Share

Rindu yang Lupa
Rindu yang Lupa
Author: Titin Widyawati

Episode Satu : Kesedihan dan Amarah

Fira duduk di hadapan meja kasir, menikmati malam yang dipenuhi dengan lompatan kaki anak-anak muda. Beberapa dari mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Lagu band lokal mengiring keberangkatan malam. Bintang-bintang di angkasa merasa terganggu maka mereka putuskan memilih jalur keramaian kabut. Lampu disko berkelip menerangi ballroom yang temaram. Kursi-kursi makan penuh dengan wajah-wajah orang riang namun bimbang. Mereka berpesta meski sebenarnya simpan sepi di dada masing-masing. Waiter bergerak tetap seumpama eskalator. Komputer tak henti-hentinya mencetak bukti pembayaran.

Tempat itu surga bagi sebagian manusia yang dipenuhi dengan kehidupan fana. Tempat pemfilter kenangan buruk dan pengabadian kesedihan di balik kelakar-kelakar palsu. Sebuah ruang penghamburan rupiah, tak pernah mengingat buruh-buruh gendong di pasar-pasar kumuh susah payah membangunkan lutut.

Fira tak menyangka hidupnya terjebak dalam garis hitam pekat. Ia tidak menangis, tidak juga tersenyum, hanya ingin membuang jauh-jauh kepedihannya setelah kehilangan seorang ayah tiga hari silam. Ia melarikan diri dari rumah yang sedang dipenuhi duka ke kota Yogyakarta dengan dalih mencari nafkah. Tidak tunggu restu orang tua, pergi begitu saja tanpa tetesan air mata. Ia tegar, setegak dinding tua menunggu ajal. Tegar dalam arti yang tidak sebenarnya, sebab, lihatlah malam itu, di bawah atap langit tanpa cahaya bulan, ia berkali-kali mengelus dada dan mengusap peluh. Tetes demi tetes membanjiri pipi, masih saja ia merasa tidak menangis juga baik-baik saja.

“Minum, Ra! Ini bisa mendinginkan hatimu yang panas,” teman di sisinya tersenyum tipis. Ia menyulut rokok usai menuangkan air putih ke dalam gelas. Aldi, seorang waiters berambut pirang yang sedang istirahat. Ia gunakan waktu singkatnya untuk menyapa gadis yang sedang dirundung pilu. Fira tertangkap matanya berkali-kali usap cairan perih dengan punggung tangan secara sembunyi-sembunyi.

"Harusnya jangan kembali kemari dulu sebelum perasaanmu membaik!"

Saat itu Fira ingin menyendiri. Mencari kesunyian di tengah lautan dukanya, sayang yang dijumpai justru kebisingan.

“Aku tidak butuh air putih, ambilkan aku kopi!” perintahnya pada Aldi, orang yang lancang meniupkan asap nikotin pada wajahnya sehingga dirinya batuk.

“Kau sudah minum lima gelas kopi, Ra! Bisa overdosis! Berlakulah adil pada lambung dan ususmu! Jangan siksa mereka, mentang-mentang hatimu sedang sedih.”

Benar, meja kerjanya berkali-kali menjadi saksi gelas kopi pahit meninggalkan ampas. Malam itu ia sungguh tak bertenaga, mengingat masalalu yang tidak pernah ingin diceritakan dan nasib ayahnya yang berakhir tragis. Ia ingin segera pergi, tenggelam dalam sunyi yang utuh. Ia tidak membutuhkan teman, ia sungguh ingin menyendiri.

Aldi menyingkir dari sisinya, bergabung dengan pengunjung yang sedang bergoyang di tengah ballroom. Dirinya masih berdiam diri di hadapan meja kasir, menerawang kosong. Air mata kembali menitik.

Pekerjaannya tidak berjalan dengan baik, dua kali ia mendapat semprot dari pengunjung karena kembalian kurang. Terpaksa ia absen lebih awal. Rebah di kos-kosan, memandang langit-langit kamar. Meneguk pedih bersama hening dan menumpahkan seluruh air mata, setelah tiga harian lalu sama sekali tidak menangis. Baginya waktu itu haram menangis, ia berjanji pada jiwanya sendiri ketika melihat tubuh kaku ayahnya dibaluti kafan, tidak akan ada titik air di pipi lembutnya.

"Ayahmu meninggal di pasungan. Sabar, Ra! Ini keputusan tepat dari takdir, belajarlah untuk menerimanya.” Seorang tetangga memberitahu.

Kalimat itu tidak ingin pernah didengar pun diingat. Ia mengutuk yang mengucap apalagi yang memasungnya. Ia tak pernah memahami pikiran-pikiran orang dewasa, selalu merasa benar padahal melakukan tindakan bodoh. Ia membenci orang-orang yang hidup di sekitar ayahnya namun tidak memberi pertolongan ketika ia merantau. Ia benci, sangat membenci, tiga kali lipat benci. Ia tidak butuh penjelasan yang kurang bisa dinalar.

Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB dini hari, penghuni kos yang lain sudah siulkan dengkur. Beberapa kamar kos-kosan kosong, penghuninya masih membanting tulang shift malam di sebuah pabrik konveksi dan di restoran Fira mengabdikan keringat. Malam itu terasa sunyi, ia sendirian menelan getir, meremas amarah-amarah yang mengendap di hatinya. Ia menggigil dengan lukanya yang tidak dapat diurai satu persatu.

“Fira, kau sudah kembali ke kos-kosan?” suara ibu kos. Punggung tangan wanita yang tak bersuami itu bergerak memantul-mantulkan di permukaan pintu.

Fira diam, ia tak menggagas panggilan perhatian dari luar. Ibu kos yang baru saja pulang dari diskotik, seperti biasanya memeriksa satu persatu kamar. Jika lampu kamar masih menyala, itu artinya ada penghuni terjaga. Ibu kos tidak mau keuntungannya berkurang karena lampu dinyalakan 24 jam. Fira memang tidak membukakan pintu, namun ia berdiri, memencet sakelar lampu, seperkian detik ruangan menjadi gelap.

“Ibu tidak menyuruhmu mematikan lampu, Ra! Ibu ingin melihatmu,” kalimat yang tidak pernah Fira dengar dari ibu kos.

“Aku sedang tidak ingin diganggu, Bu! Pergilah!”

Brak!

Fira menendang pintu kamar. Ibu kos terkesiap. Untuk pertama kalinya, Fira yang riang, Fira yang selalu kaya dengan lelucon di tempat kerja dan dengan teman-temannya, Fira yang menyenangkan, selalu sembunyikan pedihnya, Fira yang terkenal baik hati, lembut, penyayang dan perhatian, Fira mungil yang dikisahkan waktu penuh dengan keluguan, mendadak berubah terbalik 180 derajat. Ibu kos merasa sedang bermimpi buruk.

“Ra! Ini ibu kos! Sembarangan kau bertingkah! Kau mau ibu masuk rumah sakit karena jantungan? Ayo bukakan pintu! Bagaimana cerita ayahmu meninggal?”

Ibu kos berniat ingin memberikan simpati, namun justru menusukkan belati di hatinya yang sedang dibaluti dengan luka. Air mata itu muntah dengan amat deras, Fira membuka pintu, mengusir ibu kos dengan tatapan amarah. “Pergi!”

“Ada apa, Ra?” ibu kos meletakkan tangannya di bahu Fira. Gelang-gelang yang melingkar di lengan bergemerincing mengusik suasana. Membuat detik sedikit memiliki kesempatan untuk bernapas. Angin malam lancang masuk ke kamar gelap Fira.

"Pergi!”

Ibu kos tak berkutik. Fira membanting pintu. Kembali ia rebah. Dadanya diremas, menahan perih, menelan semua pikiran pahitnya sendiri. Malam itu ia menggantungkan kecewa pada kebisuan langit-langit kamar.

***

Akhtar masih terjaga. Ia sibuk dengan tugas-tugas kampus. Beberapa buku tebal tertumpuk di sebelah laptop yang masih menyala. Matanya membidik pendahuluan skripsi di layar, sementara pikirannya terbang ke satu titik. Titik jauh yang baginya tidak akan pernah ditemukan.

"Akhtar, kau sungguh tidak ingin pergi menemui Fira? Ia sedang terluka, apakah kau tega, Tar?”

“Ibu paham, kamu masih sakit hati dengan Fira yang memanggilmu Pangeran Kursi Roda bertahun-tahun lalu, tapi tanpa dia, kau tidak akan pernah sakit hati dan memiliki semangat untuk berjalan, Tar! Sebaiknya kau pertimbangkan dulu keputusanmu.”

Ia masih memikirkan suara Bila tadi pagi. Kabar datang menyedihkan, Ayah Fira meninggal di pasungan. Nasib lelaki malang itu mendadak menjadi tranding topik semua kampung-kampung yang dekat dengan tempat kejadian. Orang-orang berkerumun bukan untuk berbela sungkawa, melainkan menggosipkan hal-hal yang tidak perlu dibicarakan saat itu. Dunia ikut heran dengan kekejaman yang diberikan kepada ayah Fira. Tragisnya, orang terdekat yang mengetahui keadaan ayah Fira secara langsung tidak menolong sama sekali. Dari tetangganya pula ia mendengar bahwa ayahnya Fira pernah direncanakan untuk dibuang ke laut. Di mana peri kemanusiaan mereka?

Akhtar menutup layar laptop, ia mematikan lampu kamar, bergegas mengeluarkan sepeda motornya.

“Mau ke mana, Tar?”

Tak ada jawaban, sepeda Akhtar melesat cepat. Bila mematung di teras rumah.

Jalananan yang berliku ia lalui, tebalnya kabut ia terobos, dinginnya malam ia abaikan, udara yang membuat pernapasan sesak ia lawan. Sepeda motor melaju dengan kecepatan 60 KM/Jam di jalan tanjakan. Malam itu bintang tidak tersenyum, ladang yang membentang terlihat gelap menghanyutkan. Bias cahaya rembulan pun ikut terlelap, kunang-kunang yang biasanya berterbangan di semak-semak mengambil cuti libur. Akhtar sendirian di jalan itu. Ia menuju rumah tingkat yang tak lagi megah, rumah yang menjadi pelindung seorang wanita kuli panggul.

Kursi-kursi sepi, meja duka dipenuhi dengan toples dan gelas-gelas air mineral. Embun menyerbuk di kain penyekat. Ia mengetuk pintu. Rumah duka seperti sedang menangis. Jendela rumah tidak tertutup tirai, lampu ruangan tidak dipadamkan membuat leluasa melihat orang-orang tertidur sembarang di atas tikar.

Seorang lelaki tua terbangun, mengusap matanya pelan-pelan, kemudian menatap ke arah pintu yang diketuk oleh Akhtar. Lelaki itu melihat tubuh Akhtar dari jendela, segera ia membukakan pintu.

“Ada apa, Mas? Malam seperti ini menyempatkan diri kemari, pasti ada suatu hal yang sangat penting!”

“Saya ingin bertemu dengan Fira,”

“Fira sudah berangkat kerja.”

“Apa? Kerja?” Akhtar tidak percaya. “Ayahnya meninggal tragis dan ia pergi bekerja?” lanjut kalimat Akhtar.

Malam itu…

Ia ingin menelan mentah-mentah udara dingin yang dihirupnya. Ia berharap semua hawa yang ikut serta menyisir waktu mampu membekukan kecewa kepada gadis yang menurutnya sangat menyebalkan. Mendadak ia malas mengingat namanya, enggan pula ikut berbela sungkawa kepadanya. Mulai detik itu ia tidak akan peduli dengan kabar Fira. Biarlah ia menjadi sejarah dalam lembar hidupnya yang akan ditutup.

Bila belum tidur ketika ia tiba di rumah. Ruang tamu masih terang, Ayah lembur hari itu. Hening menyeluruh, baik di dalam maupun di dalam rumah. Deru kendaraan yang masuk ke garasi membuat Bila terbangun dari tempat duduknya. Ia menyambut anaknya yang memasuki ruang tamu.

“Dari mana? Ibu kira kau akan menginap di rumah temanmu, kenapa hanya sebentar sekali?”

“Kenapa Ibu belum tidur? Ini sudah sangat larut!”

“Ibu sedang memikirkan Fira,” jawab Bila dengan nada lembut. Ia duduk kembali di atas sofa. Meraih majalah yang sedari tadi menemani waktunya, membuka-buka lembar demi lembar, “Ibu merasa sakit jika mengingat cerita orang-orang.”

“Ibu sakit hati?” suara Akhtar memantul di dinding rumah, menerkam detik yang berputar, menghentikan embusan angin, meretakkan sel-sel dingin, membakar waktu yang semula hening. “Nggak usah terlalu simpati kepada gadis itu, Bu! Dia saja tidak peduli dengan ayahnya sendiri!”

“Maksudmu apa, Tar?” majalah digeletakkan di atas meja dengan keadaan terlentang.

“Tenda duka masih terpasang, orang-orang masih banyak yang mendoakan almarhum ayahnya di rumah, sementara Fira justru berangkat kerja! Ibu bisa berpikir otaknya di mana?”

“Mungkin Fira hanya diberi izin libur dua hari saja, Tar!”

“Hah, dengan berita seperti itu? Dengan kabar menyakitkan itu, apakah penting peraturan dari sebuah perusahaan, Bu?”

Bila tak tahu kalimat apa yang perlu disuarakan lagi, ia mengembuskan napasnya yang mendadak dirasa berat. “Ibu lelah, Tar. Mau tidur, tapi ibu yakin, Fira bukan orang yang tidak tahu diri, ia anak baik dan menyenangkan.”

“Omong kosong semua itu, Bu! Dari dulu Fira selalu menyebalkan! Aku amat membencinya, lebih-lebih karena masalah ini, aku tiga kali benci gadis itu yang tidak peduli dengan ayahnya sendiri!”

Akhtar melangkah menuju kamar. Ia membanting pintu, lantas melempar tubuhnya ke atas ranjang. Ia tak mengerti mengapa malam itu begitu marah pada kehidupan yang terjadi dengan Fira. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin dipukul, diremas, ditendang, lebih dalam ingin dihancurkan. Namun apa? Apa yang mendadak membuatnya menitikkan air mata?

Ah, Akhtar, pemilik hidup yang seharusnya menyenangkan, mendadak ditumpuki kelu bertubi-tubi. Sejak pertamakali dipertemukan dengan bocah lugu bernama Fira ia mendapati sial bertumpuk-tumpuk. Hidup yang semula penuh dengan kedamaian dan perlindungan dari seorang ayah juga ibu, mendadak dilikukan dengan tantangan-tantangan yang tak dapat diuraikan oleh kata-kata. Secara tidak langsung, ia diseret paksa masuk ke dunia Fira. Sebuah tempat dan alam yang baginya amat sangat asing.

Akhtar menatap dinding kamar yang dipenuhi dengan lukisan Fira. Bingkai-bingkai tergantung menjadi rumahnya. Rupa Fira sedang menangis, tertawa, makan, tertidur, bahkan duduk termenung, tergambar dengan jelas di dinding-dindingnya. Ia ingat seorang gadis lari tergopoh-gopoh usai dirinya menampar wajah lembut Fira di beranda rumah.

Hari itu langit berlinang. Enam belas tahun lamanya ia belajar berjalan, merangkak, membelai-belai lantai dengan lututnya, menggagapi tiang-tiang, menjadikan tongkat sebagai kekuatan, memakan waktu bermain-mainnya, menjadikan malam sebagai tempat penghabisan lelah, menjadikan pagi sebagai penanam tekad mimpi-mimpi. Mimpi sederhana, hanya agar bisa berjalan normal di hadapan Fira dengan alasan ia tidak ingin bocah itu memanggilnya Pangeran Kursi Roda, baginya hal tersebut sangat menyakitkan, sebuah ledekan yang disampaikan dengan lembut.

Dan— usahanya membuahkan hasil. Ia datang ke kampung Fira, sendirian, tanpa kursi roda.

“Mulai saat ini kau haram memanggilku Pangeran Kursi Roda! Aku benci sebutan itu meski kau ucapkan dengan sebuah senyuman!”

Bocah yang telah menjadi seorang gadis manis itu tersenyum, air matanya menitik di pipi, seperkian detik ia melompat girang. Menunjukkan kebahagiaannya dengan gerakan spontan yang membuat Caca dan Lala terbengong-bengong.

“Oh kau sempurna! Saat ini kau bertambah tampan! Tapi kau bodoh—” entah itu bentuk dari pujian atau hinaan. "Bodoh karena semua yang kau perjuangkan bertahun-tahun itu hanya digunakan untuk menutup kekuranganmu, harusnya kau terima kenyataan, kenyataan bahwa kakimu pernah luka. Harusnya kau tak perlu mengeluh di waktu-waktu lalu, kau hanya perlu berusaha untuk sembuh tanpa membenciku!"

Akhtar diam saja, ia hanya merasa puas karena berhasil mewujudkan mimpinya di hadapan Fira.

“Tapi buat apa kau tampan jika otakmu tumpul, Tar? Besar nanti kau hanya akan menjadi seperti suami yang pergi lupa jalan pulang!”ucap Fira tiba-tiba.

“Eh, Fir! Jaga ucapanmu! Jangan semena-mena kalau bicara! Bisa kupukul itu bibir!”Akhtar naik pitam. Gerahamnya bergemeletuk sementara napas memburu cepat.

“Pukul saja kalau berani, Tar! Lelaki yang baik adalah lelaki yang cerdas, mampu menggunakan otaknya untuk berpikir bijak!”

Mereka sudah sama-sama dewasa. Kalimat-kalimat yang terucap tak lagi selugu di masa capung dan gelembung. Mereka mengerti kehidupan secara utuh.

Caca bosan melihat persekutuan dua manusia itu, selalu saja penuh dengan perdebatan tak masuk akal. Lala merekamnya dengan jelas, ia kemudian mengaplod vidionya ke akun i*******m dengan hastag, ‘dua kucing kelaparan di bawah hujan’. Ya! Saat itu, hujan mendadak turun tanpa diundang. Tanaman-tanaman basah. Mereka masih saja adu argumen di beranda rumah. Ibu mereka belum pulang dari pasar.

“Kau memang gadis yang perlu diberi pelajaran, Fir! Maafkan aku, tapi setidaknya ini untuk menjaga mulutmu yang menyakiti perasaanku bertahun-tahun!” Akhtar mengepalkan tinju di permukaan udara, tepat di depan kening Fira.

Caca dan Lala yang mengintip dari jendela langsung tersentak, reflek ia mendorong Lala hingga ponsel yang dibawanya jatuh, tergeletak di atas lantai. “Kekerasan! Buruan suruh Kak Akhtar pulang, dia orang yang terkadang sangat berbahaya untuk Kak Fira!” Mereka berdua lari keluar. Ponsel yang terpisah dengan batrainya tak lagi penting.

Plak!

Kepalan tinju itu secepat kilat berubah menjadi tamparan. Pipi Fira memerah. Hujan mengamuk deras, angin bertiup kencang. Lala dan Caca kecewa. Mereka marah kakaknya diperlakukan dengan tidak baik.

“Ayo, tampar lagi sampai kau puas! Lelaki bodoh!”

“Sudah cukup, hentikan! Masuk!” teriak Caca. Ia mengerti perasaan kakaknya yang sedang panas. Pada dasarnya dada Fira terpenuhi amarah tersebab gosip ayah yang lupa jalan pulang, lupa memeluknya, lupa membelikan boneka untuknya, lupa membelikan jajan, lupa memberikan senyuman kepadanya, lupa dengan dongeng-dongeng kancil mencuri timun, dan lupa segala-galanya. Kedatangan Akhtar pamer keberhasilan berjalan dengan menyuarakan nada tinggi membuatnya bertambah geram.

"Berterima kasihlah pada Tuhan karena menginginkanmu berjalan lagi, jangan menyombongkan dirimu di hadapanku! Tidak berguna!"

"Dari dulu kamu memang gadis yang tidak bisa menjaga mulutmu! Sebaiknya Tuhan membuatmu bisu!"

“Kak Fira masuuukkkk!!!!” begitu pun, Fira adalah orang yang paling berharga di kehidupan Caca dan Lala.

Fira berdiam diri di tempatnya, ia menangis.

“Kau tahu apa yang paling aku sesali di dunia ini, Fir?”

Fira bungkam.

“Mengenalmu.” Ucap Akhtar pelan dan lembut, namun menyayat uluh hati. Ia kemudian membalik tubuhnya, berjalan menembus hujan menuju mobilnya yang diparkir sengaja di luar pintu gerbang rumah.

Lala mematung, entah apa yang harus dia lakukan. Ia merasakan pedih yang menyayat uluh hati. Sesuatu yang belum bisa ia jelaskan.

Caca lari tergopoh-gopoh ke dalam rumah, menaiki tangga, masuk ke dalam kamarnya, mengambil seluruh lukisan yang dipajang, membungkusnya dengan kardus, kemudian membawanya turun, ia pontang-panting mengejar langkah Akhtar. Mobil melaju pelan-pelan. Caca memacu kecepatan kaki.

“Kak Akhtar! Berhenti!”

“Kak Akhtaaarrr!!!”

Rem diinjak. Spionnya merekam dengan jelas, seorang gadis berambut sebahu berdiri di bawah hujan membawa kardus besar.

Akhtar turun, menghampiri.

Kau boleh marah pada Kak Fira, tapi jangan pernah menganggap dia bodoh! Dia orang yang paling baik di dunia ini, dia orang yang paling cerdas, terakhir, dia orang yang sangat berarti bagi kehidupanku! Jaga ini, jangan sampai rusak!”

Kardus diberikan kepada Akhtar.

“Cepetan masuk ke dalam mobil! Nanti basah dan rusak!”

Akhtar tidak mengerti, “apa ini?”

“Kau akan menyesal karena telah membuatnya menangis, jika tidak hari ini mungkin beberapa tahun yang akan datang!”

Akhtar masuk ke dalam mobil. Ia meletakkan kardusnya di kursi.

Waktu itu ia amat terkejut mendapati isi kardus yang dipenuhi dengan lukisan wajah Fira. Ia membenci, namun ada hasrat untuk memajangnya di dinding kamar, demi Caca. Demi menghargai seniman penciptanya.

“Seberapa berartikah gadis gila itu di matamu, Ca?” gumamnya. Ia jadikan dua tangannya sebagai bantal. Malam itu dihabiskan dengan nostalgia masalalu.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arya Nanda
... good job!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status