Share

Hamil Usai Bercerai

Tak butuh waktu lama Thomas dan Elin orang tua Bram, memproses perceraian Bram dan Clara, dengan bantuan pengacara, kurang dari satu bulan surat ceraipun di dapat. Elin tersenyum puas, kini ia telah terbebas dari menantu miskin dan besan mantan narapidana. Sementara Bram di dalam kamar mewahnya hanya menatap sendu, langit–langit kamar, sudah satu bulan ia tak pernah bertemu Clara, kerinduan membuncah pada wanita yang teramat di cintai, kini sudah berakhir rindu yang tak pernah bisa di curahkan. Perlahan ia bangkit dari tidurnya, langkahnya terhenti di depan meja, matanya nenatap kosong berkas-berkas proyek yang diberikan ayahnya malam kemarin, perintah untuk mengerjakan proyek di Singapura harus ia kerjakan.

“Mungkin ini yang terbaik, pergi jauh dan fokus pada pekerjaan akan lebih mudah melupakan Clara,” gumam Bram dalam hati.

Sementara Clara di dalam kamar yang sempit dan beralaskan kasur busa tipis, netranya terus memandangi surat cerai, bibir mungilnya tersenyum manis tapi di sudut netranya berembun. Ingatanya hanya ada Bram, kebahagiaan yang ia rasakan ketika sesosok pria yang ia kagumi menyatakan cinta. Lamunan Clara membuyar ketika ia merasakan perutnya mual dan kepalanya semakin berat, secepat kilat ia berlari ke kamar mandi.

Huek ..huek..

“Kamu, sakit Clara,” Bi Atik mendekati pintu kamar mandi dengan sedikit cemas.

“Sedikit mual Bi.. jangan cemas.” Clara keluar dari kamar mandi sambil memegangi kepalanya yang teras berat, kemudian ia merebahkan diri di kasur tipisnya. Bi Atik mendekati Clara dan menempelkan punggung tangannya di kening keponakannya itu.

“Akhir-akhir ini Bibi perhatikan kamu sering muntah di pagi hari, wajahmu pun tampak pucat, Bibi teringat waktu ibumu hamil kamu,” ujar  Atik matanya beradu pandang dengan Clara.

“Maksud Bibi, aku hamil.” Clara memegang dan memandangi perutnya, ia baru menyadari kalau dua bulan ini ia tidak kedatangan tamu bulanan.

“Pergilah ke dokter atau setidaknya belilah test kehamilan.” Bi Atik memberi saran dan melanjutkan pekerjaannya menata donat–donat yang akan di jajakan di pasar.

Clara untuk sejenak hanya terdiam, bergegas ia merapikan diri dan pergi ke Apotek untuk membeli alat test kehamilan.

Jantung Clara berdetak kencang, matanya tak lepas menatap tespack yang dipegangnya, berlahan menunjukkan dua garis merah, tangannya bergetar hingga menyebabkan testpack di tangannya terlepas. Entah bahagia atau sebaliknya yang harus Clara rasakan, yang pasti air matanya tertumpah untuk sekian kalinya. Di raihnya benda pipih  yang berada di meja sudut kamar, dengan susah payah ia mencari nama Bram di layar handphone, nama yang hampir satu bulan ini tak pernah dicarinya, tapi masih tersimpan di layar handphone dengan gemetar ia menekan tombol panggil berharap akan tersambung dan berbicara dengan Bram mantan suaminya.

Sudah beberapa kali Clara menghubungi Bram, tapi tak tersambung. Clara berniat untuk memberitahukan kehamilannya pada Bram, mungkin kehadiran seoarang bayi akan mengubah segalanya, memang  sedikit terlambat, tapi untuk masa depan anaknya, Bram harus tahu. Clara sudah memutuskan bahwa ia akan menemui Bram memberitahu tentang kehamilannya.

Clara turun dari taksi yang membawanya. Langkah kakinya terasa berat, ketika mendekati rumah mewah bak istana, rumah yang selama enam bulan di tinggalinya kini terasa asing. Seorang security mendekati Clara. Nampak security baru yang berjaga di rumah mewah itu, karena tak mengenali Clara.

“Maaf Pak, saya mau bertemu Pak Bramastio,” ucap Clara.

“Pak Bramastio tidak berada di rumah.” Kata security dengan tegas.

“Baiklah, aku akan menunggunya.”

“Pak Bram, saat ini berada di Singapura, percuma kamu menunggunya.”

Clara terkejut mendengar berkataan security, wajah menatap sendu rumah megah nan mewah di depannya.

Tin.....Tin....

Suara klakson mobil sedan warna merah mengejutkan Clara, seketika ia tersentak dan menoleh ke arah suara, dilihatnya Elin berada di dalam mobil. Melihat Clara berdiri di depan pagar rumahnya Elin membuka kaca jendela dan berhenti tepat di depan Clara.

“Kenapa, kamu kemari. Bram sudah tidak berada di Jakarta,” bentak Elin dengan muka juteknya.

“Mama ”

“Et.. Jangan panggil mama, kamu bukan menantuku lagi.”

“Clara, mau bicara dengan Bram, tolong beri Clara nomor  handphonenya,” pinta Clara dengan wajah memelas.

“Tak ‘kan kubiarkan kamu bicara dengan Bram, apalagi bertemu.” Elin, menancapkan gas mobilnya, memasuki halaman rumah. Clara berusaha mencegah.

“Aku hamil,” teriak Clara. Seketika mobil berhenti. Elin keluar dari mobil dan mendekati Clara. Dengan geramnya jari jemari Elin mencengkram lengan Clara, membuat Clara meringis menahan sakit.

“Kebohongan apalagi yang akan kau ciptakan,” bisik Elin ke telinga Clara, Elin menahan marah, netranya menatap tajam Clara.

“Tidak ada kebohongan. Aku hamil, yang ada dalam rahimku anak Bram, cucumu,” ucap Clara sedikit gemetar.

“Gugurkan, keluargaku tak akan menerima cucu dari darah keturunan narapidana,” balas Elin yang semakin kencang mencengkram lengan Clara.

“Tidak,” Clara menggeleng ”Bram harus tahu kalau aku mengandung anaknya.”

Elin perlahan melepaskan cengkramannya, matanya menatap tajam Clara. Lalu dengan kuat di dorongnya tubuh Clara, hingga Clara terjatuh.

“Terserah apa yang akan kamu lakukan. Perceraian telah terjadi, keluarga Thomas Himawan tidak ada hubunganya denganmu. Dan Bramastio Himawan bukan suamimu lagi. Dan kupastikan kamu tak akan bertemu dengan Bram selamanya,” bentak Elin dengan geram dan meninggalkan Clara.

Clara berlahan bangkit dan  terpaku, kakinya terasa berat untuk melangkah meninggalkan rumah mewah itu. hingga bentakan security itu mengejutkanya

“Mbak, silakan pergi, ini perintah nyonya!” bentak security berbadan besar.

Clara melangkah pergi, ia membayangkan anaknya lahir tanpa seorang ayah, terik matahari yang menyengat seakan tak dirasakannya. Panasnya matahari tak sepedih hatinya, langkah kakinya semakin lemah hingga sebuah mobil jeep warna hitam, hampir menabraknya, untunglah Clara cepat menghindar.

Seoarang Pria muda, dengan memakai celana jeans biru dan kaos warna putih dengan ditutupi jaket kulit warna hitam turun dari mobil menghampiri Clara.

“Kalau mau bunuh diri jangan di jalan, sana naik lantai 14 dan jatuhkan dirimu, biar nggak nyusahin orang,” bentak pemuda itu sambil melepaskan kaca mata hitamnya.

Clara hanya menatap hampa, kepalanya terasa berat, dan tiba-tiba lunglai ke tanah, dengan sigap pria itu menangkap tubuh Clara yang hampir terjatuh, lalu di bawanya masuk ke dalam mobil dan dengan cepat ia melaju kendaraannya menuju rumah sakit. Hanya butuh waktu lima belas menit sampailah di rumah sakit. Dengan sigap para perawat membawa tubuh Clara yang tak sadarkan diri ke ruang ICU.

“Maaf Pak, segera ke administrasi untuk pendaftaran,” kata seorang perawat.

Dengan sedikit binggung Adrian, pria yang membawa Clara ke rumah sakit menuju administrasi.

“Siapa nama pasien.” Seorang staff bertanya pada Adrian.

“Maaf, saya tidak mengenal wanita itu, aku menolongnya waktu pingsan di jalan.”

“Baiklah, kalau begitu, bapak tunggu sampai pasien sadar, dan keluarganya datang.”

Adrian kembali lagi ke ruang ICU.

“Maaf, Pak, pasien sudah sadar dan sekarang berada di kamar 104.” Tiba- tiba seorang perawat memberitahu keadaan Clara.

Adrian menuju kamar 104, perlahan ia membuka pintu, dilihatnya seorang dokter dan seorang perawat sedang memeriksa Clara, yang sudah membuka matanya.

“Silakan masuk Bapak, ibu dalam keadaan baik, bayi dalam kandungannya juga sehat,” kata dokter.

Adrian dan Clara terkejut mereka saling beradu pandang. Tapi mereka hanya terdiam membiarkan dokter itu salah mengira mereka suami istri. Setelah beberapa menit memeriksa Clara, dokter dan perawat itupun pergi.

Sekarang hanya tinggal Clara dan Adrian yang ada dalam ruangan, untuk sejenak mereka saling diam dan saling pandang.

“Suami, tak bertanggung jawab, membiarkan istri hamil berada di jalan sendirian, ini tasmu teleponlah suamimu itu, suruh cepat kemari,” gerutu Adrian sambil menyodorkan tas kecil milik Clara. Clara meraih tasnya dan kemudian mengambil handphone dari dalam tasnya. Jari jemarinya mengetik di layar ponsel. Mengirim pesan WA pada Hanggoro.

“Terima kasih, kenalkan aku Clara, siapa Anda?” tanya Clara.

“Aku, Adrian,” jawab Adrian dengan ketus.

“Sekali lagi aku berterima kasih padamu, pergilah! Sebentar lagi keluargaku datang,” pinta Clara

“Iyalah, tanpa kau suruh aku juga akan pergi, lain kali jangan menyusahkan orang,” balas Adrian dengan geram dan berlalu meninggalkan Clara.

Clara terdiam, ia duduk di tempat tidur, di pandanginya perut yang datar dan tangannya mengusap lembut perutnya, linangan air mata terus mengalir deras di pipinya, hingga tetes demi tetes jatuh ke perutnya. Sendiri di dalam ruangan yang serba putih, mengingat perlakuan orang tua Bram membuat hati Clara terasa di hujam pisau, sangat menyakitkan ketika keberadaan bayi yang tumbuh di rahimnya, tidak di akui sebagai cucunya. Bahkan perintah untuk melenyapkannya membuat Clara takkan lagi berhubungan dengan keluarga Bram. Keputusannya telah bulat untuk tetap mempertahankan buah cintanya bersama Bram.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status