, Ran!" sergahku. Nada bicaraku mulai meninggi karen
"Bangunlah, Bang. Jangan seperti itu, tidak pantas dilihat Kia.""Abang malu, Han. Malu padamu dan anak-anak. Apa yang bisa mereka contoh dari Ayah macam Abang? Jangankan untuk melindungi kalian, menjaga perasaan bundanya saja, Abang tidak bisa. Abang memang Ayah yang buruk untuk anak-anak kita.""Bagus deh kalau Ayah sadar diri." Farel tiba-tiba berdiri di pintu kamar. Putra sulungku menggendong Arka yang sudah terlelap. "Ayah memang Ayah yang buruk. Ayah selalu saja tidak ada di saat kami sedang membutuhkan Ayah. Keluarga baru Ayah memang lebih penting daripada kami," imbuhnya."Farel, yang sopan, Nak. Jangan berbicara seperti itu.""Biar saja, Han. Biar Farel mengeluarkan semua kekesalannya pada Abang yang pantas menerimanya," selaku. Aku pasrah. Aku akan terima setiap cacian dan makian dari putraku sampai dia merasa puas, karena aku memang pantas mendapatkannya."Lebih baik Abang pulang saja. Soal yang tadi, Hana belum bisa kembali ke rumah itu. Terserah Abang jika masih mengangga
Perjalanan kali ini kulalui dengan perasaan senang sekaligus ... gelisah. Senang karena akhirnya Hana tetap pada pendiriannya untuk kembali ke rumah lama, dan gelisah memikirkan jawaban yang diberikan Hana atas lamaran Sandi.Mantan istriku memintaku keluar ketika aku menjadi saksi lamaran Sandi untuknya. Ia meminta waktu berbicara berdua dengan Sandi tanpa ada aku di sana. Dengan pasrah, akhirnya aku memberi waktu pada mereka, meskipun hati ini tetap tak rela.Tiba-tiba, perkataan Farel ketika menyusulku keluar, kembali terngiang. Ia mengatakan bundanya terlalu baik, hingga masih menjaga perasaanku untuk tidak menyaksikan langsung saat Hana memberi jawaban.Ya, Hana memang sebaik itu. Hanya aku yang terlalu bodoh telah menyia-nyiakan wanita seperti dia. Namun, perkataan Farel justru semakin menguatkan dugaan ini. Hana telah menerima lamaran Sandi. Terbukti, saat ini pria itu ikut mengantar Hana dan anak-anakku ke Jakarta, dan s*alnya, mereka lebih memilih ikut di mobil Sandi ketimba
Dering ponsel yang kusimpan di atas nakas, memaksa mata ini untuk terbuka. Kuraih benda pipih itu dengan malas, kemudian melihat nama yang tertera dilayar. Farel, tumben anak itu menghubungiku sepagi ini."Ya, Nak?"[Yah, bisa datang ke sini?]"Tentu. Ada apa? Kamu butuh bantuan?"[Tidak. Di sini ada ... Oma. Dia meminta aku untuk menelepon Ayah supaya datang ke rumah ini.]"Oma? Kamu gak salah? Kapan Oma kamu datang?"[Oma baru saja sampai. Ayah bisa datang? Tapi, kata Oma, jangan bawa Tante Rani.]"Tentu, Nak. Sebentar lagi Ayah ke sana."Kulempar ponsel secara asal ke atas pembaringan. Dengan rasa bahagia yang membuncah, gegas kubersihkan diri ini sebelum menemui Mama. Akhirnya ... setelah dua tahun lebih Mama memintaku untuk tidak menemuinya, kini ia sendiri yang memintaku untuk datang.Ya, karena rasa kecewanya yang teramat padaku, Mama sampai tidak sudi bertemu lagi dengan putranya ini yang telah menyakiti menantu kesayangannya. Bahkan, Mama tidak sudi untuk mengakui Rani seba
"Bang, biar Rani jelaskan dulu.""Tidak usah. Abang sudah mendengar semuanya dengan jelas. Ternyata ini penyebab sikap kamu berubah. Kamu sudah berselingkuh dan mengkhianati Abang!""Ibra! Jangan membentak putri saya!"Papa Surya angkat bicara. Ia tidak terima karena aku telah membentak putrinya. Namun, untuk kali ini aku tidak akan tinggal diam. Mereka sudah menginjak harga diriku dengan mendukung perselingkuhan yang Rani lakukan."Rani ini istri saya, Pa. Dia telah melakukan kesalahan fatal, dan sudah seharusnya saya menegurnya. Hanya karena Papa tidak pernah menyukai saya, jangan sampai membenarkan perselingkuhan yang telah putri Papa lakukan!" sergahku yang membuat wajah Papa Surya makin merah padam. Ia pasti tidak pernah berpikir aku akan berani melawannya. Akan tetapi, cukup sudah selama ini aku diam saat dia melontarkan kata-kata menyakitkan setiap kami bertemu. Aku punya harga diri, dan Papa Surya tidak bisa menginjak-injaknya begitu saja."Pa, tolong jangan ikut campur. Biar
Pov Rani"Bang, kita sudah menjalin hubungan hampir satu tahun. Aku ingin kejelasan tentang kita, aku tidak ingin digantung seperti ini." tandasku pada Bang Ibra saat ia mengantarku pulang. Pria di sebelahku tidak menjawab. Hanya terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulutnya. Aku tahu, mungkin Bang Ibra merasa bimbang karena statusnya yang bukan pria lajang. Akan tetapi, aku pun tidak ingin terus menjalin hubungan dengannya tanpa diberi kepastian. Bahkan ketika Bang Ibra hampir saja memutuskan hubungan kami, tentu saja aku menolak dengan alasan karena kami pernah tidur bersama, meskipun saat itu bukan pertama kalinya bagiku melakukan hubungan suami istri dengan seorang pria.Aku, Rani Yunita. Putri tunggal dari seorang pengusaha sukses dan ternama di kota ini. Sebagai anak semata wayang, tentu saja aku begitu dimanja oleh orang tuaku sejak kecil. Tidak pernah satu keinginanku yang tidak mereka kabulkan. Karena itulah, ketika hati ini sudah tartaut pada Bang Ibra, maka aku h