Semuanya terkejut dengan ucapan Ambar. Seketika Ambar mendekati Hanggoro, sebuah dorongan kuat mengguncang tubuh rentanya hingga terdorong ke belakang. Dengan secepat kilat, Bram menahan tangan Ambar, ketika akan memukul Hanggoro.
“Sabar Tante Ambar, ini mungkin kesalahpahaman, ini Pak Hanggoro, ayah mertua Bram, ayah kandung Clara.” Bram berusaha menjelaskan pada Ambar.
“Mana mungkin Aku lupa dengan wajah penjahat ini, belasan tahun aku memendam rasa ini, hukuman kurungan seumur hidup tak pantas, kenapa kamu tak di hukum mati hah! Sebagai ganti nyawa suamiku yang kau lenyapkan.” Mata Ambar nyalang menatap Hanggoro, umpatan demi umpatan ia lontarkan tak perduli dengan sekelilingnya.
Hanggoro hanya menunduk dan terdiam. Ia tak menyangka masa lalu yang kelam terbongkar di hadapan keluarga Bram.
Clara dengan gemetar mendekati Ayahnya, belum sampai langkahnya, tiba-tiba Ambar melayangkan vas bunga ke arah Hanggoro, tak hayal lagi vas bunga mengenai pelipis Hanggoro hingga berdarah. Bram menjadi geram.
“Tante! Kita dengarkan dulu penjelasan Pak Hanggoro.” Bram berteriak sambil menghalau Ambar.
Bram menatap Hanggoro. “Ayah, apa benar yang dituduhkan Tante Ambar?” tanya Bram matanya menatap lekat pada lelaki paruh baya itu, beberapa menit berlalu. Hanggoro hanya terdiam, bibirnya tercekat tak ada sepatah katapun keluar.
Kebungkaman Hanggoro merupakan sebuah jawaban. Bram terduduk di sofa, matanya menatap Clara dengan penuh kekecewaan. Sementara itu Ambar terus mengerutuki Hanggoro. Clara memeluk bahu ayahnya dengan air mata bercucuran.
“Tidak akan ada pernikahan antara Fandy dan Dinda, sebelum kalian memutus hubungan dengan penjahat ini!” suara Ambar mengelegar bagai petir. tangan menunjuk ke arah Hanggoro dengan penuh dendam. “Ayo Fandy kita pulang!” perintah Ambar sambil menarik tangan Fandy dari genggaman Dinda. Tangisan Dinda pun pecah, ia berlari ke kamarnya.
Bram yang melihat situasi semakin memanas, berusaha mengejar Ambar dan Fandy, dengan cepat ia menghalau, tapi apa daya kemarahan Ambar begitu dalam, dengan cepat ia memasuki mobilnya dan melaju dengan kencang keluar dari halaman rumah Thomas. Bram pun berusaha mengejar Ambar, segera ia menaiki mobilnya dan melaju membututi mobil Ambar.
Sementara itu Hanggoro dan Clara masih terdiam, dua pasang mata menatap tajam ke arahnya.
“Mama, maafkan Clara,” ucap Clara dengan bibir bergetar, di dekatinya mama mertua dan bersimpuh di kakinya.
“Maaf katamu, setelah kau hancurkan reputasi kami, juga kau hancurkan hubungan Fandy dan Dinda. Tidak akan kumaafkan kamu, tinggalkan Bram, pergi dari kehidupan kami!” bentak Elin, membuat hati Hanggoro terasa pedih. Dengan menelangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, Hanggoro memohon pada Elin dan Thomas.
“Aku mohon Nyonya, ini bukan kesalahan Clara, aku berjanji akan menghilang dari kehidupan kalian, asalkan maafkanlah Clara,” pinta Hanggoro lirih dengan air mata yang mengalir pelan.
“Tidak, keputusan kami sudah bulat. Clara tinggalkan rumah ini sekarang juga!” perintah Thomas dan dengan cepat berlalu meninggalkan Hanggoro dan Clara.
“Kamu dengar ‘kan, kata suamiku. Apa kalian sudah bersengkongkol untuk menguasahi harta Bram, Clara.” Tuduhan Elin membuat geram Hanggoro.
“Jangan bilang seperti itu, Clara gadis yang baik,” tukas Hanggoro.
“Aku tidak perduli lagi dengan ucapan kalian, cepat pergi dari sini. Tapi sebelum itu lepas semua perhiasan yang menempel di tubuhmu Clara, termasuk cincin pernikahanmu itu!” perintah Elin pada Clara.
Dengan tangan gemetar dan derai air mata, satu per satu perhiasan yang menempel di tubuh Clara di lepas, kalung, gelang, sepasang anting dan yang paling berat melepaskan cincin pernikahannya. Perlahan di letakkan di atas meja tamu.
“Pergi, sebelum security menyeret kalian!” bentak Elin.
Hanggoro dan Clara melangkahkan kaki menjauh dari rumah Bram. Berdiri berdua di pinggir jalan, sesekali Clara mengusap air mata yang masih saja menetes. Hanggoro menahan kepedihan, hinaan, tapi yang lebih menyakitkan adalah hancurnya pernikahan Clara yang baru seumur jagung.
Clara, menyetop taksi, dan mereka berdua menaiki Taksi, sepanjang perjalanan hanya kebisuan, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Clara tak mengerti, siapa yang harus di salahkan. Takdirkah yang harus di salahkan karena memiliki ayah seorang narapidana.
Taksi pun berhenti di depan rumah, Bi Atik yang sedari tadi berada di teras rumah, keheranan melihat Hanggoro dan Clara pulang.
“Kak, cepat banget makan malamnya?” tanya Bi Atik sambil membuka pintu pagar. Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah.
“Clara, ada apa, mata kalian sembab, pasti sesuatu terjadi,” Bi Atik mulai merasakan ada sesuatu yang terjadi, di tatapnya silih berganti Hanggoro dan Clara.
“Keluarga Bram sudah tahu Bi, tentang masa lalu Ayah,” ucap Clara lirih.
“Huaa huaaa kita kembali miskin Clara, baru saja enam bulan pernikahanmu.” Atik menangis sesenggukan.
Tok..tok.. Suara pintu di ketok terlihat Mang Udin dan dua lelaki tertubuh besar ada di depan pintu.
“Maaf, Non Clara, saya diperintahkan Nyonya untuk menyuruh Non Clara dan keluarga pergi dari rumah ini,” ucap Mang Udin sedikit gugup.
”Iya, mang Udin, kami akan segera pergi, kasih waktu kami untuk mengemas barang–barang, ” jawab Clara, wajahnya memucat, hatinya di liputi rasa sedih akan kemana ia pergi.
Dengan berat hati mereka bertiga meninggalkan rumah pemberian keluarga Bram. Berjalan di keheningan malam mencari kontrakan. Tak memakan waktu lama, Clara menemukan sebuah kontrakan.
“Kita akan tinggal di sini Clara, hanya ada satu kamar tidur, dapur, kamar mandi dan ruang tamu,” gerutu Bi Atik.
“Iya Bi, maaf, uang kita hanya cukup untuk mengkontrak rumah kecil ini,” sahut Clara sambil merebahkan diri di kasur tipis.
“Maafkan Ayah Clara.” Hanggoro menitikkan air mata.
Sementara itu Bramastio terus mengejar mobil sedan warna putih yang di tumpangi Ambar dan Fandy, hingga akhirnya mobil berhenti didepan rumah Ambar. Bram bergegas menghentikan mobil dan setengah berlari mendekati Ambar dan Fandy.
“Tante, Fandy dengarkan saya dulu, Pak Hanggoro telah menebus kesalahannya di penjara. Dan itu masa lalu dari keluarga Clara. Dinda dan keluarga kami tidak ada hubungan dengan masa lalu Hanggoro, jadi tolong, jangan korbankan hubungan Dinda dan Fandy.” Bram berusaha menyakinkan Ambar dan Fandy.
“Apa kamu bilang, kamu tidak merasakan kehilangan seorang ayah waktu masih kecil, aku melihat kesedihan ibuku setiap mengenang Ayah. Dan yang lebih menyedihkan, Ayahku meninggal karena di bunuh, penjara seumur hidup tak akan menghapus kesalahannya. Bagaimana mungkin aku menikahi Dinda, kalau ayah kakak iparku adalah pembunuh Ayahku. Jika kalian tak memutus hubungan dengan Clara dan Hanggoro, jangan harap aku akan menikahi Dinda adikmu,” ancam Fandy sambil tangannya mendorong tubuh Bram. Ambar dan Fandy memasuki rumah tanpa menghiraukan Bram.
Dengan raut muka kecewa Bram menaiki mobilnya dan melaju pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Bram melihat mama dan papanya berada di ruang keluarga, mereka duduk saling berhadapan, diam dan terlihat kemarahan yang menggantung di kedua mata mereka. Melihat kedatangan Bram, mata Elin nyalang.
“Lihat apa yang kamu lakukan, sejak dulu Mama tidak setuju kamu menikahi Clara, gadis yang tidak jelas asal usulnya, ternyata anak seorang perampok dan pembunuh. Kamu dan Clara harus bercerai,” ucap Elin dengan nada tinggi.
“Mah, ini pernikahan, tidak bisa bercerai begitu saja, lebih baik jika Dinda tidak bersama Fandy, laki-laki pengecut,” jawab Bram dengan geram.
“Bramastio, semua sudah di putuskan! Keluarga kita tidak akan menjalin hubungan dengan mantan narapidana, dan jangan coba-coba meninggalkan keluargamu demi Clara. Karena Papa bisa berbuat apapun untuk menghancurkan Clara dan keluarganya. Seharusnya Papa lakukan itu dari dulu.” Thomas pun tak kalah sengit menyudutkan Bram.
Dengan berdecak kesal Bram meninggalkan orang tuanya menuju kamar Dinda. Dilihatnya kamar Dinda terbuka sedikit, dengan perlahan Bram membuka pintu, dilihatnya Dinda menangis sambil membenamkan kepalanya di bantal.
“Dinda,” Suara Bram membuat Dinda menghentikan tangisannya, lalu menengadahkan wajahnya dan menatap Bram. Tangan lembut Bram mengusap air mata adiknya itu, dengan lembut.
“Maafkan kakakmu ini. Aku tidak bisa meninggalkan Clara, kami sudah menikah, bukankah kamu tahu apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak bisa dipisahkan manusia kecuali maut, itu janji pernikahan. Yakinlah Dinda, ada banyak pria yang lebih baik dari Fandy.” Bram memeluk Dinda dengan kasih sayang.
“Dinda juga minta maaf kakak, Dinda juga tidak menginginkan Kak Bram menceraikan Kak Clara. Tapi aku harus menikah dengan Fandy. Aku hamil anak Fandy,” ucap Dinda dengan lirih, seketika air mata yang coba ditahannya mengalir begitu saja tanpa bisa dikendalikan.
Ucapan Dinda membuat sesak dada Bram, perlahan ia lepaskan pelukannya dan menatap sendu Dinda. Bram hanya terdiam dengan memegang kepalanya dengan kedua tangannya, perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan, kecewa, kesal, marah, sedih semua bercampur jadi satu. Tanpa sepatah katapun, ia meninggalkan kamar Dinda. Di langkahkan kakinya menuju kamarnya, sepi tanpa ada Clara yang biasa menyambutnya di dalam kamar. Bram pun menhempaskan tubuhnya di lantai samping tempat tidur, matanya tertuju pada bingkai foto pernikahan yang terpasang di dinding. Pernikahan yang baru ia jalani selama enam bulan harus berakhir seperti ini. Bram merasa tidak berdaya, pilihan yang sulit, haruskah ia mempertahankan pernikahan dan membiarkan harkat dan martabat keluarga hancur dan terlebih lagi, Dinda, haruskah Adik kesayangannya itu menanggung aib. Atau sebaliknya, ia korbankan cinta dan pernikahannya demi keluarganya.
Bram mencoba memejamkan mata dan berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk. Sinar sang surya melewati celah-celah korden kamar, membuat Bram terbangun, ingatannya kembali melayang pada kejadian kemarin malam.
“Clara, di mana kamu sekarang, kita harus bicara,” gumam Bram dalam hati. Bergegas ia membersihkan diri dan dengan cepat melangkahkan kakinya menuju mobil.
“Bram, mau ke mana?” Elin bertanya pada Bram ketika berpapasan di ruang tengah.
“Mau, ketemu Clara,” jawab Bram dengan acuh dan tetap melangkahkan kakinya keluar rumah.
Clara terbangun, matanya masih sembab, diambilnya benda pipih di sampingnya, dipandanginya berharap Bram menghubunginya. Tiba-tiba lamunannya terhenti karena ada suara pintu kamar di ketok. Perlahan Clara membuka pintu, terlihat Hanggoro ayahnya dengan wajah sendu.
“Clara, Ayah akan bekerja dulu, Bibimu juga sudah berjualan kue, sejak pagi tadi, kamu istirahat di rumah saja,” ucap Hanggoro.
“Seharusnya Ayah dan Bibi yang di rumah, biar Clara yang bekerja, nanti Clara akan cari pekerjaan.”
Hanggoro tersenyum, dan berlalu meninggalkan Clara. Tak kuasa Hanggoro melihat kesedihan Clara.
Ting..bunyi chat Wa, Clara segera meraih dan membukanya pesan dari Bram
{Clara, di mana kamu?}
{Iya, Bram, kami pindah }
{Baiklah kita ketemu di Kafe Alamanda, aku ingin bicara}
{Baik }
Segera Clara membersihkan diri berdadan seadanya, dan menuju ke Kafe Alamanda. Setengah jam kemudian sampailah Clara, jantungnya berdetak kencang, akankah Bram marah dan menceraikannya, netranya terus menyusuri kafe, dilihatnya Bram duduk di sudut kafe sedang menyerutup secangkir kopi di tangannya.
“Bram,” suara yang tak asing itu membuat Bram menghentikan meminum kopi, diletakkannya di atas meja dan matanya tertuju pada wanita di hadapannya. Clara tertunduk, perasaan bersalah mulai menyelimuti hatinya, apalagi tatapan Bram ada rasa kecewa di sudut matanya.
“Duduklah,” pinta Bram dengan nada pelan.
Clara duduk tepat di hadapan Bram, mata mereka saling beradu, kemudian terdengar desahan nafas Bram seakan berat untuk bicara.
“Kenapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya padaku,” Bram menatap Clara. ”Aku kecewa padamu,” sambung Bram, matanya tak lepas memandang Clara.
“Maaf, Bram, aku memang bersalah menyembunyikan masa lalu. Masa laluku sangat buruk. Untuk mengingatpun aku enggan, apalagi bercerita,” balas Clara, masih menunduk, sesekali tangannya mengusap embun di sudut netranya.
“Kita bercerai,” ucap Bram pelan tapi, bagai tersambar petir, bulir-bulir bening seketika luruh membasahi pipi Clara, terasa tubuh Clara tak bertulang, dengan gemetar Clara berucap sambil tangannya meraih tangan lelaki yang menikahinya enam bulan lalu.
“Begitu besarkah kesalahanku, hingga kamu tidak mau memaafkanku,” ucap Clara lirih.
“Reputasi keluargaku sangat penting,” jelas Bram, dengan netra penuh dengan kaca- kaca.
“Kalau menurutmu ini yang terbaik, aku menerima,” ucap Clara terbata-bata, dengan pelan dan berat hati, melepaskan genggaman tangannya.
“Iya, itu jalan yang terbaik. Biar pengacaraku yang mengurus perceraian kita,” ujar Bram dan berlalu pergi meninggalkan Clara.
Clara terpaku, ia tak mengerti kekecewaan yang Bram rasakan lebih kuat, hingga mengalahkan rasa cinta pada dirinya. Jauh di dalam hati Clara, menginginkan Bram akan mempertahankan pernikahan, tapi tak di sangka Bram menyetujui menyudahi pernikahan yang baru enam bulan.
Sementara itu di dalam mobil, Bram menitikkan air mata. Akhirnya ia mengorbankan cintanya demi Dinda dan keluarganya. Kecewa, sedih dan juga marah bergemuruh di dalam dada Bram.
Senja berlahan menghilang, gelapnya malam diiringi lampu-lampu jalanan, langkah kaki Clara terasa berat, sambil menahan sesak di dada dan air mata yang sejak tadi ingin meluncur di pipinya. Langkahnya terhenti di depan rumah kontrakan, berusaha mengembangkan senyum ketika sang ayah sudah menyambutnya di depan pintu.
“Clara, ayah mengkhawatirkanmu, kamu bertemu Bram?” Hanggoro mencerca tanya dengan penasaran. Clara mengangguk sambil tersenyum getir dan duduk di lantai ruang tamu karena memang tak ada sofa, kakinya di selonjorkan. Bi Atik mendekati Clara dengan lirih ia bertanya “Clara, apa Bram memaafkanmu.”
Clara mengeleng ”kami akan bercerai Bi,” ucap Clara dengan bibir bergetar diiringi bulir–bulir bening yang meluncur di pipinya tanpa terbendung lagi. Bi Atik hanya terdiam seribu bahasa, matanya mulai mengembun. Sementara Hanggoro mengerutuki dirinya sendiri.
“Ayahmu ini, tak berguna Clara, lebih baik ayah mati saja,” gumam Hanggoro sambil membenturkan kepalanya di dinding. Clara dan Atik terperanjat kaget melihat Hanggoro menangis sambil membenturkan kepalanya, dengan cepat Clara memeluk ayahnya.
“Tidak ayah, jangan katakan itu, saat ini Clara membutuhkan Ayah, Ayah yang terbaik,” dipeluknya ayahnya sambil menangis sesenggukan. “Jangan pernah bertindak bodoh, jika ayah mati, Clara juga mati.”
“Maafkan ayah, Clara, ayah selalu membuatmu menderita,” ucap Hanggoro dengan gemetar. Clara menggelengkan kepala dan memeluk Ayahnya dengan erat, seakan takkan dilepaskan sambil berucap, “Kita hadapi bersama.”
Bram, sampai di depan ruangan Fandi, tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk, Fandi terkejut dengan kehadiran Bram yang tampak begitu cemas.“Kak Bram, duduklah,” pinta Fandi, ia tahu persis maksud Bram menemuinya.Bram pun duduk, menghela nafas berat dan kemudian berucap.“Apakah benar, Jose harus tranplantasi jantung?” tanya Bram dengan bibir gemetar.“Benar Kak Bram, Jose mengalami lubang di pembuluh darah aorta yang membawa darah dari jantung ke seluruh tubuh. Dari hasil pemeriksaan, sakit jantung Jose sudah sangat parah, pengobatan dan operasi sudah tidak memungkinkan, dan jalan satu-satunya adalah tranplantasi jantung,” jelas Fandi.“Berapa lama Jose bertahan?” tanya Bram.“Kita punya waktu satu bulan sampai kita mendapat donor jantung yang sesuai, kami sudah menghubungi Rumah Sakit Jantung Singapura, untuk mendapatkan donor jantung,” balas Fandi dengan serius.“Jika dalam satu bulan, Jose tidak mendapatkan donor jantung, apa yang terjadi?” tanya Bram lagi, kali ini jantungnya
Kaki Clara terasa lemas, Jose akan di tangani lima dokter sekaligus, pertanyaan sakit apa Jose, membayangi pikiran Clara. Langkahnya pelan, keluar dari ruangan Dokter Ridwan. Nilam yang menunggu Jose, juga terlihat cemas, ketika melihat Clara, seperti orang linglung.“Clara, Jose, baik-baik saja ‘kan?” tanya Nilam, menatap putrinya dengan tatapan dalam.“Tidak Bu, Jose tidak baik-baik saja, cobaan apalagi ini Bu, kenapa masalah suka sekali menghampiriku,” balas Clara, terlihat putus asa, ia menghempaskan pantatnya di kursi tunggu, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan berlahan terdengar isakan tangis. Suara tangisan Clara, begitu memilukan, membuat Nilam bersedih, dan cemas akan keadaan Jose. Nilam duduk di sebelah Clara, di usapnya punggung Clara dengan lembut, seraya menunggu pernyataan dari dari putrinya, tentang sakit yang di derita Jose.“Adrian dan Baskoro suruh pulang, jika memang ini serius,” ujar Nilam pelan.Clara mendesah pelan, dan menghentikan tangis
Satu bulan setelah penculikan Jose, Clara dan Adrian lebih memperhatikan Jose, pengawasan ketat dilakukan, Clara tidak mau lengah lagi, ia masih tak menyangka, kalau Dinda yang melakukan penculikan. Clara dan Adrian selalu mencurahkan kasih sayangnya pada Jose. Clara juga mengizinkan Bram, ayah kandung Jose untuk sesekali bertemu dengan Jose.Setiap malam Clara menyempatkan menemani dan membacakan buku cerita pada Jose, sampai Jose tertidur pulas, seperti malam ini, dengan manjanya Jose menarik tangan Clara sambil berucap manja.“Mommy, ayo bacakan cerita kancil ke cebur sumur, dan di tolong sama gajah,” rengek Jose sambil bergelayut manja.“Okey, sayang, Jose sikat gigi dulu, lalu naik ke tempat tidur, nanti Mommy bacakan cerita,” balas Clara sambil menggandeng tangan mungil Jose.Jose pun menuruti apa yang di perintahkan Clara, dengan berlari kecil ia masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, dan setelah itu berajak naik ke tempat tidur dan di sana Clara sudah duduk bersanda
Clara dan Adrian hampir putus asa, sudah satu minggu lamanya Jose tidak di ketemukan, Pagi itu Clara masih duduk di tempat tidur, matanya sembab, di peluknya foto Jose, sesekali di pandanginya foto bocah umur lima tahun yang lucu itu. Adrian yang melihat keadaan Clara turut sedih, tapi dia lebih menfokuskan mencari Jose, tiap satu jam sekali dia menghubungi anak buahnya untuk memgetahui perkembangan pencarian Jose, tapi lagi-lagi nihil.“Clara, aku bawakan sarapan, kamu harus tetap makan, satu minggu ini makanmu tidak teratur,” ucap Adrian dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur, dan segelas susu lalu di letakan di meja samping tempat tidur.Clara menatap sendu dan berujar, ”Adrian aku tak sanggup, jika harus kehilangan Jose.”“Jose, baik-baik saja, percayalah, sebentar lagi kita akan menemukannya,” ucap Adrian tangannya mengusap bulir bening yang mengalir di pipi Clara. Lalu di raihnya semangkuk bubur dan suap demi suap dimasukannya ke mulut Clara. Hari menjelang siang, Polisi
Lima bulan berlalu, Clara dan Adrian dengan susah payah melupakan kesedihannya kehilangan janin dalam kandungan Clara. Sementara Bram telah membayar kesalahannya di balik jeruji besi.Di kediaman Thomas terjadi keributan, Bram yang baru saja bebas dari penjara, pulang ke rumah dengan keadaan mabuk, melihat itu Thomas geram.“Tampaknya aku sudah tidak bisa berharap lagi pada Bram, cintanya pada Clara merusak jiwanya, satu–satunya harapanku hanya pada Jose, cucu laki-lakiku, aku akan berusaha merebut Jose dari tangan Clara, dan akan kuwariskan semua bisnisku kelak pada Jose,” ucap ThomasElin hanya terdiam, penyesalan menyelimuti dirinya, perceraian Bram dengan Clara, justru menghancurkan kehidupan Bram. Sekarang Clara menjalani kehidupan bahagia dengan Adrian.Sementara itu di rumah Baskoro, Clara sedang memperhatikan Jose yang sedang bermain-main dengan Baskoro dan Nilam. Clara yang berdiri di atas balkon kamar tersenyum bahagia menyaksikan Jose begitu akrab dengan kakek tirinya, la
Setelah kasus kematian Ki Darma terpecahkan, Clara dan Adrian kembali ke Jakarta, hari menjelang malam, udara terasa dingin, beberapa kali Clara menguap, ia pun menyandarkan kepalanya di bahu Adrian dan terlelap tidur, sementara Adrian terus fokus menyetir, melajukan kendaraannya meninggalkan kota Bandung.Beberapa jam kemudian mereka sampai, Adrian membangunkan Clara.“Sayang, kita sudah sampai,” ucap pelan Adrian dengan lembut, sambil mengusap-usap pipi Clara. Sehingga membuat Clara terbangun dan mengerjab-ngerjabkan matanya, yang masih sedikit kabur.“Di mana ini?”“Di apartemen, besok kita ke rumah ayahmu, dan bertemu Jose, lalu kita akan jalan-jalan bertiga bersama Jose, kamu pasti sudah kangen ‘kan hampir dua minggu tidak ketemu Jose.”“Iya, Adrian aku kangen banget ingin cium pipi tembemnya,” sahut Clara sambil tersenyum, membayangkan wajah imut yang mengemaskan.Adrian dan Clara masuk ke dalam apartemen, setelah membersihkan diri, Adrian duduk di sofa depan televisi, matanya t