Share

SAAT ISTRIKU MINGGAT
SAAT ISTRIKU MINGGAT
Author: ananda zhia

Bab 1. Surat dari Rani

|Iya, Sayang. Selamat malam dan salam kenal juga.|

Rani tercengang membaca komentar Rudi, sang suami pada status facebooknya. 

"Ya Tuhan, tega-teganya mas Rudi bilang sayang pada perempuan lain?" gumam Rani kesal. 

Rani menutup akun barunya dan kembali ke akun lamanya. Kemudian dia menyusuri beberapa status Rudi. 

Memang lelaki yang baru dinikahinya setahun lalu itu terkenal ramah dan supel pada semua teman dan keluarganya. Termasuk sangat royal pada mereka. 

Beberapa status di f******knya dengan santainya Rudi memanggil sayang, atau honey pada setiap teman perempuan nya. Dan yang paling membuat Rani kebakaran jenggot adalah Rudi tidak pernah memposting Rani pada status f******k maupun whatsappnya.

Rani pernah komplain tentang hal itu pada suami dan mertuanya tapi tanggapan mertua dan suaminya sangat menyakitkan. 

"Wajar dong kalau cuma berusaha mengakrabkan diri. Aku tidak mau dicap sebagai orang sombong setelah menikah oleh keluarga dan teman-temanku."

"Iya. Nggak usah lebai, Ran. Yang penting kan hati Rudi untuk kamu."

Mendadak terdengar suara ketukan pintu. Rani bergegas meninggalkan kamarnya menuju ruang tamu. 

"Mama? Ayo masuk dulu."

Rani tersenyum dan mempersilahkan mertua dan Maya, adik iparnya masuk ke dalam rumah. 

"Rudi belum pulang?" tanya mertuanya basa basi. 

"Belum. Katanya lembur agar bonus akhir tahunnya banyak."

"Baguslah kalau begitu. Ran, langsung saja ya. Adik kamu, si Maya ini mau nikah, mas Agus sudah menyumbang lima juta. Kamu juga harus nyumbang lima juta ya?"

Rani tercengang mendengar perkataan mertuanya. Kalau mas Agus yang sudah lama bekerja sebagai manajer di perusahaan besar mungkin wajar saja menyumbang lima juta. Tapi Rudi, suaminya yang merupakan karyawan biasa perusahaan makanan ringan, jumlah segitu pasti sangat berat. 

"Nanti aku bilang pada Mas Rudi dulu, Ma."

"Yah, harus mau dong. Wajar kan kalau seorang kakak membantu pernikahan adiknya?!"

"Paling cepat uangnya besok ya. Agar segera bisa pesan dekorasi dan katering."

Rani hanya menghela nafas dan merasa sangat kecewa pada keluarga suaminya yang menganggap wajar semua hal.

***

"Mas, tadi Mama dan Maya kemari."

"Ya, tadi Mama cerita. Kenapa kamu nggak langsung gadai perhiasan kamu, Ran?"

Mata Rani mendelik. "Apa kamu bilang, Mas? Enak saja, itu kan warisan ibuku."

"Nanti mas ganti kalau sudah ada bonus akhir tahun."

"Ck, ogah. Mas yang adil dong antara aku dan keluargamu!"

Rudi yang baru saja melepas sepatu menoleh pada sang istri. Pandangan wajahnya terlihat kesal. 

"Kamu ini, suami baru saja pulang dari kerja, bukannya disambut dengan makanan dan minuman hangat, malah diajak bertengkar. Wajarlah kalau menantu membantu mertuanya. Gimana sih?"

"Ya, gimana nggak bertengkar sih kalau mas nggak adil sama aku! Dari dulu kamu selalu mengutamakan teman-teman dan keluarga Mas saja. 

Bahkan kamu tuh royal pada friendlist mu di F******k. Tapi sama aku pelit! Awas ya Mas, kalau kamu sakit, jangan sampai minta tolong padaku!" seru Rani dengan mata berkaca dan masuk ke dalam kamar meninggalkan Rudi yang sedang kesal.

***

"Ran, ini gajiku bulan ini," tukas Rudi seraya memberikan amplop pada Rani. 

"Terimakasih, Mas," sahut Rani tersenyum.

Rudi mengangguk. Tapi ternyata senyum Rani tak lama, saat melihat uang yang terdapat dalam amplop itu. 

"Mas, kok segini sih? Biasanya uang yang diberikan padaku satu juta lima ratus ribu. Ini kok menjadi satu juta saja?" tanya Rani. 

"Tadi dipinjam teman lima ratus ribu. Kasihan nggak punya suami tapi anaknya sakit. Wajar kan kalau aku membantu teman yang kesusahan, apalagi teman aku janda. Apa kamu nggak kasihan sih?" tanya Rudi. 

Rani menghela nafas kesal. "Mas, gaji kamu sebulan berapa sih totalnya. Kok kamu berikan aku satu juta lima ratus?" tanya Rani.

Rudi belum sempat menanggapi saat istrinya bersuara lagi, "seharusnya aku saja yang menerima seluruh gaji kamu, Mas. Nanti aku yang bagi antara kamu dan Mama. Masa sudah setahun menikah, aku belum tahu berapa total gaji kamu?"

Rudi menatap Rani dengan tatapan kesal. "Kamu ini nggak ada rasa syukurnya. Sudah untung aku berikan sebagian uang gajiku sama kamu. Uang gajiku itu 3,5 juta. Aku bagi 1 juta lima ratus sama untuk kamu sama Mama. Yang lima ratus aku. Masa masih kurang aja? Lihat di luar sana, banyak istri yang nggak dinafkahi suaminya," tukas Rudi sambil berlalu meninggalkan Rani. 

"Mas, tapi semua barang saat ini harganya naik."

"Ran, wajarkan kalau aku masih memberikan bagian yang sama antara kamu dan mamaku. Lagipula, kamu ngapain megang uang banyak? Kita kan belum punya anak?"

"Oke. Baiklah. Tapi bolehkah aku meminta slip gaji kamu?" tanya Rani menghadang langkah Rudi yang hendak menuju kamar mandi.

Rudi memutar bola mata seraya menghembuskan nafas kesal. 

"Kamu kok nggak percaya padaku sih, Ran?! Keterlaluan sekali kamu!" Rudi mendorong bahu Rani perlahan dan segera berlalu ke kamar mandi. 

"Mas, tapi wajarkan kalau istri ingin tahu slip gaji suami?" 

Tidak ada sahutan dari dalam kamar mandi. Hanya terdengar Rudi yang sedang menyalakan kran air dan mengguyurkan air dari gayung ke tubuhnya. 

Rani hanya mendengus kesal melihat reaksi suaminya. "Awas saja kamu, Mas. Akan kubalas perlakuan wajar kamu ini," gumam Rani lirih. 

***

Rani baru saja selesai memasak saat terdengar suara salam dari pintu depan. Rani segera bergegas menuju ruang tamu. 

"Permisi Bu, ini benar rumahnya Bu Rani?"

"Benar. Ini siapa ya?" 

"Saya Erwin dari bank Emok. Saya kemari untuk menagih utang tiga juta. Karena sudah jatuh tempo."

Mata Rani membulat terkejut. "Tapi saya tidak merasa berhutang pada siapapun, Pak?"

Lelaki itu lalu mengulurkan tiga lembar kertas dan memberikannya pada Rani. Rani terkejut melihat fotokopi KTPnya, fotokopi KK, dan tanda tangan perjanjian. 

Utang yang pada awalnya 2,5 juta menjadi 3 juta. Astaga!

"Sebentar, Mas. Ini pasti ada salah paham dengan suami saya. Saya telepon suami saya dulu."

"Halo, mas. Kamu gimana sih kok memberikan fotokopi KTP ku pada bank Emok? Keterlaluan kamu! Untuk apa uang itu? Seingatku kamu belum pernah memberikan uang lebih dari 1,5 juta. Itupun sering kamu minta untuk beli rokok, bensin kamu, dan pulsa listrik."

"Oh, iya, aku lupa bilang Yang, kalau aku beberapa bulan yang lalu pinjam uang buat nambahin pembangunan rumah Ibu."

"Astaghfirullah, Mas. Jahat kamu ya. Tega!"

"Kamu bayarin dulu lah, Ran. Gadai dulu emas kamu. Nanti kalau aku sudah dapat bonus akhir bulan, aku bayar."

Rani langsung menutup teleponnya tanpa mengucap salam. 

***

Rudi melongo melihat suasana rumah yang gelap. Dengan bergegas dia masuk ke dalam kamar. 

"Ran! Rani, kamu dimana?"

Rudi menyalakan lampu dan matanya tertumbuk pada sehelai kertas di atas meja rias istrinya. 

Dibuka kertas itu dan dibacanya. 

"Mas, tadi aku bilang kalau belum bisa bayar utang pada bank emoknya. Lalu petugasnya bilang aku bisa ikut dia saja jadi istrinya dan semua utang kamu lunas. Petugas itu juga mengancam kalau aku nggak bayar utang, aku akan dipenjarakan. Jadi aku ikut sama dia dulu ya, Mas. Biar petugas banknya yang memproses perpisahan kita ke PA. Wajar kan kalau aku lebih memilih menikah dengannya daripada dipenjara?

Salam Wajar dari istrimu."

Pandangan mata Rudi langsung menggelap setelah membaca surat dari istrinya.

Next?

Comments (4)
goodnovel comment avatar
JetjelienTanalawo
salut pada Rani
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Hahahahahahaa
goodnovel comment avatar
Yenita Siregar
"salam wajar" wkwkwk. gue suka gaya loe Ran..!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status