Pandangan mata Rudi langsung menggelap setelah membaca surat dari istrinya.
Lelaki itu bergegas menjangkau apapun untuk dijadikan pegangan. Lalu dia terduduk di lantai dan menyandarkan punggungnya pada dipan ranjang.
Segera diraihnya ponselnya dan menghubungi nomor Rani. Namun sayang sekali, nomor Rani tidak aktif.
[Ran, kamu dimana?]
[Kamu jangan ngeprank aku dong!]
[Aku minta maaf atas masalah gaji kemarin, Ran.]
Semua centang satu. Rudi mengusap wajah kasar.
"Enggak mungkin! Hal ini pasti prank karena Rani sedang kesal padaku. Aku hanya perlu mencarinya di dalam rumah ini," gumam Rudi lalu mulai berjalan sekaligus menyalakan saklar lampu.
"Ran?! Rani? Kamu dimana sih? Kamu marah ya karena gaji kemarin?"
Dibukanya pintu kamar mandi, tapi nihil. Ditengoknya kedua kamar tidur lainnya di rumah itu juga kosong.
"Ran? Oke aku minta maaf. Kamu jangan prank aku dong. Gini aja mulai bulan depan, aku akan meminta pada bendahara kantor untuk mentransfer semua gajiku ke rekening kamu. Gimana? Sekarang udahan ya sembunyinya? Ayo keluar Ran. Aku kangen?!"
Seberapa pun gigih Rudi memanggil istrinya, Rani tidak kunjung muncul, membuat lelaki berusia 26 tahun itu hanya bisa menghela nafas panjang.
Dikelilinginya seluruh rumah, tak ada ruangan yang luput dari pengawasan nya, termasuk taman belakang dan taman tengah. Tapi lagi-lagi nihil. Semua kosong. Rani tidak ketahuan jejaknya.
Rudi merasa lelah setelah beberapa saat mencari Rani. Lelaki itu merasa haus, lalu duduk di kursi ruang makan sambil menuang air minum.
Rudi menghela nafas berulangkali dan setelah tenang, dia berdiri dan berjalan ke arah lemari bajunya.
"Akan kupastikan Rani benar-benar minggat atau tidak dari baju-bajunya. Pasti baju-bajunya masih di lemari dan dia sekarang sedang ke warung doang," gumam Rudi. Dengan dada berdebar dan harap-harap cemas dia membuka pintu lemari.
Lelaki itu menjadi lemas saat tahu bahwa baju istrinya telah habis tak bersisa. Diliriknya bedak dan lipstik di meja rias pun juga sirna.
"Hhhh Rani, kamu kok tega sih."
Rudi menyandarkan punggungnya pada lemari, perlahan tubuhnya merosot ke lantai kamar.
"Astaga, nikah sama petugas bank Emok? Sungguh tidak tahu diri Rani. Apa susahnya sih dia untuk menggadai emasnya."
Rudi menyugar rambutnya, frustasi.
"Rani pelit banget! Suami sendiri mau pinjem uang nggak boleh. Padahal sebagian gajiku pasti kuserahkan padanya. Dasar nggak tahu diuntung!" umpat Rudi menahan kesal.
"Lebih baik aku tanyakan pada tetangga saja. Barangkali mereka melihat atau dipamiti Rani saat dia pergi.
Rudi segera keluar rumah dan mendatangi Marni, salah seorang tetangganya yang baru pulang dari warung depan.
"Bu Marni, apa Rani pamit saat keluar rumah?" tanya Rudi.
Tetangganya yang bertubuh subur itu justru menatap Rudi dengan pandangan menyelidik. Seolah mencari bahan gosip.
"Rani ngilang? Nggak ada di rumah gitu maksudnya? Wah, bahaya dong. Minggat ya berarti? Hpnya bisa dihubungi nggak, Pak?" tanya Bu Marni seperti wartawan.
Rudi seketika menyesal karena telah bertanya pada tetangganya itu.
"Ya sudah. Saya pamit dulu."
"Eh, Pak Rudi! Tadi saya lihat Rani disamperin laki-laki ganteng bawa tas hitam loh. Jangan-jangan kabur sama dia!" seru Bu Marni membuat Rudi semakin panas.
Akhirnya lelaki itu memilih untuk pulang kembali ke rumah.
Baru saja menutup pintu, mendadak terdengar bunyi keroncongan dalam perutnya. Lelaki berkumis tipis itu memegangi perutnya dengan tersenyum kecut.
"Duh, mana lapar lagi! Aku harus makan dulu untuk mengisi tenaga, baru nanti cari solusinya," gumam Rudi lalu dengan perlahan berdiri dan beranjak menuju meja makan.
Namun Rudi hanya bisa tercengang dan kecewa saat membuka tudung saji. Hanya ada tiga potong tempe goreng, sayur bening kelor dan sambal bawang.
"Astaga, Rani! Kejam amat sih kamu. Sudah tahu kalau aku tiap pulang selalu kelaparan, kenapa masaknya cuma tempe terus. Kemarin lusa ikan asin, terus tahu, sekarang tempe. Boros amat jadi istri. Kemana uang sejuta lebih yang kuberikan?!" gerutu Rudi.
Tapi sekali lagi perut keroncongannya berbunyi nyaring.
"Ah, apa boleh buat. Lebih baik aku makan saja daripada pingsan."
Rudi pun mengambil piring dan sendok lalu dengan bersemangat menuju ke magic com, tempat nasi.
"Astaga, Raniiii! Kok bisa sih magic comnya nggak ada isinya?" tukasnya dengan kesal.
Rudi melongok ke arah tempat nasi. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat berasnya habis.
"Duh, kok bisa sih Rani nggak bertanggung jawab seperti ini? Awas saja kamu akan kuadukan pada Mama!"
Rudi meraih ponselnya lalu berusaha menelepon nomor Rani sekali lagi. Namun, sayangnya nomor Rani tidak aktif.
"Dia pasti sengaja menonaktifkan ponselnya agar aku tidak meneleponnya. Duh, apa aku harus melabrak ke kantor bank Emok? Tapi jam segini pasti tutup. Mana nggak tahu rumah petugas-petugasnya," gumam Rudi.
Semakin dia berpikir, lambungnya semakin perih.
Ting. Ting.
Sebuah notifikasi w******p masuk ke ponselnya. Mata Rudi berbinar setelah mengetahui siapa yang mengirimkan pesan itu.
[Mas Sayang, terimakasih ya sudah mengirimkan uang untukku dan anakku. Salam sayang dari Kenzo.]
[Seandainya saja kamu belum mempunyai istri, aku mau kamu jadi ayah sambungnya Kenzo.]
Rudi tersenyum lebar. Pesan itu dari Dewi, cleaning servis di kantornya. Janda anak satu yang ditinggal suaminya entah kemana.
"Ah, syukurlah. Ternyata hidupku bisa berguna juga untuk membantu orang lain. Dewi beda banget sama Rani. Dewi selalu bersyukur dengan uang yang kuberikan padanya."
Dengan cepat, Rudi membalas pesan Dewi.
[Iya. Sama-sama Sayang. Kalau kurang atau habis, bilang saja ya.]
[Iya Mas. Sekali lagi terimakasih.]
[Pap foto pake handuk dulu, Wi. Please.]
Dan tak menunggu berapa lama, Dewi pun mengirimkan apa yang diminta Rudi. Lelaki itu mencium layar ponselnya kegirangan.
"Dewi, Dewi, kamu mon toq sekali. Beda sama Rani," gumam Rudi. Dan sekali lagi perutnya berkeriyuk ramai.
"Duh, terpaksa minta makan pada mama lagi deh. Semua ini gara-gara Rani. Emang bikin kesal aja!"
Rudi segera memacu motornya menuju rumah mamanya. Sepintas dia teringat saat Rani memprotes kebiasaan Rudi yang masih suka makan di rumah mamanya walaupun sudah mempunyai istri.
"Mas ini bagaimana sih, sudah punya istri kok masih suka makan di rumah mama?"
"Lah, wajar dong kalau seorang anak makan di rumah ibunya?"
"Nggak wajarlah. Kamu kan sudah menikah? Seharusnya kamu makan sama aku di sini. Gimana sih?"
Rudi melengos. "Sebenarnya aku mau makan di sini. Tapi nggak selera. Setiap hari masakan kamu tahu, tempe, teri, bosen, Ran."
"Yah, makanya kamu berikan aku nafkah yang lebih banyak, Mas. Agar aku bisa memasak enak."
Rudi menatap wajah Rani dengan kesal.
"Kamu nggak usah bohong lagi, Mas. Aku sudah tahu gaji kamu, Mas. Aku tanya istri teman sekantor kamu. Total gaji kamu 5,5 juta perbulan. Kenapa kamu berikan padaku hanya 1,5 juta? Kemana sisanya?"
"Gajiku kuberikan untuk Mama 2 juta yang lain kupakai sendiri. Aku perlu bensin dan nongkrong dengan teman, Ran."
"Kamu nongkrong dengan teman-teman kamu tapi nggak pernah ngajak aku!"
Rudi menatap istrinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu tertawa terbahak.
"Bagaimana aku bisa mengajak kamu kalau penampilan kamu ndeso seperti ini? Uang yang kamu berikan padaku saja masih kurang.
Kadang bayar pulsa listrik, air, WiFi juga semua aku. Mana mungkin aku bisa beli baju dan skin care. Mana mungkin juga aku bisa menjadi cantik seperti harapan kamu?" tanya Rani.
Rudi melamun sampai tanpa sadar lampu hijau sudah menjadi merah. Dan saat hendak melajukan motornya, dari arah depan sebuah motor melaju kencang kearahnya.
Tiiin!
Next?Tiiin!Aaarghhh! Brakk!Motor Rudi terjatuh di aspal dan motor Kawasaki ninja warna merah yang menabraknya pun terjatuh."Aduh!" seru Rudi sambil menatap sosok yang telah menabraknya. Bersiap untuk melabrak sosok yang masih menggunakan helm teropong di hadapannya, kendatipun jelas sekali Rudi yang salah. "Kamu ini ya ...,""Maaf, Mas. Masnya nggak apa-apa?" tanya sosok berjaket kulit itu sambil membuka helm teropongnya. Rudi ternganga melihat kecantikan pengemudi motor yang ternyata perempuan. Cantik dan seksi lagi. Pengemudi perempuan itu berdiri dan dengan perlahan mengulurkan tangannya pada Rudi yang masih terduduk kesakitan. Rudi langsung mengibaskan debu dari badannya. Seluruh sakit di tubuhnya seolah hilang seketika. 'Ya Tuhan, cantik banget. Ditinggal istri dekil dan sekarang ditabrak sama cewek cantik. Ini ujian apa cobaan?' gumamnya. "Saya nggak apa-apa." Rudi berdiri dan mengulurkan tangannya menjabat tangan gadis itu. "Ayo minggir dulu, biar nggak menganggu kendaraa
"Ya Tuhan, masa sih Rani membawa BPKBku?" tanyanya lemas. "Dasar istri nggak wajar! Udah minggat, bawa BPKB suami!"Rudi merasa mendadak kepalanya nyut-nyutan. Motor Yamaha All new R-15 nya terancam diambil orang kalau BPKBnya entah kemana. "Aduh, Ya Tuhan. Kemana lagi sih aku harus mencari Rani?" gumam Rudi setengah frustasi. Sekali lagi dia mencoba menelepon Rani, namun sayangnya ponsel Rani tetap tidak aktif. "Astaga, kemana sih Rani? Kemana harus kucari ya? Rani sudah tidak punya orang tua. Satu-satunya yang tersisa dari saudara Rani adalah kakak lelakinya di luar pulau. Tapi masa Rani berani ke sana sendirian malam-malam begini?" gumam Rudi. "Ah, bodo amat. Aku telepon aja kakaknya. Kalaupun kakaknya Rani nanti ngomelin aku, biar aku blokir aja sekalian."Rudi menekan nomor kontak kakak iparnya, dan tak lama kemudian nada sambung berubah menjadi suara laki-laki."Halo, Uda.""Halo Rud, tumben telepon. Ada apa?"Rudi menelan ludah. Bingung hendak meneruskan pertanyaannya. "He
Kini tinggal Rudi yang melongo. "Apa? Tidak mungkin! Kalau Rani tidak ikut kamu seperti yang telah disebutkan dalam suratnya, lantas dia kemana?"Sebenarnya ada sedikit rasa lega dalam hatinya saat mengetahui fakta bahwa istrinya tidak kabur dengan laki-laki lain. Itu artinya Ranu masih mencintainya. Tapi hati Rudi memang masih bertanya-tanya tentang keberadaan Rani. Entah selamat atau tidakkah istrinya sekarang.Erwin hanya mengedikkan bahu sambil menepis tangan Rudi yang mencengkeram kerah bajunya. "Ya saya nggak tahulah. Yang suaminya kan kamu, Pak. Kenapa justru saya yang jadi tersangkanya?""Kamu pasti bohong ya?! Jelas-jelas dalam surat Rani disebutkan kalau dia kabur sama petugas bank Emok. Dan satu-satunya petugas bank Emok yang ke rumahku untuk menagih hutang kan cuma kamu. Kamu enggak usah ngeles lagi. Sekarang kembalikan istri saya!"Beberapa pengunjung mulai ricuh. Beberapa diantaranya bahkan mulai mengarahkan kamera ponsel ke arah Rudi dan Erwin. Seorang satpam mendeka
"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam."Apa?""Iya Pak, semua perhiasan emas ini imitasi." Pemilik toko emas itu mengulangi jawabannya. "Tidak mungkin. Pasti Mas nya salah periksa. Ayo periksa lagilah!" Rudi bersikeras untuk memaksa. Pemilik toko emas itu hanya bisa menghela nafas. "Saya sudah memeriksanya berulang kali. Dan hasilnya tetap sama. Perhiasan emas ini palsu. Kalau Bapak tidak percaya, silakan bawa perhiasan ini ke toko lain."Rudi tercengang dan dengan terpaksa dia mengambil perhiasan itu dari penjual emasnya.Rudi terpekur dalam hati. 'Jadi perhiasan ini palsu? Apa perhiasan ini yang dulu menjadi warisan ibunya Rani?! Kalau benar perhiasan ini adalah bagian dari warisan ibunya Rani, berarti perhiasan Rani selama ini palsu juga. Tapi kalau perhiasan ini berbeda dengan warisan ibunya Rani, buat apa Rani memiliki perhiasan palsu ini? Apa perhiasan ini untuk
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat. "Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi. "Ran! Rani!" Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya."Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi."Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi. Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya. "Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris. "Apa maksud kamu? Katakan?!""Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tuk
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
*Terkadang ada sebuah nama yang tertulis di hati, tapi tidak tertulis di buku nikah.***"Apa?! Kamu minta berpisah? Aku enggak mau!""Kenapa?" "Kok tanya kenapa? Karena aku mencintai kamu lah!"Rani tersenyum kecut. "Mencintai? Tapi kamu jelas memanfaatkanku, Mas. Kamu tidak usah mengelak lagi. Aku sudah muak dengan semua yang dianggap wajar olehmu dan keluargamu!"Rudi segera turun dari motornya dan mendekati Rani. Wajahnya tampak memelas."Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Kita bicara di sini. Setidaknya pinggirkan dulu motor kamu agar kita tidak menghalangi orang lewat."Beberapa pengguna jalan memperhatikan mereka. Karena jalan yang mereka lalui masih dalam area pasar, mau tidak mau banyak mata yang melihat percekcokan suami istri itu.Rani pun hanya menghela nafas dan akhirnya meminggirkan motornya."Tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan membahagiakan kamu dengan cara apapun," tukas Rudi sambil mendekat pada Rani. Perempuan itu menatap