Cinta berdecak kesal karena sedari tadi Sabda selalu saja mengikutinya. Entah rencana apa lagi yang Ricko lakukan kali ini, tetap saja tidak akan bisa membuat Cinta seperti dulu lagi.
"Kamu ini maunya apa sih, dari tadi ngikutin aku terus, nggak capek?" tanya Cinta dengan ketus.
Sabda menggeleng sambil tersenyum, membuat Cinta memutar bola matanya malas. Sudah berkali-kali dia berusaha untuk mengelabuhi Sabda, tapi tetap saja pria itu selalu tahu rencananya. Apakah cara Cinta gampang ditebak?
Cinta kembali melajukan motornya, sesekali dia melirik kaca spion untuk melihat Sabda. Cinta tersenyum licik, dia yakin bahwa kali ini pasti rencananya akan berhasil. Cinta menatap jalanan dengan senyum menyeringai, beruntung karena keadaan sedang mendukungnya, jalanan tampak sepi, dengan kecepatan tinggi dia melajukan motornya. Cinta tersenyum puas karena tak lagi melihat motor Sabda di belakangnya.
"Kubilang juga apa, kenapa kamu masih saja bebal, lihat sendiri akibatnya," kata Cinta sambil tertawa puas.
Tawa itu tak berlangsung lama, kini mata Cinta melotot karena melihat motor Sabda sedang menghadang jalannya. Cinta langsung memberhentikan motornya dengan perlahan, wanita itu masih tak percaya dengan apa yang saat ini dilihatnya. Sesekali Cinta mengucek matanya untuk memastikan bahwa semua yang dia lihat memang benar.
Cinta melihat Sabda tersenyum tipis, Cinta yakin kalau saat ini Sabda sedang menertawakannya.
"K--kau," ucap Cinta terbata.
Sabda turun dari motornya, pria itu berjalan ke arah Cinta.
"Hei, kenapa dari dulu kamu tidak berubah, selalu saja meremehkan orang lain."
Cinta mengerjapkan matanya berkali-kali, baru kali ini dia mendengar suara pria yang ada di hadapannya, karena sedari awal mereka bertemu, Sabda tak pernah berbicara. Bahkan Cinta mengira jika Sabda bisu. Suara Sabda terdengar sangat sejuk ditelinga Cinta. Wanita itu menatap Sabda cukup lama, dan tatapan itu pun dibalas oleh Sabda. Seakan mempunyai sihir, Cinta dibuat terpesona.
"Dan juga, kenapa kalau berkendara harus ngebut-ngebut, kamu nggak takut terluka atau kecelakaan, gitu?" tanya Sabda.
Cinta tersenyum kecut, justru itu yang dia inginkan, mungkin jika dia sudah tak ada di dunia ini lagi, ayahnya akan hidup dengan tenang bersama keluarga barunya.
"Ya bagus dong," jawab Cinta sewot.
Sabda mengerutkan keningnya, pria itu menatap Cinta heran.
"Kenapa berbicara seperti itu? Nggak baik. Sekarang tujuanmu ingin ke mana, biar aku yang antar, ayahmu sudah berpesan padaku agar aku menjagamu dengan baik. Pergi sehat, pulang selamat. Karena mulai saat ini kamu adalah tanggung jawabku. Suka tak suka, itulah kenyataannya," jelas Sabda.
Cinta memberengut kesal, tak suka dengan ucapan Sabda.
"Owh, jadi kamu mata-mata ayahku? Ck! Dibayar berapa sama ayahku sampai-sampai kamu menyetujui permintaannya?" tanya Cinta dengan tangan bersedekap.
"Ini bukan perihal bayaran, Cinta, kamu sekarang adalah tanggung jawabku," jawab Sabda dengan suara tenang.
Cinta tertawa pelan, dia menatap Sabda dengan sinis, rasanya berdebat dengan pria itu tak ada gunanya. Cinta berniat pergi dari situ, akan tetapi kunci motornya dicabut lebih dulu oleh Sabda.
"Hei, kau! Kembalikan kunci motorku, lancang sekali kamu ini!" bentak Cinta.
Sabda mengedikkan bahunya acuh, pria itu langsung memasukkan kunci motor itu disaku celananya.
"Tujuanmu ingin ke mana, ikutlah bersamaku."
Gigi Cinta gemeletuk, wanita itu tampak menghela napas berkali-kali seperti sedang menahan amarah. Masih tak terima dengan perlakuan Sabda yang bertindak sesuka hatinya.
"Oke, kalau itu maumu. Baiklah, bertindaklah sesuka hatimu seperti ayahku memperlakukanku," ujar Cinta pelan.
Sabda ingin menyela, akan tetapi Cinta sudah pergi dari hadapannya. Dengan langkah lebar Sabda menuju motornya.
"Kita akan pergi ke mana?" tanya Sabda antusias.
"Club," jawab Cinta cuek.
Seketika raut wajah Sabda langsung berubah.
***
Bingar musik mengalun begitu keras, membuat Sabda menutupi kedua telinganya. Mungkin, Cinta sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Berbeda dengan Sabda, ini adalah pertama kalinya dia memasuki tempat itu.
"Kalau nggak kuat lebih baik kamu pulang saja," ledek Cinta.
Sabda menggeleng tegas, membuat Cinta mengedikkan bahunya acuh.
"Oke, terserah kamu saja. Aku mau happy-happy dulu sama temanku, semoga betah ya," ucap Cinta, mata wanita itu mengerling nakal.
Wanita itu berbalik, mengacungkan jari tengahnya ke atas, membuat Sabda geleng-geleng kepala sembari mengusap dada.
'Ya Tuhan, inikah Cinta yang dulu aku kenal? Kenapa sangat berbeda,' batin Sabda.
Sabda duduk di balik kerumunan manusia yang sibuk meliukkan tubuhnya, akan tetapi matanya tak pernah lepas untuk melihat Cinta. Pria itu memandang Cinta dengan perasaan tak menentu. Ada rasa sesak dalam dadanya ketika dia melihat Cinta tampak mabuk, seperti tak sadarkan diri. Entah mengapa, perasaannya ikut hancur.
Sabda melihat ada seorang lelaki yang tengah membujuk Cinta untuk meminum air yang Sabda tak tahu itu air apa. Awalnya terlihat biasa saja, tetapi semakin lama tampak mencurigakan.
Cinta sedang tidak baik-baik saja, Sabda pun berdiri dari duduknya, mendekati Cinta yang tengah bersama teman-temannya. Tangan Sabda mencegah Cinta agar tidak kembali meminum minuman itu.
Cinta mendongak, tersenyum manis pada Sabda. Seketika ingatan Sabda terlempar pada masa lalu. Ya, dia sangat ingat siapa pemilik senyuman itu. Cinta tersenyum padanya, membuat hati Sabda terasa menghangat.
"Cinta, kita pulang."
"Apa?! Nggak denger!" teriak Cinta.
Sabda menghela napas. Jelas saja tidak dengar karena di tempat itu tampak riuh.
"Kita pulang," bisik Sabda tepat ditelinga Cinta.
"Woi! Elo ngapain deketin cewek gue, hah!"
Sabda menoleh ke arah sumber suara. Menatap pria yang tak dikenalnya dari atas sampai bawah. Dari cara berpakaian saja sudah bisa ditebak jika pria itu memiliki sifat tempramen.
Sabda tak menjawab, dia segera membopong Cinta yang saat ini sudah tak sadarkan diri.
"Heh! Gue lagi ngomong sama elo! Cewek gue mau dibawa ke mana?!"
Langkah Sabda terhenti. "Siapapun Anda, saya tidak ada urusannya dengan Anda, saya hanya berurusan dengan Cinta," jawab Sabda tegas.
Pria itu berjalan mendekat, menatap Sabda dengan garang.
"Lo belum tau siapa gue? Oke, kenalan dulu, gue Farel, kekasihnya Cinta, puas lo!" bentak Farel.
Sabda tersenyum kecut. "Hanya kekasih, tidak lebih."
Mata Farel membulat. "Gue kekasihnya, sedangkan elo bukan siapa-siapanya. Biar gue aja yang bawa Cinta pulang!"
Ketika Farel ingin mengambil tubuh Cinta, Sabda langsung mundur beberapa langkah, dia menatap Farel dengan tajam.
"Ya, saya memang bukan kekasihnya. Asal Anda tahu bahwa Cinta adalah ... calon istri saya!"
Farel mematung di tempat. Terdiam cukup lama untuk mencerna apa yang diucapkan oleh Sabda. Tak lama kemudian Farel tertawa terbahak-bahak.
"Elo nggak bisa nipu gue," sarkas Farel.
Sabda mengedikkan bahunya. "Mau percaya atau tidak itu bukan urusan saya. Jika Anda ragu dengan kata-kata saya, bisa Anda tanyakan sendiri pada Cinta besok hari, permisi," pamit Sabda.
Sabda pergi meninggalkan club itu dengan perasaan berkecamuk. Masih tak percaya jika inilah makanan sehari-hari Cinta. Baru satu tempat yang Cinta tuju. Apakah ada hal lain lagi yang lebih mengejutkan Sabda?
Cinta masih betah dalam tidurnya. Matanya terasa berat, kepalanya tampak pusing dan rasa kantuknya lebih dominan dibandingkan dengan silaunya matahari yang menembus kelopak matanya."Bangun!"Cinta mendengar suara berat seseorang yang sangat dia kenali, akan tetapi Cinta tak menghiraukan ucapan pria itu.Wanita itu malah semakin mengeratkan pelukannya pada bantal guling serta menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut."Bangun!" sentak Ricko.Cinta membuka matanya, dengan gerakan lambat, dia bangkit, lalu menguap lebar tanpa memperdulikan dengan siapa dia sedang berhadapan. Perlahan wanita itupun sadar, Cinta menatap ayahnya serta lelaki yang menurut Cinta sangat menyebalkan. Sabda!Cinta mendesis lirih, sejak kapan ayahnya mau menginjakkan kakinya di kamar Cinta lagi?Cinta melihat Ricko sedang berkacak pinggang serta menatap dia dengan tajam."Jadi begini ya kelakuan kamu setiap hari. Keluyuran nggak jelas, balapan liar, t
Sabda terdiam cukup lama, pria itu tak bisa berkata-kata dengan ucapan Cinta.'Pasangan yang tepat?' batin Sabda."Bukankah kamu sudah mempunyai kekasih?" tanya pria itu dengan dahi mengernyit."Ya," jawab Cinta singkat."Lalu, pasangan yang tepat maksudnya gimana, apakah kekasihmu tidak tepat jika bersanding dengan kamu?"Cinta tertawa pelan seraya menggeleng, tak lama kemudian air mata wanita itu menetes. Sabda terkesiap, bingung karena reaksi Cinta, apakah pertanyaannya salah?"Nama?" tanya Cinta.Sabda terdiam cukup lama, tidak paham dengan pertanyaan Cinta. Karena tak mendapat jawaban, Cinta pun mendengkus keras."Aku tanya nama kamu siapa?!" pekik wanita itu.Sabda tertegun mendengarnya, dia menatap Cinta tak percaya. Sabda kira, Cinta sudah mengenalinya, ternyata dia salah duga. Pria itu tersenyum kecut."Sabda," jawab pria itu tanpa menoleh ke arah Cinta."Oke, jadi begini ya, Sabda. Memang benar ya
Sabda menoleh ke belakang, menatap Cinta dengan gugup."Cinta, kok kamu ada di sini?"Cinta menatap Sabda datar sambil melipatkan kedua tangannya."Hei, pertanyaan bodoh macam apa itu, harusnya aku yang bertanya seperti itu. Tadi kamu menolak ajakanku dan ingin menungguku dimobil saja, kenapa sekarang datang menghampiriku?" tanya Cinta. Wanita itu tampak tersulut emosi.Sabda menggaruk kepalanya yang tidak gatal, melihat Cinta sambil meringis pelan. Pikirannya tak menentu, seketika Sabda teringat sesuatu."Cinta, kamu belum makan, kan?" tanya Sabda dengan raut wajah pias.Cinta menggeleng. "Belum, memangnya kenapa?""Oke, berhubung kamu belum makan, kita cari tempat lain aja yuk, aku punya rekomendasi tempat makan yang enak buat kamu, aku yakin kamu pasti suka."Dahi Cinta mengernyit, wanita itu sempat menaruh kecurigaan pada pria yang sedang berada di hadapannya. Pasalnya, ekspresi wajah Sabda tampak tak mengenakan."Ke
Setelah pembicaraan mereka kemarin, sifat Cinta kembali dingin. Sabda sangat menyesali perbuatannya karena telah bertindak gegabah. Dirinya terlalu terburu-buru untuk mengambil keputusan, dan berakibat fatal seperti ini.Cinta kembali menjaga jarak padanya, walaupun mereka tengah jalan berdua, Cinta selalu diam seribu bahasa. Jujur saja, Sabda tidak nyaman dengan situasi seperti ini.Lebih baik mendengar kecerewetan Cinta, daripada mendapatkan tatapan Cinta yang begitu dingin."Apa kamu sudah berhasil?" tanya Ricko.Sabda menggeleng lemah, membuat Ricko menghela napas panjang."Selama Cinta tidak lepas dengan laki-laki berandalan itu, sifat Cinta tidak akan berubah," keluh Ricko.Sabda menatap Ricko cukup lama, pria itu tampak ingin berbicara hal penting, namun diurungkannya.Entah mengapa hatinya malah senang jika kekasih Cinta dekat dengan Kezia."Satu-satunya cara untuk merubah sifat Cinta lebih baik adalah denga
Semua orang yang ada di sana menatap Cinta dengan perasaan iba, mereka mengira jika Cinta sedang menangisi pria yang tergeletak itu."Mbak, yang sabar ya."Cinta melirik ibu-ibu itu dengan sengit. Sabar? Rasanya sudah lelah Cinta melakukan hal itu, dirinya kurang sabar apa lagi, kebahagiaannya telah direnggut oleh keluarga baru Ricko.Cinta tak menjawab, dia kembali menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Cinta juga bingung kenapa bisa sesedih ini. Apakah dia merasa bersalah pada Sabda? Hanya hati Cinta yang bisa merasakannya."Cinta!"Wanita itu langsung mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang tengah memanggilnya. Pasalnya, wanita itu sangat mengenali siapa pemilik suara itu. Cinta melihat Sabda tengah berdiri tak jauh dari motornya.Cinta langsung berdiri, berlari ke arah Sabda. Memukul dada pria itu dengan sedikit keras."Bodoh!" umpat Cinta.Sabda mengerutkan keningnya, tidak paham apa yang Cinta maksud."A
Wanita itu menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada dipikirannya.Rasanya ingin marah, tapi entah pada siapa yang ingin dia lampiaskan. Gara-gara melihat Farel dan Kezia tadi, emosi Cinta tak terbendung. Sampai-sampai Sabda yang diam saja pun terkena imbasnya. Cinta memarahi Sabda tanpa sebab."Sabda," gumam wanita itu.Dirinya sungguh menyesal karena telah berlaku seenaknya pada Sabda.Cinta menghela napas berat, berniat untuk mencari Sabda, meminta maaf pada pria itu, akan tetapi dering ponselnya mengurungkan niatnya. Cinta bergegas mengambil ponsel di atas meja."Halo," jawab Cinta, ketika sambungan telepon itu terhubung."Hei, Cinta! Ke mana saja kamu, kenapa tidak pernah datang ke basecamp. Kamu lupa dengan kita-kita."Cinta langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya, karena mendengar kebisingan dari ujung sana. Apalagi dengan suara Vera yang begitu memekikkan telinga."Aku s
Sedari tadi Sabda duduk selalu gelisah. Hatinya benar-benar tidak tenang karena memikirkan kejadian tadi malam. Gara-gara Cinta, membuat tidur Sabda tak nyenyak.Hari ini Sabda selalu menjauh dari Cinta, ketika Cinta memanggilnya, pria itu selalu beralasan jika dirinya tengah sibuk dengan urusannya. Sejujurnya Sabda malu, dia takut Cinta akan marah padanya karena perbuatannya tadi malam. Padahal sangat jelas bahwa Cinta yang salah, wanita itu selalu saja menggodanya."Sabda!"Sabda tersentak, pria itu menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan lambat dia menoleh ke arah belakang. Sabda melihat Cinta sedang berkacak pinggang, mata wanita itu tampak melotot."Kenapa lama sekali, katanya mau menghubungi nomor mama kamu? Kenapa harus ngumpet di sini segala," omel wanita itu.Sabda meringis pelan, buru-buru Sabda memegang ponselnya. Pria itu pura-pura tengah mencari sinyal, agar Cinta tidak curiga."Iya nih, dari tadi aku coba nelepon M
"Cinta mana?" tanya Ricko.Kezia dan Sabda terdiam. Kezia mengedikkan bahunya acuh, sementara Sabda, pria itu menundukkan kepalanya.Karena tak mendapat jawaban, Ricko melirik ke arah istrinya."Cinta mana, Ma?" tanya Ricko."Kayak nggak tau aja kelakuan Cinta gimana," jawab Lina sinis.Sabda mengepalkan tangannya ketika mendengar jawaban dari Lina. Pantas saja Cinta tidak suka dengan keluarga barunya, mereka tampak tidak menyukai Cinta."Tolong panggilkan Cinta, kita akan makan malam bersama," perintah Ricko.Kezia dan Lina diam saja, untuk sekadar berdiri saja mereka enggan."Biar aku saja," jawab Sabda.Pria itu langsung berdiri melenggang pergi begitu saja tanpa memedulikan tatapan heran dari mereka bertiga.Seandainya saja Sabda bisa membawa Cinta keluar dari rumah ini, pasti akan dia lakukan dengan senang hati. Hanya saja, apakah Cinta mau bersamanya? Dia yakin Cinta akan menolaknya."Cinta," panggil