Share

4 - Berbincang

4 - Berbincang 

Bertepatan hari ahad Afnan berjanjian bertemu Nayla di cafe untuk membicarakan hal serius. Afnan berpakaian gamis polos dengan dua warna yang berbeda, kerudung pasmina membuat dirinya terkesan elegan dan simple. Tak lupa make-up tipis di parasnya, lekas meraih tas slempang  bergegas turun untuk sarapan bersama Arga.

"Pagi Mas," sapa Afnan lalu meraih piring untuk diisi nasi, lauk dan sayur lalu diberikan ke suaminya, tak lupa menyendok untuk dirinya sendiri.

"Pagi juga sayang," balas Arga.

 "Kamu mau ke mana, rapi sekali." Arga menyuapi Afnan yang hendak menyahut.

Setelah menghabiskan makanan di mulutnya. "Aku mau bertemu sahabat kecilku, bolehkan," mohon Afnan dengan puppy eyes karena lupa memberitahu suaminya. 

Arga mengerutkan keningnya lalu menyeringai. "Tidak boleh, kecualiiii," ucap Arga membuat Afnan mengigit bibir bawahnya.

 "Kamu melayani aku di sana." Tunjuk Arga mengarah ke kamar. 

Afnan melirik jam tangan yang menunjuk pukul enam pagi, mereka berjanjian jam delapan masih ada waktu untuk melayani Arga tetapi ia malu. "Apa gak ada yang lain," tawar Afnan sambil memilin jarinya.

"Tidak! ayo cepat habiskan sarapanmu lalu layani aku," perintah Arga lalu melahap makanannya, Afnan tertunduk pasrah lekas menghabiskan sarapan.

Selesai sarapan Arga langsung mendekati Afnan yang baru saja menyusun piring kotor untuk di cuci, tetapi tangannya dicekal Arga membuat menoleh.  Pria itu menarik Afnan dan menggendong ala  bride style membawanya ke ranjang, Meletakan Afnan dengan hati-hati di kasur lalu segera melucutkan bajunya. Terlihat perut sixpack yang mengiurkan, Afnan lekas memalingkan wajah saat semburan merah merambat ke dua belah pipi mulusnya.

Arga merangkak mendekati Afnan dan meraih dagu sang istri untuk menatapnya. Netra hitam nan pekat itu menumbruk bola mata cokelat terang yang membuat hatinya selalu sejuk. Tatapan meneduhkan milik Afnan, bersitatap cukup lama dengan Arga. Lelaki itu menyeringai semakin merapatkan tubuhnya, lalu berbisik di cuping Afnan.

"Wah sepertinya akan ada ronde." Afnan tersadar lalu mendorong Arga agar menjauh, lekas menyuruh sang suami agar tengkurep, segera ia menaiki dan memijit sampai Arga tertidur pulas.

Afnan melirik jam dinding yang menuju angka tujuh, segera meraih tas tak lupa mengecup pipi Arga lalu segera berjalan keluar untuk menemui Nayla.

***

Nayla memainkan ponsel-nya sambil kaki mengetuk marmer cafe yang ia tempati saat ini, melirik jam sudah menuju angka delapan pagi, tetapi sahabatnya itu belum datang, menghela napas pelan lalu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.

"Tak biasanya Afnan datang terlambat," gerutu Nayla jenuh sudah empat puluh menit ia berada disana.

Afnan turun dari mobil dan menyuruh Mang Tatang untuk pulang, cepat melangkah ke cafe dan mencari meja pesanannya setelah ketemu. Ia mendekat lalu mendaratkan bokong dikursi. Tatapan kesal ditunjukan Nayla saat netra mereka bertemu.

"Assalamualaikum. Maaaf, telat," ucap Afnan menaruh tasnya di meja.

"Walaikumsalam, gak papa walau kesel sedikit sih," sahut Nayla melipatkan kedua tangannya di dada.

"Maaf, ada sedikit  problem tadi," ucap Afnan lalu segera memesan makanan.

"Apa yang ingin kamu bicarakan? Sepertinya serius, mengajakku ketemu biasanya kalau tidak serius hanya lewat ponsel," celetuk Nayla penasaran.

"Kita makan dulu aja, baru bahas itu," sahut Afnan mengambil minuman bekas Nayla.

"Itu bekasku," cegah Nayla hendak merebut gelasnya tetapi sudah disedot Afnan.

Afnan melirik lalu tersenyum menaruh gelas itu kembali ke meja. "Tak apa, aku masih sama seperti dulu kok," tuturnya, Nayla tersenyum mendengar pengakuan sahabatnya.

"Semoga kamu tak'kan pernah berubah," ucap Nayla memegang tangan Afnan menyalurkan kasih sayang lewat tatapan abu-abu miliknya.

Afnan membalas perkataan Nayla dengan senyuman, setelah makanan datang mereka makan sambil tertawa karena lelucon yang dilontarkan Nayla. Memang Nayla orang humoris membuat Afnan yang sedih akan tertawa terbahak-bahak, sehabis makan suasana mulai tegang, Afnan berdehem menetrakan jantung yang bertalu yang kencang.

"Tegang banget sih, emang mau ngomong apa?" tanya Nayla sambil menyeruput minumannya.

"Mau gak jadi adikku," ucap Afnan tanpa basa - basi lagi.

Nayla mengeryitkan alisnya bingung. " Kitakan memang menganggap satu sama lain saudari Afnan," cecar Nayla mencubit pipi Afnan gemas.

Afnan menggeleng. "Maksudku bukan ituuuu," ujar Afnan pelan.

"Tapi jadi adik maduku." Perkataan Afnan membuat Nayla membulatkan matanya tak percaya.

"Kalau ngomong jangan ngawur deh," sergah Nayla menatap tajam Afnan yang berkata sembarang menurutnya.

"Aku gak ngawur Nayla, aku bener-bener pengen kamu jadi adik maduku," ucap Afnan kukuh membalas tatapan Nayla.

Nayla menghela napas lalu memijat keningnya yang pusing oleh permintaan Afnan.

"Apa yang membuat kamu mencari madu, dan menginginkan aku jadi adikmu?" tanya Nayla.

Afnan tersenyum walau hatinya sakit saat meminta Nayla jadi madunya. "Aku ingin mempunyai bayi dari benih suamiku. Kenapa aku memilihmu jadi adikku, karena aku udah kenal lama banget, aku percaya sama kamu kalau kita akan rukun menjadi adik, kakak."

Nayla melirik Afnan sebal. 

"Aku sudah tidak perawan lagi Afnan, mahkotaku direngkut paksa oleh mantan kekasihku," ucap Nayla parau sambil menundukkan kepalanya menatap kaki.

Afnan membulatkan matanya terkejut, lalu lekas bangkit mendekati Nayla yang menunduk saat melihat riak wajah yang mendung. "Tak apa, pasti suamiku akan menerima kekuranganmu," terang Afnan mengelus rambut Nayla dengan sayang.

Nayla mendongak lalu memeluk Afnan. "Terimakasih, kukira tak'kan ada lelaki yang meminangku karena sudah tak perawan lagi," ucapnya serak untuk cafe sedang sepi jadi mereka leluasa.

"Jadi kamu menerima permintaanku jadi madu?" tanya Afnan hati-hati mengelus punggung Nayla.

Nayla mengangguk tak lupa mengembangkan senyumannya.

"Allhamdulillah," ucap Afnan bersyukur.

 "Nanti aku ajak menemui suamiku, ya."

Nayla mengangguk lalu memegang tangan Afnan. "Terimakasih, kamu adalah penyelamatku."

Afnan mengangguk lalu mengacak-acak rambut Nayla yang tergerai, mereka tertawa dan bercanda layaknya saudari. Tak lama kemudian dering ponsel Afnan berbunyi, membuat Afnan segera mengangkat panggilan saat melihat siapa meneleponnya.

"Kamu di mana?

"Aku di cafe."

"Cafe mana, aku mau menjemputmu. Ada acara penting dan kamu harus ikut,"

"Cafe Naz, aku tunggu sambil mengenalkanmu pada seseorang,"

"Oke, love you sayang,"

"Love you too."

Afnan menunduk malu saat mengucapkan kata-kata terakhir, Nayla senyum-senyum mendengar penbicaraan pasangan suami istri itu, apakah dirinya bisa bersama membangun mahligai rumah tangga sebagai istri kedua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status