공유

Sandiwara Apa Lagi?

Mas Hendra lalu mengantarkanku ke luar rumah.

"Mau Mas antar, Sayang?" tanyanya padaku. Aku menggelengkan kepala.

"Nggak usah, Mas, aku pakai taksi saja," ucapku padanya. Aku baru ingat bahwa saat ini mobilku berada di rumah Kak Resi. Aku berharap dia tak curiga.

"Oh baiklah, hati-hati ya, Sayang," katanya. Aku mengangguk lalu melambaikan tangan padanya sampai ia kembali menutup pintu rumah.

Mereka tidak tau, bahwa di sana hapeku tertinggal. Kita lihat saja, mereka akan hancur dengan sendirinya. Aku bergegas pergi ke rumah Kak Resi.

"Anna, bagaimana?" tanya Kak Resi saat aku baru saja sampai ke dalam rumahnya.

"Mereka pintar memainkan akting mereka, Kak. Namun mereka salah bermain-main dengan seorang Anna. Saat ini saja mereka sudah masuk dalam perangkap Anna."

"Maksudmu bagaimana, Anna?" tanya Kak Resi. Saat ini hanya kamu berdua yang ada di rumah ini, suami Kak Resi sedang pergi bekerja dan anaknya masih tidur siang.

"Aku sengaja meninggalkan ponselku di tempat Ibu, serta aku juga menghidupkan rekaman suara. Aku ingin tahu apa saja yang sedang dibicarakan oleh mereka," kataku sambil menatap ke depan. Saat ini kami sedang duduk di sofa.

"Bagus, Anna, Kakak sangat mendukungmu. Kamu jangan lemah, buktikan pada mereka bahwa siapa sebenarnya diri kamu. Buktikan bahwa kamu di atas mereka. Kakak percaya bahwa kamu bisa melewati masalah yang saat ini kamu hadapi." Kak Resi mendekat lalu memeluk dan memukul pundakku pelan, ia menguatkanku.

Tiba-tiba air mataku jatuh dengan sendirinya. Rasanya begitu sakit saat tahu seseorang yang saat ini begitu kupercaya tega mendua tanpa rasa iba.

"Menangislah, Anna, menangislah sepuasnya. Mbak tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, jangan paksakan hatimu untuk terus terlihat tegar." Kata-kata Kak Resi meruntuhkan pertahananku.

"Sakit, Kak," ujarku dengan suara yang parau. Air mata mengalir lebih deras dari sebelumnya.

Andai saja Mas Hendra paham, bahwa aku sebenarnya rapuh. Rasanya tak percaya jika dia benar-benar menduakanku.

Masih membekas bagaimana sikapnya dulu waktu kami awal-awal saling mencintai. Saling bucin satu sama lain. Kenapa sekarang dia malah berubah begitu saja, bahkan berani bermain api.

"Luapkan semuanya, Anna," ujar Kak Resi yang membuatku semakin tersedu.

"Kenapa harus selingkuh, Kak. Kenapa? Apa kurangnya Anna selama ini di mata Mas Hendra, kenapa dia tak cukup satu wanita. Kenapa tak cukup hanya Anna saja dalam hatinya. Mengapa harus ada orang ketiga antara kami berdua?" tanyaku berulangkali meluapkan emosi yang sudah tertahan semenjak di rumah Ibu tadi.

Hampir lima belas menit aku menangis, Kak Resi hanya diam mendengarkan curahan hatiku.

"Sudah selesai menangisinya? Sudah lega? Sekarang hapus air matamu, Anna. Laki-laki sepertinya tak pantas untuk ditangisi, jalankan misimu sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Buat mereka hancur dengan pengkhianatan mereka sendiri," ucap Kak Resi. Aku mengangguk lalu bersiap-siap untuk kembali ke rumah Ibu.

"Anna mau ke rumah Ibu lagi, Kak, untuk mengambil ponsel yang sengaja kutinggal di sana," ucapku padanya. Kak Resi lalu menganggukkan kepalanya.

***

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu saat sudah sampai di depan rumah mertuaku. Tak sabar rasanya ingin kembali masuk ke dalam rumah.

Klek!

Pintu terbuka. Kembali Mas Hendra yang membuka pintunya. Nampak keterkejutan dari wajahnya karena kedatanganku kembali ke rumah ini.

"Lho, Sayang. Kok balik lagi?" tanya Mas Hendra.

"Ponselku tertinggal, Mas," ucapku dengan senyuman manis. Aku berharap mata bekasku menangis tadi tak akan ketahuan olehnya.

Mata Mas Hendra melotot menatapku.

"Biar Mas ambilkan," ujarnya. Sebelum ia melangkah masuk, aku memegang lengannya.

"Nggak perlu, aku bisa ambil sendiri kok." Setelahnya aku berjalan masuk ke dalam rumah dan menghampiri Sandra yang berada di sebelah Ibu. Matanya terlihat habis menangis, tapi aku malas bertanya. Karena bagaimanapun juga aku tahu apa yang sudah terjadi.

Apalagi kalo bukan dia tersinggung dengan perkataanku? Sandra sebenarnya bukan tandinganku, tapi sepertinya dia ingin merasakan rasanya bermain dengan orang seperti Anna.

Segera kuambil ponsel dan mematikan rekaman itu. Lalu berjalan ke luar rumah. Tanpa berpamitan, entah curiga atau tidak Ibu dengan sikapku yang berbeda. Aku sudah tak peduli bagaimana nanti ke depannya.

Karena saat semua sudah diketahui, kerugian terbanyak ada pada Mas Hendra dan Ibu, bukan padaku.

Lagipula, jika aku bercerai dengan Mas Hendra. Aku akan tetap berdiri di pondasi yang kokoh, entah untuk Mas Hendra. Karena ada kalimat yang mengatakan, beda istri, beda rezekinya.

"Ya udah aku berangkat dulu ya, Sayang," ucapku setelah sudah sampai di luar pintu. Mas Hendra lalu mencium pipi kanan ini.

"Hati-hati bawa mobilnya ya, Sayang. Daah," ujar Mas Hendra lembut.

Aku mengangguk, walau tak dapat dipungkiri ada rasa sakit di dalam sana. Sebahagia apapun yang terlihat dariku sekarang, ada luka yang mulai terasa sakit di dalam sana. Di hatiku.

Sepulang dari tempat Kak Resi tadi, aku langsung membawa mobilku ke pekarangan rumah Ibu, agar tak menambah kecurigaan mereka.

Namun aku lupa, padahal jarak rumahku dengan Ibu sangat jauh. Semoga saja Mas Hendra tak curiga denganku. Aku tak ingin terbongkar begitu cepat

***

"Non, darimana?" tanya Bik Wati padaku saat baru saja duduk di ruang tamu. Aku tadi lupa memberitahukan beliau bahwa aku akan pergi ke luar rumah.

"Dari tempat teman, Bik. Maaf Anna lupa memberitahukan Bibi," kataku padanya. Bik Wati sudah kuanggap seperti keluarga, dari aku kecil dia yang selalu ada untukku bahkan sampai Mama tiada.

"Nggak papa, Non. Non mau dibuatkan teh?" tanyanya.

"Boleh, Bik," jawabku. "Makasih ya, Bik." Bik Wati mengangguk lalu bergegas ke dapur.

Aku merenung, memijat pelipis yang terasa sakit. Apa yang ingin mereka ambil dariku, padahal keluarga Mas Hendra merupakan keluarga berada.

Apa selama ini pernikahan kami hanya sebatas kerja sama untuk membangun perusahaan mereka lebih maju.

Aku bukanlah orang yang lemah. Tunggu saja sebentar lagi sedikit demi sedikit akan kubuat Mas Hendra dan keluarganya jatuh.

Rasanya, aku tak dapat mempercayai jika lelaki yang selama ini terlihat menyayangiku berbalik menghianati perasaan ini.

Sebelum terlambat, aku akan mengamankan aset-asetku terlebih dahulu. Jangan sampai saat dia pulang, dia mengambilnya tanpa sepengetahuanku.

Mas Hendra hebat, ia dengan mudahnya menghancurkan bangunan yang sudah lama terbangun indah.

Kepalaku mendadak pusing dengan permasalahan ini. Kenapa mereka terlihat mempermainkanku?

Ting!

Ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.

[Anna, Ibu mau ngasih kamu hadiah nih, mau?] Pesan itu tertulis.

Nama pengirimnya adalah Ibu Mertuaku, aku mengernyitkan dahi heran. Mengapa tiba-tiba ia ingin memberikan aku hadiah. Padahal aku baru saja dari rumahnya, kenapa tidak dari tadi saja.

Ini aneh!

Oh iya, apa mungkin karena siang tadi baru saja dia mengataiku, bahwa aku adalah wanita b*doh.

[Hadiah untuk apa, Bu?] balasku padanya

Tak berselang lama, Mama langsung membalas.

[Nanti kamu akan tahu sendiri, oh ya, boleh kah kamu mengirimkan uang lagi pada Ibu Ann, tiba-tiba Ibu membutuhkannya secara mendadak.] tulis Ibu lagi.

[Nanti ya, Bu,] balasku singkat. Dasar keluarga tak tahu malu. Padahal baru saja dua Minggu lalu aku memberikan uang padanya. Dan sekarang ia malah meminta lagi.

Begitu, malah mengkhianatiku.

[Secepatnya ya, Sayang. Mama makin sayang dengan Anna.] Pesan Mama kembali masuk. Cih! Sayang dia bilang, bilang saja sebenarnya dia sayang dengan uangku.

Awas saja kamu, Mas, aku akan menonaktifkan kartu atm-mu. Bahkan membuatmu turun jabatan di perusahaan ayahku.

Untuk apa Mama meminta uang secara tiba-tiba.

Drama apalagi yang sedang dipermainkan mereka. Baiklah, sepertinya permainan ini akan sangat seru, ternyata pura-pura nggak tau, padahal tau semuanya itu enak banget.

Kayak ada sakit-sakitnya gitu.

"Non!" Panggilan Bik Wati membuyarkan lamunanku.

"Eh, Bik," ucapku.

"Bibik panggil daritadi, Non Anna malah ngelamun." Bik Wati lalu menyerahkan teh untukku.

"Lagi ada yang dipikirkan aja, Bik. Ya udah tehnya saya bawa masuk aja, Bik. Sekalian mau mandi bersih-bersih badan," ucapku padanya.

"Oh, iya, Non. Bibik juga mau lanjut masak," ujar Bik Wati.

"Iya, Bik," jawabku lalu bergegas untuk pergi ke kamar.

Saat berjalan ke kamar, pikiranku melayang. Pesan yang dikirimkan Ibu, apalah itu salah satu trik mereka untuk mengalahkan diri ini.

Apa perlu aku memberi tahu Ayah permasalahan ini, batinku.

Namun, aku ragu. Ini masalahku, masalah ini masih bisa kuselesaikan secara baik-baik. Tak perlu bantuan Ayah terlebih dahulu.

-

-

댓글 (2)
goodnovel comment avatar
Rotul Isa
buka kunci mksdnya hhh
goodnovel comment avatar
Rotul Isa
kebanyakan buka pin
댓글 모두 보기

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status