RINDU YANG TERLUKA
- Surat Suara ketukan di pintu membuat Daffa dan Rinjani menoleh. Lelaki itu bergerak membukanya. Lastri sudah berdiri di sana sambil menyodorkan sebuah amplop. "Ada surat untuk Ibu, Pak." "Makasih." Daffa terkesiap melihat siapa pengirimnya. Setelah menutup pintu Daffa kembali menghampiri istrinya. Rinjani berdebar-debar. Sekilas terlihat dia tahu surat itu dari mana. "Berikan padaku. Itu surat untukku dari rumah sakit." Perasaan Rinjani sudah tak enak. Jemarinya gemetar. Namun ia harus kuat. Daffa pun merasakan hal yang sama. Makanya dia ragu untuk memberikan surat itu pada istrinya. Rinjani yang tidak sabar, mengambilnya dari tangan sang suami. Dengan perasaan tak karuan dan jemari gemetar ia membuka amplop. Pemberhentian Kerja. Ternyata surat itu lebih dulu ia terima disaat belum selesai menulis surat pengunduran diri. Netra Rinjani mengembun. Luka tak berdarah tapi bernanah. Sejenak Rinjani diam mengatur napas usai membaca isinya. Dipuncak rasa sakit dan kecewa, ia bisa menerimanya. Sudah selesai dan ini menjadi akhir karirnya di rumah sakit di mana ia pernah koas, jadi dokter internship, hingga menetap menjadi dokter umum. Daffa memeluknya. "Rin, maafkan mas. Ini bukan akhir semuanya. Cita-citamu nggak akan kandas sampai di sini. Mas akan usahakan untukmu." Rinjani melepaskan diri. "Aku nggak apa-apa," jawabnya dengan suara bergetar. "Mas akan perjuangkan cita-citamu, bisa kembali menekuni profesi yang kamu impikan selama ini." Daffa mencoba menenangkan istrinya. Namun Rinjani diam sambil menghapus surat yang hampir selesai ia ketik. Mematikan layar laptop dan menutupnya. "Rin." Daffa meraih kembali jemari Rinjani, tapi ditepis pelan. Wanita itu hendak melangkah keluar ruang kerja tapi Daffa menahannya. "Nggak perlu sibuk ngurusi aku, setelah kamu sendiri yang menghancurkannya, Mas." "Please, maafkan mas, Rin. Honey ...." Daffa mengejar Rinjani yang melangkah ke arah kamar Noval. Rinjani berhenti sebelum menggapai pintu. "Aku titip pesan, Mas. Untukmu dan perempuan kesayanganmu. Ingat kata-kataku ini, setiap tetes air mataku karena rasa sakit yang kalian torehkan, akan mencari karmanya sendiri. Tolong katakan padanya. Atau jika kamu tak sampai hati mengatakannya, biar kuberitahu sendiri nanti." Selesai bicara, Rinjani membuka pintu dan menguncinya. Daffa tercekat. Kepalanya hampir terantuk pintu yang ditutup Rinjani dengan cepat. Lelaki itu mematung dengan perasaan campur aduk. Padahal dirinya sudah berusaha berkompromi dengan pimpinan rumah sakit, mengakui serendah-rendahnya kalau dirinya yang bersalah, bukan Rinjani. Apa Abila yang ada di balik pemberhentian kerja untuk Rinjani. Sekali lagi Daffa mengetuk pintu kamar. "Rin, tolong bukain pintunya. Biarkan mas bicara." Sepi. Tidak ada respon apapun. Yang terdengar isak lirih dari dalam. Netra Daffa ikut memerah. Sesalnya kian dalam. Disambarnya kunci mobil yang ada di meja sudut ruangan lalu melangkah menuruni tangga dan pergi dengan mobilnya. Kendaraan keluaran terbaru itu melaju cepat membelah lalu lintas jalanan kota Pahlawan yang lumayan padat. "Maaf, Pak. Sudah dua hari ini Mbak Bila nggak masuk kerja." Seorang resepsionis di kantor Abila memberitahu Daffa. Lelaki itu mendengkus kesal lantas pamitan. Dia tahu harus ke mana mencarinya. Kendaraan Abila ada di garasi saat mobil Daffa berhenti di luar pagar. Abila memang lebih sering menempati rumah keluarganya yang berada di pemukiman elite itu. Dia tidak ingin tinggal bersama kakek dan neneknya. Seminggu sekali atau dua kali akan mengunjungi dan menginap di rumah besar sang kakek. Aset berupa rumah kontrakan dan kamar kos ada di mana-mana, jadi Abila tinggal pilih saja mau tinggal di mana. Daffa mengambil ponsel dan menghubungi Abila. "Halo, Mas. Akhirnya kamu nggak tahan juga untuk tidak menghubungiku. Kenapa? Kangen, ya. Yuk, ketemuan. Mau di mana, di rumah atau di hotel." "Keluar! Kutunggu kamu di depan pagar." Daffa mematikan ponselnya. Dia memandang ke dalam rumah dari celah teralis pagar. Tidak lama kemudian Abila muncul dari pintu dengan h0t pant dan kaus ketat warna putih. Rambutnya digelung asal-asalan. Gadis itu membuka pintu pagar dan menghampiri Daffa. Berdiri di samping kemudi karena Daffa tidak turun dari mobil. "Masuk, Mas. Belum malam Mas Daffa sudah datang." Senyum Abila merekah. "Apa yang kamu lakukan pada istriku. Kamu yang membuatnya diberhentikan dari rumah sakit." Daffa berkata dengan intonasi datar, tanpa memandang perempuan yang berdiri di samping mobilnya. "O, karena ini Mas Daffa menemuiku? Tapi Mas salah. Bukan aku yang melakukannya. Bukankah wajar saja yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Mana mau mereka memiliki tenaga medis yang terlibat dalam tindak kejahatan. Mereka pasti khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di rumah sakit jika tetap mempertahankan istrimu. Btw, nggak enak ngobrol di sini, Mas. Ayo, masuklah ke rumah." Daffa bergeming. "Ayolah! Apa nggak kangen sama aku?" "Jangan pernah menyakiti Rinjani dan Noval. Kamu harus ingat sejak awal aku dan kamu sebagai apa. Nggak perlu lagi aku mengingatkan berulang kali. Bahkan dari profilku kamu tahu kalau aku pria beristri." "Tapi kamu juga yang menanggapi tawaranku." Abila menyeringai penuh kemenangan. Ingat bagaimana pria di hadapannya ini takhluk padanya di suatu kesempatan. Pertemuan kerja yang tidak bisa terelakkan, lunch, dinner, pertemuan-pertemuan kecil yang membuat mereka semakin dekat dan akrab. Abila yang sudah sering bertemu dengan banyak eksekutif muda, pria mapan, kaum kelas atas, tidak bisa mengelak dengan sosok Daffa Prasetya Bhakti. Pria ini berbeda. Good looking. Posturnya 187 cm, tegap, tampan, suaranya ngebass berdentum dan menggetarkan jiwa. Lalu senyumnya berwibawa sebagai seorang pimpinan. Coba perempuan mana yang tidak kepincut. Namun dengan mudah bisa ia takhlukkan dikala sama-sama butuh selingan. Menggiring pria ini bermain-main sejenak dalam genggamannya. "Kita sudah selesai, Bila. Aku punya istri." "Nggak bisa. Kamu harus tanggungjawab, Mas. Kamu sudah membuatku jatuh cinta. Jangan seenaknya pergi begitu saja." Abila menjawab dengan tatapan tajamnya. "Kamu sudah menghancurkan karir Rinjani." "Bukan aku pelakunya. Siapa suruh bertindak brut*l. Aku hanya melaporkan tindak kekerasannya padaku. Aku nggak ikut campur dalam karir istrimu. Jangan sembarangan asal tuduh." Daffa menghela nafas berat. Menyalahkan diri sendiri, kenapa begitu bodoh hingga dirinya terbelit oleh ular berbisa. Dia salah memilih lawan bermain-main. "Jangan pernah berpikir ninggalin aku. Atau akan kubuat istrimu tahu semuanya," ancam Abila. Daffa tidak menjawab. Kembali dinyalakan mesin mobil dan ia pergi dari sana. Tidak peduli dengan teriakan-teriakan menggila dari Abila yang menarik perhatian para ART. Dari balik pintu pagar rumah sang majikan masing-masing, mereka melonggok mencari tahu keributan kecil itu. ***L***Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k