Share

Bab 2. Perkataan Tetangga

Pandangan mata Rudi langsung menggelap setelah membaca surat dari istrinya.

Lelaki itu bergegas menjangkau apapun untuk dijadikan pegangan. Lalu dia terduduk di lantai dan menyandarkan punggungnya pada dipan ranjang. 

Segera diraihnya ponselnya dan menghubungi nomor Rani. Namun sayang sekali, nomor Rani tidak aktif. 

[Ran, kamu dimana?]

[Kamu jangan ngeprank aku dong!]

[Aku minta maaf atas masalah gaji kemarin, Ran.]

Semua centang satu. Rudi mengusap wajah kasar. 

"Enggak mungkin! Hal ini pasti prank karena Rani sedang kesal padaku. Aku hanya perlu mencarinya di dalam rumah ini," gumam Rudi lalu mulai berjalan sekaligus menyalakan saklar lampu. 

"Ran?! Rani? Kamu dimana sih? Kamu marah ya karena gaji kemarin?"

Dibukanya pintu kamar mandi, tapi nihil. Ditengoknya kedua kamar tidur lainnya di rumah itu juga kosong. 

"Ran? Oke aku minta maaf. Kamu jangan prank aku dong. Gini aja mulai bulan depan, aku akan meminta pada bendahara kantor untuk mentransfer semua gajiku ke rekening kamu. Gimana? Sekarang udahan ya sembunyinya? Ayo keluar Ran. Aku kangen?!"

Seberapa pun gigih Rudi memanggil istrinya, Rani tidak kunjung muncul, membuat lelaki berusia 26 tahun itu hanya bisa menghela nafas panjang. 

Dikelilinginya seluruh rumah, tak ada ruangan yang luput dari pengawasan nya, termasuk taman belakang dan taman tengah. Tapi lagi-lagi nihil. Semua kosong. Rani tidak ketahuan jejaknya. 

Rudi merasa lelah setelah beberapa saat mencari Rani. Lelaki itu merasa haus, lalu duduk di kursi ruang makan sambil menuang air minum.

Rudi menghela nafas berulangkali dan setelah tenang, dia berdiri dan berjalan ke arah lemari bajunya. 

"Akan kupastikan Rani benar-benar minggat atau tidak dari baju-bajunya. Pasti baju-bajunya masih di lemari dan dia sekarang sedang ke warung doang," gumam Rudi. Dengan dada berdebar dan harap-harap cemas dia membuka pintu lemari.

Lelaki itu menjadi lemas saat tahu bahwa baju istrinya telah habis tak bersisa. Diliriknya bedak dan lipstik di meja rias pun juga sirna.

"Hhhh Rani, kamu kok tega sih."

Rudi menyandarkan punggungnya pada lemari, perlahan tubuhnya merosot ke lantai kamar.

"Astaga, nikah sama petugas bank Emok? Sungguh tidak tahu diri Rani. Apa susahnya sih dia untuk menggadai emasnya."

Rudi menyugar rambutnya, frustasi. 

"Rani pelit banget! Suami sendiri mau pinjem uang nggak boleh. Padahal sebagian gajiku pasti kuserahkan padanya. Dasar nggak tahu diuntung!" umpat Rudi menahan kesal. 

"Lebih baik aku tanyakan pada tetangga saja. Barangkali mereka melihat atau dipamiti Rani saat dia pergi. 

Rudi segera keluar rumah dan mendatangi Marni, salah seorang tetangganya yang baru pulang dari warung depan. 

"Bu Marni, apa Rani pamit saat keluar rumah?" tanya Rudi. 

Tetangganya yang bertubuh subur itu justru menatap Rudi dengan pandangan menyelidik. Seolah mencari bahan gosip. 

"Rani ngilang? Nggak ada di rumah gitu maksudnya? Wah, bahaya dong. Minggat ya berarti? Hpnya bisa dihubungi nggak, Pak?" tanya Bu Marni seperti wartawan. 

Rudi seketika menyesal karena telah bertanya pada tetangganya itu. 

"Ya sudah. Saya pamit dulu."

"Eh, Pak Rudi! Tadi saya lihat Rani disamperin laki-laki ganteng bawa tas hitam loh. Jangan-jangan kabur sama dia!" seru Bu Marni membuat Rudi semakin panas. 

Akhirnya lelaki itu memilih untuk pulang kembali ke rumah. 

Baru saja menutup pintu, mendadak terdengar bunyi keroncongan dalam perutnya. Lelaki berkumis tipis itu memegangi perutnya dengan tersenyum kecut. 

"Duh, mana lapar lagi! Aku harus makan dulu untuk mengisi tenaga, baru nanti cari solusinya," gumam Rudi lalu dengan perlahan berdiri dan beranjak menuju meja makan. 

Namun Rudi hanya bisa tercengang dan kecewa saat membuka tudung saji. Hanya ada tiga potong tempe goreng, sayur bening kelor dan sambal bawang.

"Astaga, Rani! Kejam amat sih kamu. Sudah tahu kalau aku tiap pulang selalu kelaparan, kenapa masaknya cuma tempe terus. Kemarin lusa ikan asin, terus tahu, sekarang tempe. Boros amat jadi istri. Kemana uang sejuta lebih yang kuberikan?!" gerutu Rudi. 

Tapi sekali lagi perut keroncongannya berbunyi nyaring. 

"Ah, apa boleh buat. Lebih baik aku makan saja daripada pingsan."

Rudi pun mengambil piring dan sendok lalu dengan bersemangat menuju ke magic com, tempat nasi. 

"Astaga, Raniiii! Kok bisa sih magic comnya nggak ada isinya?" tukasnya dengan kesal. 

Rudi melongok ke arah tempat nasi. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat berasnya habis. 

"Duh, kok bisa sih Rani nggak bertanggung jawab seperti ini? Awas saja kamu akan kuadukan pada Mama!"

Rudi meraih ponselnya lalu berusaha menelepon nomor Rani sekali lagi. Namun, sayangnya nomor Rani tidak aktif. 

"Dia pasti sengaja menonaktifkan ponselnya agar aku tidak meneleponnya. Duh, apa aku harus melabrak ke kantor bank Emok? Tapi jam segini pasti tutup. Mana nggak tahu rumah petugas-petugasnya," gumam Rudi. 

Semakin dia berpikir, lambungnya semakin perih. 

Ting. Ting.

Sebuah notifikasi w******p masuk ke ponselnya. Mata Rudi berbinar setelah mengetahui siapa yang mengirimkan pesan itu.

[Mas Sayang, terimakasih ya sudah mengirimkan uang untukku dan anakku. Salam sayang dari Kenzo.]

[Seandainya saja kamu belum mempunyai istri, aku mau kamu jadi ayah sambungnya Kenzo.]

Rudi tersenyum lebar. Pesan itu dari Dewi, cleaning servis di kantornya. Janda anak satu yang ditinggal suaminya entah kemana.

"Ah, syukurlah. Ternyata hidupku bisa berguna juga untuk membantu orang lain. Dewi beda banget sama Rani. Dewi selalu bersyukur dengan uang yang kuberikan padanya."

Dengan cepat, Rudi membalas pesan Dewi. 

[Iya. Sama-sama Sayang. Kalau kurang atau habis, bilang saja ya.]

[Iya Mas. Sekali lagi terimakasih.]

[Pap foto pake handuk dulu, Wi. Please.]

Dan tak menunggu berapa lama, Dewi pun mengirimkan apa yang diminta Rudi. Lelaki itu mencium layar ponselnya kegirangan.

"Dewi, Dewi, kamu mon toq sekali. Beda sama Rani," gumam Rudi. Dan sekali lagi perutnya berkeriyuk ramai.

"Duh, terpaksa minta makan pada mama lagi deh. Semua ini gara-gara Rani. Emang bikin kesal aja!"

Rudi segera memacu motornya menuju rumah mamanya. Sepintas dia teringat saat Rani memprotes kebiasaan Rudi yang masih suka makan di rumah mamanya walaupun sudah mempunyai istri. 

"Mas ini bagaimana sih, sudah punya istri kok masih suka makan di rumah mama?"

"Lah, wajar dong kalau seorang anak makan di rumah ibunya?"

"Nggak wajarlah. Kamu kan sudah menikah? Seharusnya kamu makan sama aku di sini. Gimana sih?"

Rudi melengos. "Sebenarnya aku mau makan di sini. Tapi nggak selera. Setiap hari masakan kamu tahu, tempe, teri, bosen, Ran."

"Yah, makanya kamu berikan aku nafkah yang lebih banyak, Mas. Agar aku bisa memasak enak."

Rudi menatap wajah Rani dengan kesal.

"Kamu nggak usah bohong lagi, Mas. Aku sudah tahu gaji kamu, Mas. Aku tanya istri teman sekantor kamu. Total gaji kamu 5,5 juta perbulan. Kenapa kamu berikan padaku hanya 1,5 juta? Kemana sisanya?"

"Gajiku kuberikan untuk Mama 2 juta yang lain kupakai sendiri. Aku perlu bensin dan nongkrong dengan teman, Ran."

"Kamu nongkrong dengan teman-teman kamu tapi nggak pernah ngajak aku!"

Rudi menatap istrinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu tertawa terbahak. 

"Bagaimana aku bisa mengajak kamu kalau penampilan kamu ndeso seperti ini? Uang yang kamu berikan padaku saja masih kurang. 

Kadang bayar pulsa listrik, air, WiFi juga semua aku. Mana mungkin aku bisa beli baju dan skin care. Mana mungkin juga aku bisa menjadi cantik seperti harapan kamu?" tanya Rani. 

Rudi melamun sampai tanpa sadar lampu hijau sudah menjadi merah. Dan saat hendak melajukan motornya, dari arah depan sebuah motor melaju kencang kearahnya. 

Tiiin!

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status