“Tidak hanya itu, Nav! Kamu juga harus membuat mertuanya Maya berubah membenci perempuan itu. Kamu harus rebut hatinya Bu Rini. Buat Bu Rini suka kepadamu dan merestui hubungan kalian nantinya. Namun, kamu harus main cantik sepertinya, Nav. Jangan terlalu agresif dulu, deh.” Lisa menimbang-nimbang. Dia berpikir kalau beberapa waktu ini sepertinya mereka berdua agak terlalu gegabah sehingga membuat Maya keburu sadar dengan tindak tanduk keduanya. “Sebenarnya, agresif itu nggak apa-apa sih, Bun. Asalkan, dukunnya Bunda bisa ngeguna-guna Mbak Maya sekalian. Bikin dia sakit, kek. Atau bikin dia jadi dibenci sama suaminya. Jangan melet Mas Refal doang, Bun. Sekalian kita hancurkan Mbak Maya pakai ilmu hitam biar mereka buru-buru bercerai. Aku juga udah nggak sabar pengen nikah sama Mas Refal, Bun. Kuliah sambil nikah kan, nggak masalah. Malah enak. Nanti pulangnya bisa diantar jemput pakai mobilnya Mas Refal yang bagus.” Navita penuh percaya diri. Dia yakin seribu persen ba
Bagian 13 Berubah Manis “Maya, Ayah dan Bunda pulang dulu, ya. Tolong jaga adikmu baik-baik, Sayang. Ayah sama Bunda minta maaf kalau ada omongan kami yang tidak berkenan di hatinya Maya.” Setelah sarapan bersama, Ayah memeluk tubuhku erat-erat. Kurasakan aroma ketulusan yang begitu kental melekat dari Ayah. Ucapan Ayah yang lembut seketika membuat hati ini luluh dan terenyuh. Sesaat aku melupakan kekesalanku kepada Ayah, Bunda, dan Navita. Sekarang, hanya rindu yang membuncah. Rasanya aku berat sekali untuk melepas kepulangan Ayah. Ingin kusuruh saja beliau yang sudah pensiun itu untuk tinggal bersama di sini. Namun, sepertinya hal itu tidak mungkin. “Iya, Ayah. Aku juga minta maaf kalau ada kata-kataku yang membuat Ayah atau Bunda tidak senang. Insyaallah Navita akan aman bersama kami di sini,” jawabku penuh kasih sayang kepada Ayah. Ayah mengusap-usap puncak kepala dan punggungku beberapa kali.
Bagian 14: Ponsel Rahasia “Mbak biar aku yang cuci piring dan beres-beres dapur. Mbak istirahat aja.” Navita berujar ketika semua orang sudah pergi dari rumah. Aku cukup kaget mendengarkan ucapan Navita. Dia benar-benar menjadi seorang gadis baik yang manis kepada kakaknya. Pertolongan cuma-cuma ini tentu saja tidak akan kusia-siakan. “Ya, sudah. Silakan. Aku tidak menyuruhmu lho, ya. Terus, tesmu bagaimana? Sudah belajar, kan?” tanyaku sambil melirik Navita dengan setengah menyelidik. “Aman, Mbak. Aku sudah belajar jauh-jauh hari.” “Jangan karena kamu kepengen masuk swasta bonafide, kamu jadi sengaja nggak belajar supaya gagal tes, lho!” Aku sengaja menyindir Navita. Gadis itu malah senyum semringah. “Nggak, dong. Usaha belajarku sudah maksimal. Aku juga sekarang udah ngertiin posisi Mbak Maya, kok. Kalau memang aku gagal masuk negri dan akhirnya masuk swasta, masalah biaya nanti aku akan pikirkan, Mb
Tak mau menyerah, aku kembali mencoba memasukan angka demi angka ke dalam ponsel tersebut. Sambil dalam hati aku terus berdoa supaya Tuhan mau memberikan jalan-Nya. Tunjukkan kebenaran itu kalau suamiku memang salah! Aku mau tahu apa yang sebenarnya tersimpan di ponsel ini, Tuhan! Aku mencoba memasukkan tanggal pernikahan kami. Namun, percobaanku gagal tela. Aku tak kehabisan akal. Kucoba kembali memasukkan tanggal lahir ibu mertuaku. Masih gagal juga. Lalu, kuingat-ingat tanggal lahir almarhum bapak mertuaku. Masih salah juga ternyata. “Ya Allah! Ayo, dong! Kasih ilham supaya aku bisa buka password-nya!” gumamku penuh sesak di dada. Entah bagaimana, tiba-tiba aku kepikiran untuk memasukkan tanggal lahirnya Navita. Tanganku gemetar saat mengetik angka tersebut satu per satu. Dan … ponsel itu pun terbuka sempurna kuncinya. Aku kaget. Benar-benar syok dan terhenyak ketika mendapati sebuah kenyataan tak masuk akal tersebut?
Bagian 15POV Author: Kelicikan Wanita Iblis Tok! Tok! Tok! Navita mengetuk pintu kamar kakaknya. Maya yang baru saja selesai salat Zuhur, buru-buru melepas mukenanya sambil berjalan ke arah pintu. Dia sudah menduga bahwa yang mengetuk pintu kamarnya adalah Navita. Maya sebenarnya sangat marah besar kepada perempuan bertubuh ramping dengan bagian dada dan bokong padat berisi itu. Namun, dia tidak boleh gegabah. Maya harus tetap slow and slay di hadapan si perempuan bermuka dua tersebut. Sebelum semua bukti terkumpul, Maya tidak akan terang-terangan mengusik perempuan gatal itu. “Hei, sorry. Aku baru selesai salat,” ucap Maya sambil tersenyum di balik celah pintu yang dia buka tak terlalu lebar. Navita berdiri di depan kakaknya sambil tersenyum manis. Gadis seksi itu sudah berpakaian rapi dan sopan. Celana bahan berwarna hitam dan kemeja polos putih lengan panjang membungkus tubuhnya yang tinggi semampai. Tak lupa, sebuah totebag
Bagian 16: Kecurigaan Mendalam “Kamu jangan cemberut begitu, dong! Senyum! Biar lulus tesnya,” ucapku sok menyemangati Navita yang sepanjang perjalanan menuju kampus hanya diam mematung di atas motor. Penyebabnya apalagi kalau bukan kesal kukatai open BO. Mampus kan, dia. Ternyata, hatinya tidak sekuat yang kupikir. Lemah sekali dia. Baru disindir satu kali sudah mati kutu. “Apaan sih, Mbak?” cetusnya sinis. Aku hanya mlengos sambil mencibir kecil. Kusodorkan tanganku kepada Navita untuk dia cium. Gadis itu hanya kuantar hingga gerbang depan saja. Aku juga masih di atas motor dan enggan mematikan mesin. Dengan muka jengkel, Navita menyambar kasar tanganku. Dia menciumnya seperti orang yang tidak ikhlas. Aku semakin geli saja melihat sikap kekanakannya. Yang modelan begini sudah mau merebut suaminya orang? Duh, Nav! Kamu itu masih kecil. Masang pembalut saja mungkin masih suka miring-miring. Berani-beraninya kamu mau mengganggu ru
Bagian 17: Bantahan Mertuaku “Bu, tadi mau cerita apa? Aku penasaran banget ini,” rajukku saat Bu Rini sudah muncul di hadapan dengan pakaian terbaiknya. Sebuah stelan berwarna biru laut yang sangat cantik. Celana kulot panjang, sedangkan atasannya berbentuk tunik selutut. Untuk hijabnya, Bu Rini memakai sebuah pasmina berwarna dongker. Komplet cantiknya beliau ini. Selain indah parasnya, mertuaku juga sangat pandai memadupadankan busana. “Nanti pas di warung bakso aja, May. Biar asyik ngobrolnya. Ayo, Nak. Ibu udah siap, nih!” kata ibu mertuaku dengan senyuman semringah yang lebar luar biasa. Kulihat wajah Bu Rini kian berseri saja. Selain memakai bedak tabur tipis-tipis, beliau juga mengenakan lipstik merah bata di bibirnya yang berbentuk seperti huruf M tersebut. Aku pun terpaksa harus menelan kecewa. Harus bersabar, pikirku. Padahal, penasaran yang kupendam sudah mencapai pucuk ubun-ubun. Betapa tidak, ini menyangkut ibu tiriku. Apa yang k
Bagian 18: Kesepakatan Berdua “Demi Allah, Bu! Demi Allah tidak ada yang pernah masuk ke kamar tidur kami, kecuali aku dan Mas Refal. Lantas, siapa yang memiliki ponsel ini kalau bukan suamiku sendiri, Bu? Aku tidak mungkin repot-repot mengkarang atau mengada-adakan cerita tidak jelas begini kan, Bu? Untuk apa? Untuk apa aku berhalusinasi, menuduh suamiku berselingkuh dengan adikku sendiri? Memangnya apa untungnya buatku?!” Aku berucap dengan tatapan yang penuh duka. Tangisanku terus menghujani wajah ini. Tiada henti. Sekeliling kami pun semakin menoleh ke arah tempat duduk aku dan Bu Rini. Namun, lagi-lagi aku tidak peduli. Yang penting masalah ini beres! “Astaghfirullah, Refal … kenapa kamu berubah begini, Nak? Kenapa?” Tatapan Bu Rini kini nanar. Tremor jemarinya tatkala menaruh ponselku ke atas meja demi menjauhkan foto-foto bukti tersebut. Jangankan Bu Rini yang ibu kandungnya sendiri dan kebetulan tinggal berjauhan dengan Mas Refal. Aku