“Kalau aku menerima lamaranmu, kita akan menikah tanpa cinta Elkan.” Keduanya saling tatap untuk beberapa lama. “Entah suatu saat nanti akan ada cinta diantara kita atau malah salah satu dari kita akan menaruh hati pada orang lain.” Elkan mendekati Haniyah.
Keduanya saling bersitatap, saling mencari jawaban dari mata lawan bicara mereka. Saling mencari ragu dari sudut pandang masing-masing. “Aku tidak berniat mempermainkan pernikahan Haniyah.” Elkan mengucapkan kalimat itu dengan pandangan serius menatap Haniyah, hingga akhirnya Haniyah memutus kontak mata mereka dan menghela nafasnya berat. “Ayo masuk.” Ajaknya. “Kamu sudah punya jawabannya?” Haniyah mengangguk. “Apa?” Elkan nampak penasaran. “Nanti di dalam aku jawab.” “Di sini dulu kenapa sih? Biar aku bisa siapkan diri untuk merespon jawaban kamu nanti.” Haniyah yang tadinya sudah berjalan ke arah pintu memutar badannya melihat Elkan sambil menyipitkan pandangannya. “Kamu berharap aku jawab apa?” tanyanya kemudian. “Diterima.” Jawab Elkan singkat membuat Haniyah mengangkat kepalanya sedikit. “Ya sudah siapin ekspresi senang, bahagia dan kalimat hamdalah saja nanti buat merespon jawabanku di dalam.” Haniyah melanjutkan langkahnya masuk ke ruang tamu meninggalkan Elkan yang terdiam sambil mencerna ucapan Haniyah. Setelah beberapa saat akhirnya dia tersenyum dan mengucap hamdalah dalam hati saat menyadari Haniyah menerima lamarannya. * Raisa bangun dan menghampiri Haniyah yang kembali masuk ke dalam disusul Elkan di belakangnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Haniyah melihat harapan di mata ibunya. Apakah ibunya pun menginginkan Haniyah menerima lamaran ini? “Bagaimana Haniyah? Kamu sudah punya jawabannya?” Haniyah mengangguk sambil menatap ibunya. “Jadi apa jawabanmu?” Haniyah masih menatap ibunya, yang seolah memberi jawaban dengan anggukan pelan. “Insyaa Allah saya terima lamaran ini Mbak.” Raisa mengusap lembut punggung Haniyah. “Alhamdulillah, saya bahagia banget dengernya Han.” Raisa memeluk Haniya tanpa sungkan saking bahagianya. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat sudut mata ibunya berair, ‘semoga itu airmata bahagia,’ ucap Haniyah dalam hatinya. Elkan mengeluarkan sebuah kotak cincin dari dalam sakunya, menyerahkannya pada Raisa yang segera diraihnya. Haniyah melihat kotak bludru berwarna merah itu lalu mengalihkan pandangannya pada Elkan yang juga menatapnya dalam diam. “Bu Humairah, Pak Danu dan Bu Elvina. Izinkan saya mengikat Haniyah dengan cincin ini sebagai bukti bahwa kami melamar Haniyah untuk Elkan dan lamaran kami telah diterima dengan baik oleh keluarga ini.” Tidak ada yang menjawab, setiap mereka hanya saling tatap. Danu melihat hal berbeda dari kehadiran keluarga Elkan kali ini, tidak sama dengan kedatangan mereka sebelumnya yang terkesan buru-buru dalam melamar, tidak ada keseriusan dan sekedar melamar. Kali ini justru mereka datang dengan persiapan yang cukup bahkan sampai membawa cincin segala. Humairah memberanikan diri untuk bicara pada akhirnya. “Haniyah sudah menerima lamaran Elkan, cincin itu akan menjadi pengikat yang sah untuk lamaran ini. Semoga dengan adanya ikatan resmi itu, hubungan mereka bisa dilancarkan sampai hari H tanpa ada hambatan.” Raisa mengaminkan ucapan Humairah. Lekas ia buka kotak bludru itu dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalamnya. Cincin emas dengan sebuah permata kecil di tengahnya, dengan hati-hati Raisa menyematkan cincin itu ke jari manis Haniya, lalu setelah itu keduanya berbagi pelukan. Apakah Calista iri melihat itu? Sedikit. Caslita menyungging senyum kesal melihat Haniyah dan Elkan. Bagaimana tidak, sehari sebelumnya saat ditawarkan bertukar pasangan keduanya menolak. Tapi hari ini justru keduanya malah pamer kemesraan dengan sebuah ikatan sederhana. Tapi meski begitu, dia tidak akan berlarut dalam rasa iri pada acara lamaran sederhana macam ini. Di kepalanya ada banyak rencana besar untuk acara pertunangannya dengan Aryo yang sudah sempat dia sampaikan pula pada ibu dan omnya. * Beberapa pekan kemudian. Acara lamaran dan pertunangan Aryo dan Calista dilangsungkan dengan meriah di salah satu ballroom hotel bintang lima di Jakarta, sangat berbeda dengan acara Haniyah dan Elkan. Haniyah ikut hadir dalam acara itu, tentu bukan sebagai tamu tapi lebih seperti salah satu pegawai catering yang membantu berjalannya acara hari itu. Terlihat dari seragam yang dikenakannya yang senada dengan petugas catering. Haniya terima saja, tidak apa, toh memang seperti inilah sehari-hari yang dia lakukan di rumah. Elkan dan keluarganya turut diundang, karena itu Haniya harus benar-benar pasang mata dan waspada, jangan sampai Elkan atau keluarganya melihatnya dalam balutan seragam pegawai catering. Dia harus bisa menghindar bila berpapasan. Dengan netranya Haniya bisa melihat banyak tamu penting yang hadir dalam acara ini, tidak hanya dari kalangan keluarga besar dan teman dekat keduanya, tapi juga dari beberapa tamu penting dari pejabat daerah. Calista dan Mommynya pasti bersyukur sekali karena Aryo ternyata lebih tertarik pada Calista dibanding Haniyah. Aryo cukup terkenal di kalangan pengusaha muda Indonesia. Kenyataan itu membuat Calista dan keluarganya sungguh merasa bangga, membayangkan keluarga Wiryawan dan Sudarsono akan bersatu, pasti akan membuat nama mereka jadi lebih dikenal di dunia bisnis. Membayangkan Calista akan masuk dalam circle keluarga Sudarsono membuat Elvina dan Danu merasa berada di atas angin saat itu. Haniyah tahu itu. Tapi sayangnya sehari setelah acara pertunangan mereka, banyak komentar masuk dalam postingan Calista yang mengatakan kalau Aryo adalah laki-laki redflag yang tidak pernah benar-benar mencintai pasangannya. Dia adalah laki-laki yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dari perempuan yang ditaksirnya. Beberapa komentar mengingatkan Calista untuk lebih waspada pada Aryo. Beberapa lagi mengingatkan untuk lebih berhati-hati dan lebih baik memutuskan hubungan dengan Aryo sebelum terlambat. Bahkan Elvina dan Danu akhirnya mulai ragu dengan pertunangan Calista dan Aryo. keduanya sempat meminta Calista untuk membatalkan pertunangannya, namun Calista abai. “Duh Mom, Om, omongan orang di dunia maya itu jangan terlalu didengar lah. Om lihat sendiri kan Aryo itu ganteng, pengusaha, calon CEO, pasti banyak yang naksir dia. Bisa aja kan yang komen negatif di postingan aku itu karena mereka iri dan ingin merebut Aryo.” Elvina sedikit membenarkan omongan Calista. “So please! Jangan terlalu terpengaruh dengan komentar di sosmed. Kalau perlu matiin saja kolom komentar dan gak usah buka sosmed dulu untuk sementara. Nanti juga bakal hilang sendiri itu gosip-gosip murahan.” Danu mengangguk membenarkan. “Iya juga sih. Tapi apa kamu yakin dia memang baik?” tanya Elvina masih agak ragu. “Oh come on Mom, ya kali aku milih laki-laki buruk untuk masa depanku. Aku sengaja loh menolak Elkan yang bukan siapa-siapa itu demi mendapatkan Aryo yang dari segi manapun jauh lebih baik dari Elkan.” Elvina kembali membenarkan dalam hatinya. “Lagipula siapa kemarin yang sangat antusias menerima lamaran dari Aryo? Kan Mom dan Om yang sangat antusias. Kehadiran dia dalam keluarga kita akan memberi nilai untuk keluarga kita dan perusahaan keluarga kita. Benar kan?” kali ini Danu kembali mengangguk membenarkan. “Jadi jangan minta aku membatalkan pertunangan ini, ini sudah yang terbaik untuk kita semua. Ok Mom, Om!” Elvina dan Danu pada akhirnya setuju dengan pendapat Calista. Sementara Haniyah yang mendengar obrolan mereka dari balik pintu hanya bisa diam. Dia tidak terlalu memikirkan tentang Aryo dan Calista, itu urusan mereka. Tapi ada satu hal yang membuatnya sedikit berpikir. Saat acara malam itu, Haniyah beberapa kali melihat keluarga Elkan berbaur dengan beberapa pejabat, mereka bahkan memperkenalkan Elkan pada banyak orang penting. Apa benar Elkan hanya orang biasa? “Siapa dia sebenarnya?” *Tring!Suara lonceng kecil di atas pintu menyambut kedatangan mereka. Aroma kopi yang lembut bercampur wangi kue kayu manis segera menyapa, membuat Haniyah menarik napas pelan dari balik maskernya. Untungnya, aroma di sini tidak menusuk, justru terasa menenangkan.“Ada yang beda gak sih sama cafe ini?” tanya Kamila sambil melepas totebag dari bahunya dan memencarkan pandangannya.Haniyah ikut menyapu ruangan yang dipenuhi meja kayu bulat dan sofa empuk warna krem. Di sudut, ada rak buku kecil dan vas berisi bunga segar—detail sederhana yang selalu membuat tempat ini terasa akrab.“Sepertinya memang ada perubahan, di situ biasanya ada butik bukan toko buku mini,” jawab Haniyah.Mereka memilih duduk di dekat jendela besar yang menghadap jalan. Sinar sore menyusup masuk, membuat suasana hangat. Seorang pelayan datang dengan senyum ramah, menyerahkan menu.“Satu Cokelat panas, satu capuccion,” kata Haniyah sambil tersenyum pada pelayan yang sepertinya baru, karena dia tidak merasa mengena
Elkan menerima kedatangan istri dan sahabatnya dan membiarkannya masuk ke ruangan dengan dua tas plastik di tangannya. Sementara Fathur berdiri mematung di mejanya karena dilarang mendekat oleh Elkan.“Mas Fathur sini gabung,” ajak Haniyah saat belum menyadari suaminya sedang kesal pada Fathur.“Saya lagi ada kerjaan Mbak,” jawab Fathur sedikit tidak enak melihat ekspresi Elkan yang langsung mendelik padanya.Haniyah berdiri dan tanpa disangka-sangka dia malah menarik lengan kemeja Fathur yang membuat pria itu mau tidak mau ikut ke arah Haniyah berjalan, dan itu membuat Elkan melirik mereka makin kesal. Kamila menyadari itu dan malah tertawa.“Haniiii, pak suami cemburu tuh kamu tarik-tarik Mas Fathur,” ledek Kamila.
Elkan duduk terpaku di depan layar, mencoba fokus pada laporan yang diberikan tiap divisi padanya sejak pagi tadi, tapi sampai menjelang siang begini satupun belum rampung dia cek. Fathur sampai bingung sendiri karena atasannya hari ini nampak tidak berselera mengerjakan apapun. Seolah, pikirannya sedang tidak di tempat. Apakah ada masalah lagi? Apa dia masih memikirkan kelanjutan kasus Carol dan ayahnya atau ada masalah lain yang perlu dia tahu.“Pak,” panggil Fathur pelan.Elkan mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Elkan. “Ya?”“Pak Elkan sehat?”Elkan mengerutkan keningnya. “Sehat, kenapa? Apa aku kelihatan sedang sakit?” tanyanya pelan.Fathur menggeleng. “Bukan Pak, tapi kayak orang lagi gak berselera, apa ada masalah? Mungkin bisa saya bantu?” tawar Fathur.Elkan meletakkan pulpennya, ia menatap Fathur dengan sebelah alis terangkat dan dua sudut bibir tertarik. “Ada,” ucapnya singkat sambil mengeluarkan dompetnya, dia mengambil selembar uang seratus ribu dari dompetnya dan m
Beberapa hari berlalu, usia kandungan Haniyah sudah menginjak tujuh pekan. Pagi ini, tidak seperti biasanya Haniyah merasa penciumannya jauh lebih sensitif dibanding hari lainnya. Ia baru saja menyelesaikan shalat subuh ketika aroma samar parfum Elkan yang tertinggal di bantal menyusup ke hidungnya. Seketika, perutnya terasa bergejolak, bukan mual hebat, tapi cukup membuatnya harus duduk diam sejenak sambil memejamkan mata."Nyengat banget sih," gumamnya pelan.Mual di perutnya tidak membuatnya sampai muntah, tapi penciumannya menjadi sangat sensitif. Aroma makanan yang dulu disukainya, kini kadang membuatnya ingin menjauh. Namun yang paling tak tertahankan baginya adalah bau-bauan tajam, terutama parfum, detergen, dan pengharum ruangan.Saat Elkan masuk ke kamar dengan aroma cologne yang khas, Haniyah buru-buru menutupi hidung dengan selimut."STOP!” teriaknya sambil menaikkan lima jari kanannya.Langkah Elkan sontak terhenti,
Tawa belum benar-benar reda dari meja makan saat bunyi bel depan terdengar, nyaring namun singkat. Haniyah menoleh pelan, sedikit bingung karena merasa tidak ada janji dengan siapapun hari ini. Elkan refleks berdiri, ia berjalan menjauh dari ruang makan menuju pintu depan untuk memastikan siapa yang datang di tengah acara makan siang keluarga itu.Saat membuka pintu utama, ia melihat wajah Kamila yang nampak diliputi rasa cemas. Matanya menyapu ruangan dan tanpa berkata apapun ia bergerak cepat menerobos masuk ker rumah Elkan hingga membuat Elkan kaget bukan kepalang.“Hey Mil, kamu kenapa?” teriaknya dari belakang dan membuat Kamila berhenti berjalan cepat.“Haniyah mana? Kondisinya baik-baik saja kan? Aku baru tahu kalau dia kecelakaan pulang dari rumah kemarin. Dia baik-baik saja kan? Gak kenapa-napa kan?” Kamila bertanya sambil mengatur nafasnya yang masih naik turun tan teratur.“Haniyah baik-baik saja, dia di ruang makan. Kami seda
Arifin tidak bisa menjawab pertanyaan Mega. Dia tidak punya pilihan kata yang tepat untuk menenangkan hati Mega saat itu. Maka ia memilih untuk memeluk istrinya tanpa kata, hanya sebuah pelukan hangat ditambah usapan lembut di punggung wanita itu.“Apa kamu akan meninggalkanku setelah ini?” tanya Mega tiba-tiba.Arifin melerai pelukannya dan menatap netra istrinya. “Kenapa bilang begitu?” tanyanya.“Karena aku gak bisa memberikanmu seorang anak,” balas Mega.Arifin menyeka air mata di pipi Mega. “Aku gak akan meninggalkanmu hanya karena itu sayang, gak masalah untukku kalau kita tidak punya anak. Anak adalah rejeki dari Allah, tentang pada siapa ia akan dititipkan, itu adalah pilihan Allah. Kalau memang Allah belum memberikannya pada kita, maka kita hanya bisa bersabar dan terus berusaha.”Kalimat lembut itu tidak membuat hati Mega lega, air matanya kembali mengalir. “Apa kamu akan mencari ibu pengganti? Wanita yang akan menjadi