HERA menggeliat di atas tempat tidurnya saat samar sekali ia merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Ia menarik selimut yang membalut tubuhnya, lalu ia mengerjapkan matanya.
Perempuan itu menolehkan wajahnya, menatap jam yang ada di atas nakas. Pukul lima pagi. Lalu ia tersentak dengan matanya yang membelalak lebar. “Damn it!” makinya lirih.Hera menundukkan wajahnya, melihat bagaimana penampilannya yang masih polos dan hanya berbalutkan selimut tebal di tubuhnya. Perempuan itu menghela napas dengan gusar sembari menyugar rambutnya. “What the hell are you doing, Ra?”Ingatannya lantas membawanya kembali pada kejadian semalam. Bagaimana Hera marah dan kecewa dengan Bima, lalu ia pulang dalam kondisi yang setengah sadar setelah menenggak tequila beberapa gelas. Sampai akhirnya ia bercinta dengan sahabatnya sendiri.“Tolol lo, Ra!” Hera meraup wajahnya dengan gusar, ia abaikan rasa pengar sekaligus pening yang sejak tadi dirasakannya. “Mau ditaruh mana muka lo habis ini, hah?”Hera lantas turun dari ranjang tidurnya. Sesekali ia merintih lantaran rasa nyeri yang dirasakan di pangkal pahanya. Perempuan itu mengayunkan langkahnya menuju ke kamar mandi dan segera bergegas membersihkan diri.Ada jeda selama beberapa saat. Setelah mengguyur tubuhnya dengan air hangat, Hera berdiri di depan cermin, menatap separah apa kegilaannya semalam. Ada beberapa jejak kemerahan di beberapa bagian tubuhnya. Pertanda bahwa semalam mereka sama-sama menikmatinya.“Ya ampun, Rus! Lo apain gue—” Alih-alih kesal dan ingin menjambak rambut Ikarus, Hera mulai memikirkan alasan macam apa agar mereka tidak canggung satu sama lain. Meskipun Bima telah melakukan kesalahan, tapi bukan berarti Hera boleh mengkhianatinya, kan?Lima belas menit setelah membersihkan diri, Hera kemudian meraih pakaian kerjanya dari dalam lemari. Masih pukul enam pagi dan pagi ini ia memiliki janji dengan klien untuk sarapan bersama.Perempuan itu baru saja keluar dari kamarnya lalu ia berjengit kaget saat pandangannya terpaku pada Ikarus yang masih duduk di sofa apartemennya.“Rus…”“Udah bangun?” tanya Ikarus dengan tenang.Hera menelan ludahnya dengan susah payah. “Lo… masih di sini?” Tentu saja! Bagaimana bisa Ikarus pergi begitu saja setelah pria itu berhasil merenggut bagian yang paling berharga di dalam diri Hera? “Lo nggak…”“We need to talk, right?” ujar Ikarus dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kalau lo pengen bahas apa yang terjadi semalam… lebih baik lo lupakan saja, Rus,” ujar Hera dengan tenang.“Lupakan saja lo bilang?” desis Ikarus dengan tatapan yang masih sulit untuk diartikan.Hera tidak pernah ditatap sedemikian intens oleh Ikarus. Ini kali pertamanya Ikarus menatapnya dengan tatapan yang… dingin sekaligus menakutkan?“Rus…” Hera menghela napas pendek lalu melangkah mendekati Ikarus yang duduk di sofa. “I mean, lo sahabat gue, Rus. Kita nggak mungkin—”“Justru karena gue adalah sahabat lo, Ra. Jangan bikin gue kayak bajingan gini!” sengal Ikarus murka.“I’m fine, Rus. I’m really-really fine. Gue… pastikan nggak akan terjadi apa-apa sama gue. Jadi bisa, kan kita lupakan yang semalam?” Hera menghela napas pendek. “Lo tahu kan… kalau gue udah tunangan sama Bima?”“Gue nggak peduli lo tunangan sama Bima atau nggak, Ra. Lo sendiri yang bilang ke gue kalau cowok itu cuma memanfaatkan lo, kan?”Hera menundukkan wajahnya, membenarkan apa yang baru saja dikatakan Ikarus. Hanya saja, apa yang dilakukannya semalam dengan Ikarus benar-benar terasa salah. Tidak seharusnya Hera bercinta dengan sahabatnya sendiri, kan?“Setidaknya gue akan tanggung jawab, Ra.”“Tanggung jawab apa, Rus? Gue nggak apa-apa. Yang terjadi semalam cuma cinta satu malam. Anggap saja gue sama lo cuma khilaf. Dan setelah ini kita anggap nggak pernah ada apa-apa di antara kita.” Hera menatap lekat ke arah Ikarus. “Rus… lo sahabat gue. Jadi akan lebih baik kalau kita lupakan saja. Okay?”Ikarus tidak menjawab. Ia lantas bangkit dari duduknya sembari meraih jaket denimnya. Baru setelah itu, pria itu berlalu begitu saja meninggalkan Hera tanpa sepatah kata.Sepeninggal Ikarus, ingin rasanya Hera mengumpati dirinya sendiri. Perempuan itu bahkan masih mengingat jelas bagaimana ia merayu Ikarus, meminta pria itu untuk tidak menghentikan kegilaannya. Bahkan Hera masih mengingat dengan jelas jika dirinya lah yang pertama kali memulainya.“See, Ra? Lo bodoh banget!”Alih-alih memikirkannya, Hera lantas meraih ponsel dan tasnya yang sempat diletakkannya di atas meja. Baru setelah itu Hera segera bergegas berangkat ke hotel detik itu juga.Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi, Hera tiba di ruangannya. Ia meraih beberapa berkas yang telah disiapkannya sejak kemarin lalu ia bergegas menuju ke restoran untuk menemui tamunya.Begitu tiba di restoran, seperti biasanya Hera selalu memesan dua telur mata sapi matang dan secangkir kopi. Ia berjalan menghampiri salah satu seorang tamu yang tengah duduk sendirian sembari menikmati sarapannya.“Selamat pagi, Pak Sudiro. Apa kabar, Pak?” Hera menjulurkan tangannya ke arah pria paruh baya bernama Sudiro itu, menjabat tangan tamunya lalu menarik kursi di hadapannya dan duduk di sana. “Maaf ya, Pak. Saya agak telat, nih. Jalanan macet.”“Nggak apa-apa, Mbak Hera. Mbak Hera sudah sarapan?”“Ah, saya sudah memesan telur mata sapi, Pak.” Hera melipat tangannya di atas meja. “Jadi gimana nih, Pak? Menu sarapannya enak? Ada masukan buat kami nggak kira-kira?”“Enak, Mbak Hera. Saya suka sekali presentasi menu-menu sarapan di hotel ini. Selain variatif, rasanya enak semua!”Hera lantas tersenyum lebar. “Wah… terima kasih banyak, Pak.”Sudah menjadi pekerjaan Hera menemui tamu-tamunya yang menginap di hotel. Hera selalu menjaga hubungan baik dengan para tamu-tamunya agar kedepannya mereka akan kembali lagi.Setelah berbincang dengan Sudiro dan pengajuan kerjasamanya telah disetujui, Hera memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Tangannya yang sibuk mengotak-atik ponsel, tidak sadar jika ada seseorang yang menepuk bahunya.“Ra…”Hera berjengit kaget lalu menolehkan wajahnya dengan cepat. “Astaga, Res! Bisa nggak sih lo nggak bikin kaget gue?!”“Salah siapa terlalu fokus sama hp?” ujar Ares tak terima. “By the way, Ikarus mana? Dia bilang datang telat. Kalian nggak bareng?”“Dia… belum datang?”Ares kemudian menggeleng. “Belum, Ra. Makanya gue tanya sama lo. Semalam dia bilang kalau nginep di tempat lo.”“Oh…” Hera manggut-manggut lalu menatap Ares dengan penuh selidik. “Dia nggak ada ngomong apa-apa sama lo?”“Ngomong apa emangnya?”Hera memalingkan wajah lalu menggelengkan kepalanya. “Lupakan! Oh ya, event Pak Sudiro udah confirm, ya. Gue barusan menemui beliau di restoran, habis ini gue minta Rhea untuk bikinkan BEO-nya.”“Oke.” Ares mengangguk. Lalu, “Ra… ngomong-ngomong soal Ikarus… gue udah nawarin tempat di rumah gue. Tapi dia nolak tawaran itu.”“Kenapa?”Ares mengedikkan bahu. “Entahlah. Tadinya gue pikir dia pengen numpang di apartemen lo.”“Nggak usah gila ya, Res. Lo tahu kalau gue udah tunangan, kan?” kata Hera sembari mengumpat di dalam hatinya. Bagaimana jika nanti Ares tahu apa yang terjadi semalam? Pria itu pasti sudah jelas akan menertawakannya.“Ya masa lo ngebiarin Ikarus jadi gelandangan sih, Ra. Lo nggak kasihan sama dia?” “Ya kan bisa di tempatnya Eros, Res. Atau kalau nggak mau di tempat lo, dia bisa ke tempatnya Zeus, kan?”“Kalau maunya di tempat lo?” “Nggak usah ngide!” sembur Hera kesal. “Lagian kenapa itu anak ceroboh banget, sih! Katanya hacker, masa dia bisa ketipu sama orang!”“Hacker juga manusia, Ra. Gitu-gitu dia makannya juga nasi.” Ares mengibas-ngibaskan tangannya ke udara. “Ya udah, deh. Yuk, morning briefing!”“Iya. Gue ambil berkas di ruangan gue dulu.”“Oke.”Hera lantas mengayunkan langkahnya menuju ke ruangannya. Sudah ada Rhea yang tengah duduk di depan komputer sambil mengunyah bekal sarapannya. Lalu, “Rhe…”Rhea kemudian memutar kursinya dan mendapati Hera masuk ke ruangan. “Eh, Ra? Udah ketemu sama Pak Sudiro?”“Udah. Siang nanti lo sibuk, nggak?”“Nggak. Kenapa?”“Temenin gue beli sesuatu, ya?”“Mau beli apa memangnya?”“Nanti juga lo tahu.” Hera lantas berjalan menuju mejanya. “Gue mau morning briefing dulu.”***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!“Rus? Suar mana?”Hera yang baru saja tiba di kediamannya lantas mengedar ke sekitar. Wajahnya terlihat lelah, ditambah dengan ia tidak menemukan putranya di sana.“Pulang-pulang tuh, kenapa bukan suaminya yang dicariin lebih dulu, sih? Kamu sengaja mau bikin aku cemburu atau gimana?” protes Ikarus saat itu.Hera menghela napas lalu melangkah mendekati Ikarus yang terlihat santai di sofa. Pria itu tengah mengambil cuti hari ini. “Iya, iya.” Hera mencium pipi Ikarus dengan pelan. “Suar sekarang di mana? Kamu kok kelihatan rapi gini? Mau ke mana?”Bayi mungil yang kini usianya baru menginjak tujuh bulan itu seakan jadi obat lelah Hera. Setiap kali perempuan itu menghabiskan waktu seharian dengan pekerjaannya yang menumpuk, setelah melihat Suar, lelahnya tiba-tiba menguap begitu saja.“Tadi Mama sama Papa mampir ke sini. Terus Suar sama Budhe Harni diangkut sekalian. Katanya biar papa sama mamanya ada waktu berduaan.”Hera terkekeh lalu berhambur memeluk Ikarus. “Emang selama ini kita ng
“Terima kasih untuk waktunya, Pak. Saya berharap kerjasama ini bisa berlangsung lama.”“Sama-sama, Pak Ikarus. Kalau begitu saya pamit dulu.”Setelah menyelesaikan pertemuannya dengan salah satu klien, Ikarus melenggang meninggalkan restoran. Tangannya merogoh saku celananya, lalu membelalak.‘32 missed called from Heraira Cassandra’‘10 missed called from Mama’Ikarus menghentikan langkahnya. Ia mendadak panik. Jemarinya kemudian bergulir, menekan tombol memanggil. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi.Lalu, “Ra! Kamu—”“Bang, ini Mama. Kamu di mana sih, Bang? Dari tadi Mama coba telepon, Hera juga udah telepon kamu puluhan kali. Kok nggak dijawab, sih?”Mendengar suara Bella yang panik, Ikarus ikut panik. “Maaf, Ma. Aku tadi lagi meeting. Ada apa?”“Buruan ke rumah sakit, Bang. Hera mau lahiran!”Ikarus membelalak. Lalu tanpa pikir panjang pria itu berlari meninggalkan restoran untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.“Mama temenin Hera dulu ya, Ma. Ini aku lan
“Rus… lagi ngapain?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Hera yang baru saja bangun dari tidurnya. Sejak pulang kerja tadi, Hera memang memilih untuk tidur lantaran tengah mengantuk.Ikarus menoleh lalu menurunkan laptop dari pangkuannya, merentangkan tangannya ke arah Hera agar segera menghampirinya.“Lagi ngerjain weekly report, Sayang. Kok bangun?”“Iya. Aku tadi mimpi buruk.” Hera lantas berhambur memeluk Ikarus, menyurukkan wajahnya di ceruk leher suaminya.Masih dengan mengenakan pakaian kerjanya, Ikarus mengusap punggung Hera dengan lembut, kemeja yang dikenakannya basah karena keringat. “It’s okay… mimpi kan cuma bunga tidur, Ra. Kamu baik-baik saja sekarang.”Lama Hera berdiam diri di dalam dekapan Ikarus. Perempuan itu kemudian menarik diri, lalu menatap Ikarus dengan lekat.“Rus…”“Hm?”“Kayaknya Dede kangen sama kamu, deh.”Ikarus tercenung selama beberapa saat. Pria itu kemudian menarik ujung bibirnya ke atas lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir Hera. “Bentar ya
“Hai, Rhe… gue datang.” Hera menaruh sebuah buket bunga lily di atas pusara Rhea. Menatap lekat batu nisan yang bertuliskan ‘Sorhea Winona’ itu dengan perasaan berkecamuk. Satu tahun telah berlalu setelah kepergian Rhea. “Lo apa kabar? Lo baik-baik saja di sana, kan?”Hera menggigit bibirnya bagian dalam. Menahan desakan air di pelupuk matanya. Rasanya masih seperti mimpi. Baru kemarin Hera masih tertawa bersama Rhea, namun ia tidak menyangka jika Tuhan telah mengambil sahabatnya satu tahun yang lalu.“Rhe, bentar lagi lo bakalan banyak keponakan.” Hera mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Tak mampu menghalau air matanya yang jatuh begitu saja. “Eve bentar lagi lahiran, dan Eros… dia juga bahagia seperti pesan terakhir lo. Bentar lagi dia juga bakalan jadi seorang ayah.” Perempuan itu kemudian menoleh ke samping, menatap Ikarus yang sejak tadi berdiri di sisinya. “Ada banyak hal yang pengen gue ceritakan sama lo, Rhe. Minggu lalu gue dapat kejutan dari Ikarus, dia beli rumah
“Sayang? Masih lama?”Hera yang baru saja keluar dari kamar mandi lantas terkekeh geli. “Ini lho, masih handukan. Mau ke dokter handukan gini?”Ikarus meraup wajahnya dengan gusar. Senyumnya terbit di wajahnya begitu saja. Pria itu kemudian melangkah mendekati Hera yang kini perutnya sudah membola. Usia kandungannya sudah menginjak bulan ketujuh, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. “Aku nggak sabar pengen lihat perkembangan jagoan kita.” Ikarus melingkarkan tangannya ke pinggang Hera, memeluk perempuan itu dari belakang. “Wangi banget, sih?”“Awas dong, Papa. Mama mau ganti baju dulu, nih. Gimana bisa ganti kalau kamu peluk gini, coba? Katanya nggak sabar pengen lihat jagoannya.”Ikarus melepaskan diri lalu terkekeh. “Iya, iya. Aku tunggu di depan kalau gitu, ya? Tapi jangan lama-lama.”“Iya.”Setelah menunggu lima belas menit, akhirnya Hera selesai bersiap-siap. Keduanya berjalan meninggalkan unit mereka untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.Tepat saat
“WHAT?!? Riri hamil anaknya Eros?” Mendengar perkataan Ikarus barusan, membuat Hera seketika membelalak. “Kamu udah pastikan kebenarannya?”Ikarus mengangguk. “Aku juga sempat kaget tadi. Udah gitu Ares ngamuk di kafe sampai bikin Eros babak belur.”“Tapi Eros nggak apa-apa, kan?”“Nggak apa-apa, kok. Untungnya Riri keluar dari ruangan dan menenangkan Ares.”“Ini kayak bukan Eros banget nggak, sih?” Hera menghela napas pendek. “Kayaknya aku harus nemuin Eros sekarang, deh.”“Sekarang banget?” Ikarus melepas kemeja yang dikenakannya, “tapi udah malam, Sayang.”Hera kemudian turun dari ranjang tidurnya lalu bergerak mendekati lemari pakaian untuk mengambil baju ganti di sana. “Masih jam delapan, kok. Aku harus tahu kebenarannya. Kita tahu kalau selama ini Eros belum bisa ngelupain Rhea, kan? Dan kita tahu hal itu.” ujar Hera terlihat tidak percaya.Ikarus menghela napas. “Aku anterin, ya?”“Nggak usah, Rus. Kamu juga barusan pulang, kan? Kamu pasti capek juga.”“Nggak ada kata capek ka