Share

Episode 4 Hari yang Buruk

Dulu, setiap hari adalah hari yang buruk bagiku. Kenapa, sebab selalu menangis saat hari itu. Awalnya aku tidak mengerti buruk itu apa, sampai pada rasa sakit di badan yang memancing tangisku. Baru kusadari itulah rasa sakit, rasanya buruk sekali hingga membuatku takut. Bahkan, untuk tidur saja aku takut – ibu nanti datang ke mimpiku.

Setiap kali bapak pergi bekerja, kejadian buruk itu langsung dimulai. Ibu menjadi sosok yang sangat berbeda bila hanya ada aku dan mbak Vanya. Baru saja aku senang bermain boneka, datang ibu yang marah karena aku terlalu berisik. Baru saja aku senang bermain masak-masakan, datang ibu yang marah dan membuang semua mainanku. Tak lupa beberapa buah cubitan mendarat di kulitku. Berakhir dengan aku yang menangis sambil menutup mulut biar ibu tidak makin terganggu.

Ibu sangat suka melihatku menangis, mungkin menurutnya lucu.

            Namun, semenjak mengambil keputusan besar di usia 18 tahun saat itu, sekarang perlahan aku mulai lupa dengan hari yang buruk. Setiap hari kuawali dengan indah dan penuh syukur. Bahkan, saking bahagianya hidupku kadang sampai tak percaya, ini aku benar masih hidup atau sudah di surga. Tak percaya jika pada akhirnya aku mengalami hari penuh senyum juga.

Seperti pagi ini, aku bangun di Kota Batam yang indah di sebuah kasur hotel bintang empat yang sedikit berantakan karena Mbak Astri. Rasanya cemas melihat berantakan seperti itu. Tangan gatal pengen rapikan selimut, bantal, perintilan hotel dari warna yang terang sampai gelap. Namun, suara mencicit ceriwis itu datang saat aku mulai berkreasi dengan kasur ini.

“Sumpah Nalaaa, ngapain sih lo pakai ngerapiin kasur selicin itu! Nanti ada OB, Na! Ada OB!” Mbak Astri ribut sendiri mengomeliku.

            Aku hanya menoleh sedikit sambil tersenyum. Kali ini kami kembali sekamar lagi karena terlibat penerbangan Jakarta – Banda Aceh – Batam dengan transit di Batam. Dia mengomeliku sepanjang tiga menit. Aku hanya menyelingi omelannya dengan memandang layar ponsel, melirik kalender. Ternyata sudah tanggal 28 Februari 2019, sudah akhir bulan.

Makin dekat dengan bulan dimana tepat setahun aku bergabung dengan Nusantara Airlines. Setahun, ya? Seperti baru kemarin aku ikut pelatihan dan terbang sebagai pegawai magang. Karena performa baikku selama magang, cukup lima bulan aku langsung diangkat jadi pegawai tetap.

Kenangan indahku harus terpecah karena sebuah omelan kembali datang dari bibir tipisnya. “Belum lagi nih, vas hotel kenapa lo tata ulang? Harus, ya, dimulai dari putih sampai abu?” Mbak Astri kembali mengomel sambil mengangkat hasil karyaku tadi. Wajahnya terlihat kesal dan malas.

Aku mendatanginya dan meletakkan kembali vas ke meja dengan hati-hati. “Enakan rapi gini, Mbak. Sedap dipandang,” bantahku pelan sambil mengerlingkan mata.

Dia tak menyerah, kali ini dia mengusili koperku yang sedang terbuka sambil berdecak lelah. “Ckck, terus isi kopermu itu kok botol-botol desinfektan buat apa sih? Separah itu fobia kotormu, Na? Kamu ini obsesif banget sama kebersihan!” omelnya sambil menatapku heran.

Kemudian, dia kembali membolak-balik isi koperku. “Mana oleh-oleh nih, kamu nggak bawain orang tua?” tanyanya dengan mata penasaran.

Wajahku langsung kecut tatkala mendengar kata itu. “Nggak ada yang dibawain, Mbak,” ceplosku dingin. Kurampas resleting koper dari tangannya dan kututup benda itu dengan sedikit keras.

Dia menahan tanganku dengan sodoran wajahnya di depan wajahku. “Lha, bapak ibumu?” Suara Mbak Astri tergantung kemudian raut matanya melonjak salah tingkah. “Oops, maaf kalau gue salah bicara ya, Na ….” sesalnya.

“Its okay, Mbak,” sambutku cuek sambil berjalan pelan dan membanting tubuh ke tepi kasur yang sudah rapi.

Pembahasan tentang oleh-oleh, kebiasaan buruk, dan tentu saja … orang tua, mampu membuatku masam seketika. Itu adalah hal-hal yang bisa mengacaukan sedikit kesempurnaan hariku. Padahal tidak mudah menyusunnya sedari pagi. Sebelum mandi, aku harus menyemproti seluruh isi kamar mandi dengan desinfektan. Baru kemudian harus menyabun tubuhku sampai dua tiga kali karena tidur di kamar baru. Ya begitulah, sibuk sekali.

            Dia terdiam sejenak, enggan berkomentar lagi. Mungkin karena sedang mengutak-atik ponselnya. Entah sebentar lagi dia akan berkata apa. Sekamar dengan Mbak Astri memang harus banyak sabarnya sih. Dia super ceriwis. Apa-apa dikomentari.

Baru saja aku diam, dia lalu mengangkat wajahnya. Bibir ceriwisnya itu hendak menelurkan kalimat baru yang sepertinya masih membahas hal yang sama. Kali ini ditambah dengan mimik serius. “Serius, Na. Masalah kebersihanmu itu udah keterlaluan. Sesekali kamu harus berteman sama kuman dan bakteri. Kerja kita ketemu orang banyak, ‘kan?”

Sudah kuduga. Mungkin saatnya memberi Mbak Astri jawaban pamungkas. Aku menatapnya lembut dua detik. “Aku penderita OCD, Mbak,” ceplosku begitu saja.

            Pernyataan itu sanggup membungkam lagi mulut ceriwis Mbak Astri. Dia melongo hingga aku selesai merapikan handbag dan bersiap turun ke lobi untuk berangkat ke bandara dan terbang ke Jakarta lagi.

Sepertinya dia baru sadar jika aku seorang penderita gangguan mental. Wajahnya bak terhempas angin gunung yang kuat. Dia membeku dan bingung harus berkata apa, kacau seperti tidak percaya mungkin. Entah apa reaksinya, ini perdana kulakukan – membocorkan rahasia terbesarku pada orang lain.           

Mbak Astri menahan tanganku saat aku hendak keluar kamar. “Nala, lo mah cinta kebersihan ya cinta aja. Nggak usah disebut OCD juga. Berasa denger Dedy Corbuzier gue nih. OCD di sini jenis diet, ‘kan?” candanya berusaha mencairkan situasi.

Aku menggeleng dan tersenyum. “Kelainan mental. Serius, Mbak,” tegasku pelan,

“Hah?” Dia melongo lagi.

Aku tersenyum sambil menarik tuas pintu. “Berangkat yuk, Mbak!” alihku cuek tak menanggapi wajahnya cengonya lagi.

            Mungkin dia terlalu tak percaya bahwa di balik kelakuan anehku ini tersimpan masalah yang lebih pelik lagi, yakni mental yang serius. Dia kira aku cuma sekedar cinta kebersihan, bukan karena aku pernah menderita PTSD. Dia kira aku cuma parnoan sama kuman, nyatanya aku lebih dari itu. Aku bisa saja ketakutan setengah mati setelah menyentuh benda baru, sebab kuman itu bisa menginfeksiku sampai sakit hingga mati.

            Bagaimana kalau dia tahu masa laluku? Mungkin lebih nggak percaya lagi kalau aku adalah anak yang dibuang oleh ibunya. Aku adalah anak yang dicap durhaka atau aku adalah anak kandung rasa anak tiri. Dia takkan tahu bahwa di dunia yang indah ini, ada kehidupan manusia yang mengerikan di balik senyum ramahnya.

“Nala, lo sehat, ‘kan?” Mbak Astri menyenggol lenganku cemas saat kami berjalan di lorong menuju lift.

            Aku hanya tersenyum tak menanggapinya. Lebih baik menggeret koper, segera turun dan menemui awak kabin yang lain. Memilih untuk tidak masuk ke resto, skip sarapan karena aku lebih suka roti pesawat. Menurutku jelas lebih bersih dan makanan bungkus membuatku nyaman. Gimana kalau makanan hotel kotor dan ada racunnya? Aku nggak mau sakit.

---

            Aku sibuk menata isi pocket seat. Umumnya memang diurutkan dari yang selebaran besar hingga kecil. Majalah Pictures di belakang sendiri, katalog in-flight shop, disusul buku doa, dan airsickness bag. Namun, jika mereka di tanganku, kususun dengan sangat rapi dan lurus hingga sedap di pandang mata. Semua sama untuk 175 seats kelas ekonomi penerbangan NA777 Nusantara Airlines.

            Selanjutnya, peletakan bantal abu kecil itu. Semua juga harus sama, tak ada yang miring satu derajat pun. Rapi dan presisi hingga aku harus dua tiga kali menepuknya. Kemudian berdiri tegak dan memandangnya dari sisi lain hanya untuk memastikan kursi per kursi sudah rapi.

Jujur, ini sangat melelahkan. Pekerjaan yang lima belas menit selesai, bisa jadi 30 menit di tanganku. Kadang aku sampai ditegur purser karena kebanyakan melamun sambil menatap satu persatu seat. Atau aku disenggoli senior saat termangu di depan kompartemen kabin dengan mata kosong.

Perlu kukatakan bahwa menjadi penderita OCD ringan maupun berat itu menguras pikiran dan mempengaruhi kehidupan. Oleh karena itu, aku ingin sembuh entah bagaimana caranya. Aku yakin perlahan aku pasti sembuh, suatu saat nanti. Ya, aku akan bangkit.

“Selamat datang di Nusantara, seat-nya, Pak?” sapaku riang saat seorang bapak 40 tahunan mendekat. Tentu kakiku mulai menjauh, menjaga kontak fisik. Padahal seharusnya aku menerima boarding pass-nya untuk mengecek apa dia masuk di penerbangan yang sudah benar atau tidak. Sayangnya, aku terlalu takut pada kuman di kertas-kertas itu.

“36F, Mbak,” jawabnya pelan yang membuatku kembali fokus.

Aku tersenyum ramah.“Oh di sini, silakan!” Kutunjuk kursi rapi tepat di sebelahku.

            Aku minggir dan membiarkan pax alias penumpang itu lewat. Dia lalu meletakkan barangnya di kompartemen kabin. Tampaknya kesulitan, perlu bantuanku. Namun, tas si bapak kelihatan kotor. Kayaknya bekas tanah atau apa gitu.

Hal ini mulai membuatku risau. Aduh, gimana nih? Nggak bantu nanti kena tegur purser. Dibantu kok kotor, nanti tanganku kena kuman. Apa yang harus kulakukan? Membiarkannya sajalah, sampai ada awak kabin lain yang membantunya. Namun, posisi mereka cukup jauh dari si Bapak. Terdekat adalah aku karena dia tepat di belakangku.

            Hela napas panjang! Tahan jijikmu, Nala! Bantu lalu cuci tangan, selesai!

Akhirnya aku mendatangi si Bapak. “Saya bantu, Pak?” tawarku ragu sambil menggeser posisi tubuhnya.

Si Bapak tersenyum kecil. “Tadi saya numpang truk bawa sapi, Mbak. Maaf,” ucap si Bapak malu-malu seolah membaca pikiranku yang sedang menahan rasa jijik.

            Hmmm, mungkinkah kotoran ini bekas tahi sapi? Oh no, mendadak mual dan merinding semua bulu romaku. Semoga nggak ada kuman yang masuk sebelum aku mencuci tangan. Aku nggak mau sentuh kotoran sejenis itu. Nanti aku kena penyakit gatal-gatal atau sapi gila, gimana? Aduh, kenapa akhir-akhir ini aku makin parah sih.

            “Sudah,” ucapku dengan napas tertahan sambil menutup kompartemen kabin tanpa sadar. Aku berjalan cepat-cepat menuju lavatory depan, sejenak lupa dengan tugasku yakni menyambut penumpang di pintu masuk. Tak peduli, aku hanya ingin mencuci tanganku sebersih mungkin.

            “Kamu harus bersih!” gumamku sambil menggosok sabun kedua di tanganku. Rasanya pedih karena aku menggosoknya terlalu kuat dan dengan sabun yang banyak. Napasku sampai tersengal-sengal karena isi otak memburu ingin keluar, isinya ketakutan.

            Sejujurnya, alasan lainku menjadi pramugari yang berkontak dengan banyak orang adalah healing. Maksudnya, aku berusaha untuk sembuh dengan mulai membuka diri pada lingkungan sekitar, dalam hal ini jadi awak kabin. Mungkin jika aku terbiasa kontak dengan banyak hal, fobia kotorku ini akan lenyap. Mungkin jika aku bersikap layaknya orang normal, aku bisa normal beneran.

            I’m struggling, untuk melalui semua ini saat resmi divonis OCD sejak lulus SMA dulu. Awalnya, aku sangat menutup diri. Takut kotor, takut sakit, dan mati. Aku bahkan sampai tak tidur berhari-hari karena Jihan mengajakku duduk di taman. Pada akhirnya, dia mengerti kondisiku. Dia tak lagi memaksaku dan memberiku pengertian bahwa bangku taman tidak kotor.

            Sejak saat itu aku hanya nyaman berada di sekitar orang yang tahu kondisiku. Serasa kita tak perlu menjelaskan apa-apa. Namun, itu tak selamanya terjadi. Aku tetap harus hidup berdampingan dengan banyak hal, banyak orang.

            Maka sejak itu, dorongan Jihan untuk jadi pramugari makin getol. Katanya, dengan bertemu banyak orang aku akan ketularan normal dan standar. Kuiyakan setelah berpikir panjang dan mantap. Kuikuti seleksi dan masuk dalam sekali coba. Menjalani hari sebagai pramugari, berdampingan dengan banyak hal baru dan pribadi baru sembari menyembuhkan diri.

Nyatanya, sampai setahun aku berjuang, gangguan itu masih ada, bahkan semakin mengkhawatirkan. Terkadang aku mulai letih dan hendak menyerah. Namun, jika ingat rentetan jobdesk milikku, aku kembali bersemangat. Dunia udara ini lumayan menyegarkanku dari penatnya daratan.

Aku kembali semangat menjalani sisa hari dengan seabrek tugas. Kali ini waktunya membagikan makanan kepada para penumpang. Dibantu Mbak Anneke, aku mulai berjalan anggun di aisle sambil mendorong troli.

“Silakan nasinya, Pak!” Kuberikan sekotak alumunium foil berisi nasi ikan yang masih panas kepada penumpang 29A.

Tangan halus itu menyambutku lembut. “Terima kasih, Mbak,” ucap si Ibu dengan ramah.

Tampaknya si Ibu tak membiarkanku begitu saja. Ditatapnya wajahku lebih lekat sambil tersenyum tipis. “Mbaknya cantik,” pujinya yang membuatku tersipu.

Tak ada waktu untuk tersipu lebih lama, kulanjutkan kembali tugas ini. Hatiku berdebar sambil mendorong lagi troli ke seat belakangnya. “Silakan Pak dan Ibu mau nasi ikan atau nasi ayam?” tawarku sopan.

“Tidak usah, Mbak. Roti saja ada?” tolak si Bapak.

“Ada, sebentar saya ambilkan,” ucap Mbak Anneke di depanku dengan ramah.

Kulirik penumpang di dekat jendela yang sedang tidur dan menutupi wajahnya dengan masker. “Bisa minta tolong dibukakan meja kecilnya, Pak?” pintaku ramah pada Bapak yang di tengah.

            Bapak yang kumaksud langsung melakukan permintaanku. Meja kecil di hadapan bapak yang bermasker itu dibukakan. Ternyata hal itu membuatnya terbangun. Bapak itu menegakkan badannya dan menatapku. Anehnya, dia langsung melepas masker dan menajamkan tatapannya. Kami saling memandang.

Tak aneh sebenarnya, sebab dia adalah orang yang kukenal. “Bapak …,” desahku.

“Nala?” balasnya tak kalah terkejut.

            Bapak yang sudah kurindukan bertahun-tahun ada di satu penerbangan denganku, di pesawat tujuan Batam – Jakarta. Ada apa dengan hari ini? Bukankah ini terlalu indah.

            Saat tiba di Cengkareng, kami memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe roti kopi di dekat bandara. Kupandangi wajah bapak hingga puas sebab teramat merindukannya. Gurat wajahnya tidak berubah, tetap meneduhkan dan rupawan seperti dulu. Hanya saja beberapa uban mulai tumbuh di kepala sampingnya, serta ada beberapa kerutan di sudut matanya. Menandakan waktu berlalu dan memisahkan kami.

“Shana rindu, Pak ….” Kusentuh tangan Bapak dengan tangisan. Di badanku masih melekat seragam kerja. Selepas terbang aku memang langsung berlari menuju tempat ini hanya untuk menemui bapak. Aku takut beliau pergi lagi, tanpa sempat berucap sepatah kata seperti dulu.

            Mungkin pembicaraan kami akan mengalir banyak. Ya, banyak yang ingin kuutarakan pada beliau. Aku merindukannya, sepuluh tahun kami tak berjumpa. Sekarang garis takdir berpihak pada kami. Kami dipertemukan jua.

Bapak merengkuh kedua tanganku dengan gemetar. “Boleh Bapak memelukmu, Shana?” tanya Bapak tanpa pikir panjang langsung melakukannya.

            Shana adalah panggilan yang dipilih bapak untukku. Dalam Bahasa Arab artinya baik sekali, bahasa Ibrani artinya Allah didamaikan. Bukan Nala, tapi Shana. Katanya lebih enak didengar telinga. Menurutku mungkin lebih dramatis, mirip nasibku.

            Kami berpelukan untuk beberapa detik. Aku tak berpikir banyak, bahkan tak cemas apakah bapak bersih atau tidak. Tak ragu sama sekali berkontak fisik, sebab bapak adalah orang yang kupercaya. Ya, aku bisa sembuh jika dekat dengan orang yang kupercaya. Sama seperti saat aku bersama Jihan, sekarang saat bersama Bapak aku berlaku layaknya orang normal.

“Bagaimana kabarmu, Shana? Sepuluh tahun kita tidak bertemu, kamu udah jadi pramugari, Nak. Bapak kangen sekali denganmu, berusaha mencarimu tapi selalu gagal,” cerocos Bapak di dekat telingaku.

Kujeda pelukan sembari menghapus tangis dengan tawa bangga. Kupandang Bapak saat kembali ke posisi awal. “Shana juga kangen sekali sama Bapak. Bapak ke mana saja?” tanyaku tanpa menjawab rasa penasarannya.

“Bapak kerja di sebuah perusahaan di Batam. Tak pernah sekali pun pulang ke Jawa atau Jakarta. Belum ada alasan yang kuat, karena tak kunjung bisa mengontakmu. Ibumu selalu menghalangi upaya Bapak,” jelas Bapak dramatis.

“Oh iya, bagaimana kabar ibumu?” Pertanyaan Bapak membuat perutku mulas dan teraduk.

Aku menunduk, napasku sesak jika nama itu disebut. Tanpa terasa hidungku mengembun dan mataku mengabur karena air. “Shana udah nggak di rumah itu lagi, Pak.”

“Kenapa?” tanya Bapak kaget.

“Shana diusir, ya udah pergi,” jelasku begitu saja dengan air mata mengalir perlahan. Namun, kuhapus dengan cepat karena enggan menangis demi ibu.

Bapak menjangkau wajahku. “Shana nggak apa-apa, ‘kan? Terus Shana sekarang gimana?” berondong Bapak cemas.

“Kenapa ibu membenci Shana, Pak? Apa Shana bukan anak kandungnya?” ceplosku tiba-tiba sambil memandang Bapak lekat. Wajah Bapak langsung berubah, beliau meminum kopi cepat-cepat.

Bapak berdehem salah tingkah. “Shana, kamu sekarang tinggal di mana?” Bapak menepis pertanyaanku dan makin mengguratkan keanehan terpendam.

“Jawab pertanyaan Shana, Pak. Kenapa Ibu sangat membenciku? Apa Shana ini bukan anak Bapak?” desakku makin pelik.

Kenapa aku sampai beranggapan sekacau ini, karena melihat perlakuan ibu padaku. Perlakuan keji yang kudapatkan dulu hanya wajar jika dilakukan oleh ibu tiri atau ibu angkat. Tidak mungkin seorang ibu kandung bisa sekejam itu pada anaknya.

Bapak menunduk dan menghela napasnya yang tersengal. Kami hening di tengah keramaian lalu lalang orang. “Benar, Shana bukan anak kandung Bapak,” jawab Bapak lirih.

            Hatiku runtuh, terhenyak kacau. Jadi, itu bukan sekedar anggapan. Itu benar?

“Shana adalah anak Ibu dengan … mantan pacarnya,” jelas Bapak sepotong-potong.

“Maksud Bapak, aku anak haram?” tegasku tak percaya dengan alis berkerut ke tengah karena mataku sangat sepat, pedih.

Bapak menatapku lekat. “Cinta mereka kandas karena ibu dinikahkan dengan Bapak. Namun, sesudah kelahiran Vanya kami banyak bertengkar. Kami sempat bercerai lantas rujuk lagi. Saat bercerai itulah ibumu bertemu dengan mantan kekasihnya,” jelas Bapak tanpa berani menatapku.

“Apa …,” desahku kehabisan kata-kata.

Ternyata hidupku jauh lebih mengerikan dari yang kukira. Jadi, karena itulah ibu membenciku. Karena itulah ibu selalu menyiksaku, aku bukan anak resmi. Aku bukan anak sah. Aku benar-benar anak haram, penuh dosa.

Pantas wajahku dan Mbak Vanya tidak mirip. Garis wajah dan hidung kami sangatlah beda. Itu jelas karena kami bukan saudara kandung. Bapaknya jelas siapa, sedangkan bapakku entah siapa. Aku anak haram!

“Lalu kenapa Bapak sangat menyayangiku?” tanyaku kacau dengan suara bergetar.

Bapak menghapus air mataku dengan lembut. Dibelainya anak rambutku dengan penuh kasih sayang. “Seorang anak tetap suci, Shana. Meskipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya. Kamu tetap anak Bapak yang membutuhkan kasih sayang.”

“Jadi ini alasan Bapak pergi? Karena tak tahan dengan ibu?” Kuelakkan sentuhan lembut Bapak dengan terus menghakiminya.

Bapak mengangguk dengan mata hancur. Matanya teramat penuh sesal terwujud dalam tangan yang tanpa sadar meremas-remas tisu cokelat di dekat kopinya. “Jujur, susah bagi Bapak memaafkan ibu. Penghianatan itu susah untuk dimaafkan. Namun, semua bukan mutlak salahnya. Ada kesalahan Bapak juga. Mungkin Bapak tidak bisa memenuhi harapan ibu, makanya dia berpaling.”

“Pak …,” keluhku lirih.

Kuhela napas cukup berat karena hatiku sesak oleh anggapan-anggapan menyakitkan. “Tadinya, Shana ingin sekali bertemu dan ikut Bapak ke mana saja. Cuma Bapak tempat Shana mengadu, Bapak bisa mengobati sakitku. Namun, sekarang urung karena tahu siapa aku. Aku tak ubahnya seorang anak hasil zina, haram jadah,” gumamku dengan suara bergetar.

Tak tahan lagi, aku mengemasi ponsel dan tas di pangkuan. Ingin segera hengkang dari hadapan bapak. Merasa aku hanyalah dosa besar yang berjalan, aku ingin lenyap ke sisi yang lain.

“Shana … kamu tetaplah anak Bapak,” Bapak menyentuh lenganku berusaha menahanku pergi.

“Nggak, Pak! Enggak! Aku bukan anak Bapak. Bahkan, aku nggak pantas disebut manusia, apalagi anak!” Aku berjalan mundur menjauhinya sambil menatapnya sentimental.

“Shana!” panggil Bapak sambil memburu langkahku. “Tunggu, Nak. Kita bisa bicara!” tahannya yang tak kutanggapi.

            Kuseret koper dengan buru-buru karena suasana semakin memburuk. Mataku sudah tak bisa menatap jalanan di depan karena sudah buram dengan air mata. Aku menangis dan disaksikan ratusan orang di lorong bandara. Lupa jika aku masih berseragam milik maskapai. Semoga tak ada masalah setelah ini.

Kukira hari ini indah, ternyata tak lebih buruk dari yang lalu. Hari yang buruk adalah hari di mana aku membuka luka lama dan tertorehnya luka baru karena kenyataan baru terbuka. Ini sangat mengerikan!

“Auw!” Langkahku tertahan karena ada teriakan kecil dari depan wajahku yang memerah penuh tangis. Orang itu sedang kesakitan karena aku menabraknya.

“Auw!” pekik suaraku yang juga bersamaan dengan suara orang di depanku itu. Aku menunduk dan mengambil handbag yang jatuh.

“Nala?” panggil suara itu. Suara yang tidak asing.

Langsung aku mendongak dan mendapati pria berkemeja putih, berdasi tosca, berjas hitam dan bertopi pilot menatapku bingung. “Mas Ganta …,” desahku.

“Shanala,” ucap Bapak sambil memapahku berdiri. Ternyata Bapak masih mengejar dan mengikuti langkahku.

Mas Ganta ‘merebutku’ dari Bapak, dia meraih tangan lemasku. “Kamu kenapa, Na?” tanyanya dengan mata cemas dengan alis berkerut.

“Bawa aku pergi, Mas!” pintaku lirih.

            Mungkin aku lupa jika aku masih punya satu ‘rumah’ selain bapak. Masih ada Mas Ganta yang sedang memegang tanganku erat. Dia masih bisa jadi tempatku kembali dan mengadu setiap masalah dan kelelahanku. Harapanku untuk ikut bapak agar punya tempat untuk pulang setiap selesai terbang itu sudah pupus. Aku tak mau jadi beban untuknya.

            Dan Mas Ganta adalah satu-satunya ‘rumah’ yang kumiliki saat ini. Tempatku pulang dan mengisi ulang semangat hatiku yang lemah. Sama seperti beberapa tahun silam saat suara lembutnya menenangkanku di tengah berisiknya deru pesawat.

“Jangan takut terbang! Pesawat ini aman kok. Aku sudah memeriksa semua komponennya bersama Captain. Tenang saja, aku sudah bar 2, tandanya jam terbangku sudah cukup tinggi. Aku sudah punya 700 jam terbang, keren ‘kan?”

Tangannya yang hangat itu menyentuh tanganku yang gemetaran. Sama seperti saat ini, dia menenangkanku saat aku hancur karena kenyataan.

“Kamu pasti bisa melewati terbang pertama ini! Semangat, Mbak!” ucapnya lagi lantas tersenyum.

Senyumnya sama hangat dengan senyumnya saat ini. Saat dia berusaha menenangkanku, saat Bapak bertanya tanpa perlu kujawab. Tentang siapa lelaki tinggi yang sedang memapahku saat ini.

Sementara itu, aku masih tenggelam dalam lamunan kacau karena tidak sadar situasi. Entah apa yang sedang kulakukan, kuhadapi saat ini. Seolah sedang tak sadar, aku kacau dan melayang di awang-awang.

“Siapa namamu?” Dia menelisik wajahku yang kebanyakan menunduk.

“Shanala Arunika,” ucapku pelan, nyaris tak terdengar.

“Oh, Shanala? Nama yang unik, menarik.” Dia mengulurkan tangan jenjang berhias jam rantai Fossil warna hitam. “Arganta Syahreza, panggil aja Ganta!”

            Aku melamunkan saat pertama berjumpa dengannya, mas Ganta yang saat ini sedang menggandengku menjauh dari Bapak. Senyumnya menghangatkan hatiku, menghapus takut dan cemas. Kuingat baru kali itu aku tak membersihkan tangan seusai bersalaman dengan orang asing, dengannya. Mas Ganta orang yang bisa kupercaya sejak detik itu. Dia membawaku ke ketinggian langit 36.000 kaki, di penerbangan pertama mendebarkan itu sampai mendarat dengan selamat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status