Riwa memberikan teropong pada nonanya. Adara melihat lebih dekat kapal perang yang dari arah berlayar sedang menyambanginya. “Persiapkan semua orang dan senjata untuk memulai peperangan.” Kapten itu menghela napas panjang. Bukan tak mungkin kapalnya juga tenggelam mengingat dua lawannya dari jarak jauh juga amat sangat tangguh. Adara mengambil terompet yang ada di pinggannya. Ia tiup sekuat mungkin sebagai sinyal peperangan. Kemudian genderang perang bertabuh dan bersahut-sahutan. Anak buah Adara mulai bergerak. Mereka mulai mengasah pedang, menyiapkan tali juga meriam dipanaskan untuk menembak ketika perintah diturunkan. “Kenapa. Kenapa kali ini aku merasa ketakutan dan aku merasa tak percaya diri.” Adara menatap kapal yang semakin dekat. Ia sedikit berharap kalau Arsa keluar dan membantunya. Namun, kemunculan pria itu tak terlihat. “Aku tak boleh berharap pada orang lain ternyata.” Gadis berambut keriting itu tersenyum kembali.Apa pun akan ia hadapi, entah mati sebagai kapten,
Dewa perang Arsa membawa Reksi menembus awan di langit. Kemudian lekaki yang menggunakan zirah besi di lapisan luar bajunya itu mendorong lawannya begitu jauh. Meski demikian, Reksi masih bisa menahan dorongan tersebut dan melayang di langit dengan sebelah kaki naik. “Kau memang anjing,” ucap Arsa sambil menggeram. Tak ia tahu bagaimana caranya mereka yang terkurung di portal iblis itu bisa lepas, padahal Arsa sudah menguncinya dengan sangat kuat. “Aku anjing yang akan menggigit kakimu hingga putus.” Usai mengucapkan itu, Reksi mengeluarkan jurus bayangan dengan cepat hingga sudah ada yang menyerang Arsa dari belakang. Julukan dewa perang terkuat bukan tanpa alasan bisa didapatkan oleh Arsa. Meski kini Reksi telah terpecah menjadi 100 bayangan, ia tetap bisa menyerangnya satu per satu dengan bantuan pedang petir yang setia menemaninya sejak dulu. Dari atas Arsa diserang dengan cambuk dari bawah ia diserang dengan pedang. Lelaki kekar itu tak lagi tahu bagaimana keadaan Adara di b
Kembali dua mata itu bertatapan lagi. Demi keamanan dan kenyamanan, Arsa mengunci pintu sangat erat agar bahkan Rogu pun tak datang mengganggu tiba-tiba. Adara bingung, ia tak tahu harus apa. Firasat bahwa dewa perang itu menginginkannya ternyata benar. “Kenapa?” tanya Adara. Napas hangatnya menerpa wajah Arsa, ada aroma jeruk yang tercium dan dihirup ole lelaki itu. “Tidak perlu alasan,” jawab dewa perang dengan penuh percaya diri. “Tapi kita berbeda. Aku berkulit hitam, kau tidak. Kau dewa makhluk abadi, tapi aku manusia biasa dan tak lama lagi mati, mungkin di tengah-tengah laut juga.” Adara mencoba beringsut dari pelukan lelaki di depannya, tapi ia tak bisa. Sejenak gadis itu lupa kalau yang ia hadapi adalah seorang dewa. “Hanya raga, hati aku yakin tetaplah sama. Sampai kapan pun kau tetaplah Haraku,” gumam dewa perang itu sambil tersenyum. Adara diam begitu juga dengan Arsa. Suara debur ombak di tengah laut tak membuat mereka berpaling. Sore pun beranjak menjadi senja yang
Tanpa sadar atau entah Adara mengikuti perasaannya sendiri, pembasmi bajak laut yang baru saja melepas kegadisannya memegang telapak tangan Arsa. Napas gadis itu sampai berasap karena perubahan cuaca ekstrem yang tiba-tiba terjadi. “Dingin, berkali-kali lipat dari biasanya,” ucap sang pemimpin sambil tubuhnya terasa terombang-ambing dibuai ombak samudra. Malam itu geladak kapal sepi, hanya tersisa anak buah Adara saja yang berjaga. “Sini, mendekat padaku.” Arsa membuka dua tangannya lebar-lebar. Terang saja mendapat tawaran demikian Adara memeluk dewa perang itu amat erat. Seakan semua kehangatan dunia diberikan secara cuma-cuma tanpa pertumpahan darah. Lelaki yang disembah oleh semua manusia harimau itu tersenyum lebar. Akhirnya sang pembasmi bajak laut berhasil Arsa luluhkan hatinya. Satu sudah selesai, tapi masih ada enam lagi yang perlu dicari di mana keberadaannya. Dan zodiak kedua kembali memanggilnya untuk yang kedua kali. “Dewa Arsa, sampai pada panggilan ketiga kau menol
Usai membunuh gurita raksasa tersebut. Arsa terbang dan menuju portal waktu yang dibuat oleh Rogu. Dari atas samudra ia melihat portal tersebut semakin lama semakin mengecil. Sang dewa perang kemudian menambah kecepatan terbangnya. Masuk tubuh Arsa dalam lorong waktu dan terombang-ambing sesaat sebelum ia bisa menyeimbangkan diri dan menuju tempat di mana Adara dibawa oleh Rogu. Ada banyak lubang waktu di dalamnya. Namun, ketika ia mendengar suara gadis pembasmi bajak laut itu, Arsa tahu ke mana ia harus pergi. “Lama sekali. Sudah tiga hari kami menunggu,” ucap Rogu ketika Arsa baru saja sampai di kamar dan entah di mana mereka berada sekarang. “Tiga hari? Aku terbang secepat mungkin dan portal waktumu hampir tertutup. Bagaimana keadaan istriku?” tanya Arsa yang langsung duduk di ranjang tempat Adara berbaring. “Dan kita ada di mana sekarang?” “Dia demam tapi keadaannya sudah membaik, mungkin tak biasa terbang sampai ke langit, dia selalu memanggil namamu. Kita ada di penginapan t
Arsa dan Adara memadu kasih di penginapan tepi pantai. Gadis bermata hijau itu bahkan mengabaikan perasaan bahwa sebentar lagi ia akan ditinggal jauh. Itu urusan nanti, sekarang adalah menikmati kebersamaan yang hanya sebentar saja. Tiga malam sudah mereka berada di sana, tak peduli walau ada utusan dari Ayah Adara yang meminta keduanya untuk pulang sejenak. Bisik-bisik tetangga mulai mengganggu ketenangan ayah sang pembasmi bajak laut. Arsa ingin memenuhi panggilan itu, sekaligus ia ingin menitipkan salah satu pecahan arwah istrinya pada orang yang tepat. Namun, Adara yang enggan untuk kembali. “Kau tak kenal ayahku bagaimana. Ada alasan kenapa aku lebih memilih pergi daripada tinggal di rumah,” ucap Adara yang merapikan rambut keritingnya. “Iya, aku tahu, sama kerasnya denganmu.” “Mungkin setelah kau pergi, aku akan berlayar lagi tak peduli walau tanpa awak kapal. Nanti aku bisa mengatasi hal-hal seperti itu.” “Kau tak ingin menetap di rumah, seperti gadis-gadis yang dipingit
Dewa Arsa ditinggalkan sendirian di tengah hutan yang gelap gulita. Suami dari Dewi Hara kemudian menghidupkan seberkas api yang berasal dari tangan kanannya. Ia melangkah mencari jalan keluar agar bisa menemukan pecahan kedua arwah sang dewi kebaikan. Di tengah perjalanan, Arsa mendengar lolongan binatang buas yang jumlahnya ia yakini tak hanya satu. Namun, lelaki dengan tubuh tegap itu tak peduli. Baginya menyempurnakan misi keduanya jauh lebih penting. Bahkan ketika derap langkah kaki binatang buas mulai terdengar mengejarnya, Arsa tak ambil pusing. Barulah ketika hewan yang berkerumun tersebut mencoba menerkamnya, ia memutar dan menendang beberapa binatang dengan mudah hingga semuanya terpental sangat jauh dan membanting pepohonan. “Kalian tak paham aku siapa!” Arsa memperjelas siapa dirinya. Tapi sia-sia sebab yang menyerangnya sekumpulan serigala kelaparan dan butuh daging segar untuk disantap. “Oh, baiklah kalau itu yang kalian mau. Aku akan buat kalian tak merasakan kelapa
Dira tersedak ketika sebuah tangan terulur memberikan dua buah pisang padanya. Buru-buru ia pasang penutup di wajah. Tabib itu takut aibnya ketahuan dan dicemooh siapa pun. “Kenapa harus ditutup?” tanya Arsa yang kehilangan kesempatan memandang wajah sang tabib. “Malu. Ada bekas luka besar.” Dira mengambil dua buah pisang itu dengan ragu dari tangan Arsa. Sebenarnya dari sekian banyak orang, sang tabiblah yang paling lapar. Hampir tujuh malam tak pernah benar-benar tidur karena mengurus borok warga. “Coba aku lihat.” Dewa perang itu nekat meraih cadar Dira. Tapi gadis itu lekas menghindar. “Terima kasih atas buahnya, Tuan. Dan apa kau berencana menetap di sini? Aku lihat dari cara berpakaian, pembawaan dan semua tentangmu, kau seperti lebih tinggi kastanya dari adipati atau mungkin raja yang tak pernah aku temui.” Arsa diam sejenak. Jelas ia akan tinggal sampai tujuannya tercapai. Tapi dia harus menjawab apa atas pertanyaan Dira. “Aku berencana tinggal, sampai orang-orang di si