Malam itu Haniyah tidak bisa tidur dengan nyenyak. Berulang kali memejamkan mata tapi dia tidak kunjung bisa tidur. Kalimat Aryo dan Elkan bergantian bermain di kepalanya, membuatnya merasa seperti dipermaikan keadaan.
Esok harinya. Seperti biasa, Haniyah membersihkan rumah besar keluarga Wiryawan sejak subuh hari sebelum berangkat ke kampus. Meskipun dia adalah putri kandung di rumah itu, namun dia tidak diperlakukan selayaknya putri, dia lebih diperlakukan sebagai pembantu. Seandainya bisa kabur, dia akan dengan senang hati meninggalkan rumah yang semakin lama semakin terasa seperti neraka itu. Hampir tiap hari dia akan mendengar ucapan kasar untuknya dan ibunya, dan tidak jarang juga dia akan merasakan tamparan atau pukulan di salah satu anggota tubuhnya ketika dia melanggar aturan yang dibuat ibu tiri dan omnya. Kalaulah tidak terikat dengan surat wasiat kakek dan ayahnya, dia akan memilih hidup di jalan dibanding menjadi upik abu di istananya sendiri. “Keluar Han, itu ada Elkan dan keluarganya di depan mau ketemu kamu.” Haniyah mengerjap saat mendengar Calista menyuruhnya keluar dari dapur. “Ganti pakaian dulu yang rapi, baju kamu dekil dan bau keringat begitu, iuuuuh.” Haniyah tersenyum kecut mendengar ejekan Calista. Jelas saja dekil dan bau keringat, sejak habis subuh dia sudah berkutat dengan sapu dan pel untuk membersihkan seisi rumah. Tidak ingin ribut, Haniyah lekas masuk ke kamar ibunya, membersihkan diri seadanya dan lekas berganti pakaian. Ibunya sudah tidak ada di kamar, hanya ada dua kemungkinan, dia sedang ikut menemui tamu atau malah ada di pekarangan depan sedang menyiram tanaman. Haniyah melangkah keluar dan melihat Elkan duduk diapit oleh seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan berhijab yang sejujurnya tidak asing dimatanya. “Loh, Mbak Raisa kok disini?” Haniya mendekat dan bersalaman dengan Raisa, lalu oleh Raisa Haniyah dipeluk singkat dan diajak duduk bersama. Matanya melirik ke arah Elkan yang hanya duduk sambil menahan senyum.‘Dia kenal dengan Mbak Raisa? Jangan bilang kalau Raisa adalah keluarganya?’ bisik hati Haniyah. Haniya duduk di samping ibunya yang sudah lebih dulu hadir di ruang tamu itu. Raisa kemudian membuka suara memperkenalkan diri dan juga suaminya yang datang bersama dengan Elkan. Mereka adalah kakak dan kakak ipar Elkan. Haniyah membolakan matanya setengah tidak percaya kalau Elkan dan Raisa ada hubungan keluarga. “Jadi kedatangan kami kemari untuk meluruskan sesuatu yang sudah terlanjur kusut di awal karena kesalahan suami saya.” Raisa menekan kalimat itu membuat suaminya hanya bisa memasang wajah masam. “Saya sedang mencari jodoh terbaik untuk adik ipar saya ini.” Raisa menepuk pundak Elkan. “Saya meminta suami dan adik ipar saya datang kemari untuk melamar putri keluarga ini. Salahnya, saya tidak tahu kalau di keluarga ini ternyata ada dua orang putri, hingga terjadi kesalahpahaman.” Haniyah mengernyitkan keningnya, pun dengan yang lain juga sama. “Saya bersyukur karena Calista menolak lamaran kemarin, karena harusnya Suami saya melamar Haniyah untuk Elkan, bukan Calista.” Deg. Haniyah kaget. “Kami datang kemari untuk mengurai kesalahpahaman ini, saya mau meminta kamu untuk menikah dengan Elkan, Haniyah.” Kali ini Haniyah menatap Elkan yang mengulum senyum tipis hampir tak terlihat. Tatapannya lalu beralih pada Calista yang memandangnya sinis, pun begitu dengan Elvina dan Danu. “Saya harap kamu bersedia.” Haniyah tidak lekas menjawab, dia melihat ke arah ibunya yang diam tanpa kata, lalu beralih melihat ke arah Elkan yang juga diam. “Saya boleh bicara dulu dengan Elkan gak?” Raisa mengizinkan, keduanya bangun dari duduk mereka dan melangkah ke teras depan. Sampai di depan Haniyah meminta Elkan menjelaskan apa yang terjadi. Dan penjelasan Elkan tidak jauh berbeda dari penjelasan Raisa sebelumnya. “Maksudnya, kemarin keluarga kamu datang ke rumah ini mau melamarku tapi malah melamar Calista?” Elkan mengangguk pelan. “Menurutmu aku bisa percaya begitu saja dengan cerita itu?” Elkan menggendikkan bahunya membuat Haniyah mencebik. “Gak masuk akal tahu gak Kan, masa iya datang melamar anak orang tapi bisa salah orang?” Lagi, Elkan kembali menggendikkan bahunya membuat Haniya makin kesal dan tak percaya. “Silahkan kalau kamu gak percaya, tapi memang itu kenyataannya Haniyah. Perempuan yang dipilih Mbak Raisa itu kamu, bukan Calista.” Haniyah menggeleng. “Atas dasar apa?” “Karena menurut Mbak Raisa kamu perempuan yang baik. Mbak Raisa bilang kamu pernah menyelamatkan Rumi, anaknya. Kalau waktu itu kamu gak ada mungkin Rumi sudah ketabrak mobil yang lewat.” “Iya betul, tapi itu bukan alasan untuk melamar aku kan?” Elkan kembali menggendikkan bahunya. “Kamu sudah tahu alasanku kemarin kenapa ingin menikah secepatnya, lalu kamu juga tahu kalau perempuan yang dipilih keluargaku memang kamu. Sekarang, pilihan dan keputusannya ada padamu.” Haniya berpikir sejenak, dia tidak ingin salah langkah. Saat menerima lamaran Aryo kemarin dia tidak berpikir panjang hingga akhirnya kecewa. Sekarang, saat Elkan dan keluarganya ada di hadapannya, dia mulai dilanda gelombang ragu yang besar. “Kamu ragu sama aku?” Haniya mengangguk pelan. “Kamu takut aku memanfaatkan kamu?” sekali lagi Haniya mengangguk. “Kamu bisa kasi syarat apapun yang bisa mengikatku untuk tidak melakukan hal yang kamu takutkan.” Haniyah kembali berpikir. “Kamu sangat ingin menikah dan keluar dari rumah kakakmu?” Elkan mengangguk. “Sejak kecil aku hidup dengan Nenek, tiga tahun lalu Nenek meninggal dan aku diminta pindah ke Jakarta. Aku tinggal berpindah dari rumah Mas Satriya ke rumah Kak Arifin, lalu kembali ke rumah Mas Satriya. Di dua rumah itu aku diperlakukan sangat baik, tapi aku kurang nyaman. Aku mau tinggal di rumah sendiri, tapi mereka tidak mengizinkan kecuali aku sudah menikah.” “Kamu tinggal disana saja bisa nggak nyaman, gimana kalau kamu tinggal di neraka seperti aku.” Lirih Haniyah. “Ya?” Haniyah menggeleng cepat. “Gak kok gak kenapa-napa.” ucap Haniyah cepat. Keduanya lalu bersitatap dalam diam. Haniya sedang ribut dengan isi kepalanya sendiri, dia tidak tahu harus menanggapi apa pada situasi ini. “Apa yang memberatkanmu sebenarnya?” Tanya Elkan. “Kamu benar-benar takut aku permainkan? Atau sebenarnya kamu takut jatuh miskin karena menikah dengan orang biasa?” Kesal sekali Haniyah mendengar kalimat itu. “Kamu pikir aku hidup jadi putri raja dalam rumah ini?” Ketus Haniyah. “Rumah ini terlihat seperti istana untuk orang lain, tapi untukku dan Ibu rumah ini adalah neraka.” Lanjut Haniyah. “Kalau begitu, terima lamaranku dan kalian bisa hidup denganku.” Potong Elkan. “Aku tidak akan memanfaatkan kalian untuk kepentingan pribadiku. Aku masih punya Tuhan, aku tidak akan mempermainkan sebuah ikatan pernikahan.” Haniyah menatap Elkan lekat mencoba mencari jujur lewat matanya.‘Apa aku bisa mempercayaimu Kan?’Tring!Suara lonceng kecil di atas pintu menyambut kedatangan mereka. Aroma kopi yang lembut bercampur wangi kue kayu manis segera menyapa, membuat Haniyah menarik napas pelan dari balik maskernya. Untungnya, aroma di sini tidak menusuk, justru terasa menenangkan.“Ada yang beda gak sih sama cafe ini?” tanya Kamila sambil melepas totebag dari bahunya dan memencarkan pandangannya.Haniyah ikut menyapu ruangan yang dipenuhi meja kayu bulat dan sofa empuk warna krem. Di sudut, ada rak buku kecil dan vas berisi bunga segar—detail sederhana yang selalu membuat tempat ini terasa akrab.“Sepertinya memang ada perubahan, di situ biasanya ada butik bukan toko buku mini,” jawab Haniyah.Mereka memilih duduk di dekat jendela besar yang menghadap jalan. Sinar sore menyusup masuk, membuat suasana hangat. Seorang pelayan datang dengan senyum ramah, menyerahkan menu.“Satu Cokelat panas, satu capuccion,” kata Haniyah sambil tersenyum pada pelayan yang sepertinya baru, karena dia tidak merasa mengena
Elkan menerima kedatangan istri dan sahabatnya dan membiarkannya masuk ke ruangan dengan dua tas plastik di tangannya. Sementara Fathur berdiri mematung di mejanya karena dilarang mendekat oleh Elkan.“Mas Fathur sini gabung,” ajak Haniyah saat belum menyadari suaminya sedang kesal pada Fathur.“Saya lagi ada kerjaan Mbak,” jawab Fathur sedikit tidak enak melihat ekspresi Elkan yang langsung mendelik padanya.Haniyah berdiri dan tanpa disangka-sangka dia malah menarik lengan kemeja Fathur yang membuat pria itu mau tidak mau ikut ke arah Haniyah berjalan, dan itu membuat Elkan melirik mereka makin kesal. Kamila menyadari itu dan malah tertawa.“Haniiii, pak suami cemburu tuh kamu tarik-tarik Mas Fathur,” ledek Kamila.
Elkan duduk terpaku di depan layar, mencoba fokus pada laporan yang diberikan tiap divisi padanya sejak pagi tadi, tapi sampai menjelang siang begini satupun belum rampung dia cek. Fathur sampai bingung sendiri karena atasannya hari ini nampak tidak berselera mengerjakan apapun. Seolah, pikirannya sedang tidak di tempat. Apakah ada masalah lagi? Apa dia masih memikirkan kelanjutan kasus Carol dan ayahnya atau ada masalah lain yang perlu dia tahu.“Pak,” panggil Fathur pelan.Elkan mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Elkan. “Ya?”“Pak Elkan sehat?”Elkan mengerutkan keningnya. “Sehat, kenapa? Apa aku kelihatan sedang sakit?” tanyanya pelan.Fathur menggeleng. “Bukan Pak, tapi kayak orang lagi gak berselera, apa ada masalah? Mungkin bisa saya bantu?” tawar Fathur.Elkan meletakkan pulpennya, ia menatap Fathur dengan sebelah alis terangkat dan dua sudut bibir tertarik. “Ada,” ucapnya singkat sambil mengeluarkan dompetnya, dia mengambil selembar uang seratus ribu dari dompetnya dan m
Beberapa hari berlalu, usia kandungan Haniyah sudah menginjak tujuh pekan. Pagi ini, tidak seperti biasanya Haniyah merasa penciumannya jauh lebih sensitif dibanding hari lainnya. Ia baru saja menyelesaikan shalat subuh ketika aroma samar parfum Elkan yang tertinggal di bantal menyusup ke hidungnya. Seketika, perutnya terasa bergejolak, bukan mual hebat, tapi cukup membuatnya harus duduk diam sejenak sambil memejamkan mata."Nyengat banget sih," gumamnya pelan.Mual di perutnya tidak membuatnya sampai muntah, tapi penciumannya menjadi sangat sensitif. Aroma makanan yang dulu disukainya, kini kadang membuatnya ingin menjauh. Namun yang paling tak tertahankan baginya adalah bau-bauan tajam, terutama parfum, detergen, dan pengharum ruangan.Saat Elkan masuk ke kamar dengan aroma cologne yang khas, Haniyah buru-buru menutupi hidung dengan selimut."STOP!” teriaknya sambil menaikkan lima jari kanannya.Langkah Elkan sontak terhenti,
Tawa belum benar-benar reda dari meja makan saat bunyi bel depan terdengar, nyaring namun singkat. Haniyah menoleh pelan, sedikit bingung karena merasa tidak ada janji dengan siapapun hari ini. Elkan refleks berdiri, ia berjalan menjauh dari ruang makan menuju pintu depan untuk memastikan siapa yang datang di tengah acara makan siang keluarga itu.Saat membuka pintu utama, ia melihat wajah Kamila yang nampak diliputi rasa cemas. Matanya menyapu ruangan dan tanpa berkata apapun ia bergerak cepat menerobos masuk ker rumah Elkan hingga membuat Elkan kaget bukan kepalang.“Hey Mil, kamu kenapa?” teriaknya dari belakang dan membuat Kamila berhenti berjalan cepat.“Haniyah mana? Kondisinya baik-baik saja kan? Aku baru tahu kalau dia kecelakaan pulang dari rumah kemarin. Dia baik-baik saja kan? Gak kenapa-napa kan?” Kamila bertanya sambil mengatur nafasnya yang masih naik turun tan teratur.“Haniyah baik-baik saja, dia di ruang makan. Kami seda
Arifin tidak bisa menjawab pertanyaan Mega. Dia tidak punya pilihan kata yang tepat untuk menenangkan hati Mega saat itu. Maka ia memilih untuk memeluk istrinya tanpa kata, hanya sebuah pelukan hangat ditambah usapan lembut di punggung wanita itu.“Apa kamu akan meninggalkanku setelah ini?” tanya Mega tiba-tiba.Arifin melerai pelukannya dan menatap netra istrinya. “Kenapa bilang begitu?” tanyanya.“Karena aku gak bisa memberikanmu seorang anak,” balas Mega.Arifin menyeka air mata di pipi Mega. “Aku gak akan meninggalkanmu hanya karena itu sayang, gak masalah untukku kalau kita tidak punya anak. Anak adalah rejeki dari Allah, tentang pada siapa ia akan dititipkan, itu adalah pilihan Allah. Kalau memang Allah belum memberikannya pada kita, maka kita hanya bisa bersabar dan terus berusaha.”Kalimat lembut itu tidak membuat hati Mega lega, air matanya kembali mengalir. “Apa kamu akan mencari ibu pengganti? Wanita yang akan menjadi