Share

Bukti

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2025-02-07 10:03:46

"Apapun akan aku lakukan asal kamu enggak ninggalin aku, Shan!" Angga membanting pintu mobilnya dengan keras, kemudian melangkah memasuki rumah.

"Assalamualaikum! Shan! Shania! Kamu dimana, Shan?"

Berkali-kali Angga memanggil Shania, tetapi sama sekali tidak ada jawaban. Angga takut sekali Shania pergi dari rumah, meski mobilnya ada di halaman.

"Astaga, kamu dimana, Shan?" Angga pun mencari di seluruh penjuru rumah. Sampai akhirnya, ia menemukan istri dan ibunya sedang berada di teras belakang.

Angga menghela napas lega.

"Bu." Angga langsung mendekat dan mencium tangan ibunya.

"Loh, kamu enggak jadi keluar kota, Ga?" tanya Bu Rani yang sedang disuapi bubur menantunya.

Angga menggeleng. "Enggak, Bu."

Angga kemudian menoleh ke arah Shania. Menatap lembut wanita yang tengah mengandung buah hatinya. "Kita bicara dulu, yuk, Shan."

"Aku sedang nyuapi ibu," tolak Shania tanpa menatap suaminya. Dadanya teramat sesak mengingat kebohongan Angga.

Tanpa bertanya, Bu Rani tahu kalau anak dan menantunya sedang ada masalah. Wanita yang sudah lima tahun menderita struk itu pun berkata, "Bicaralah dulu dengan Angga, Shan. Ibu sudah kenyang, kok."

"Tapi ini belum habis, Bu."

"Udah, ibu udah kenyang. Antar ibu ke kamar aja."

Bergegas Angga meraih pegangan kursi roda sang ibu dan mengantarnya ke kamar.

"Bicarakan baik-baik masalah kalian. Shania sedang hamil, jangan buat dia banyak pikiran," pesan Bu Rani saat sudah berbaring di ranjangnya.

"Iya, Bu," sahut Angga sembari menarik selimut untuk menutupi separuh tubuh ibunya. "Angga keluar dulu, Bu."

Bu Rani mengangguk.

Angga keluar dari kamar dan menutup pintunya. Kemudian pandangannya tertuju pada Shania yang sedang mencuci piring. Bergegas Angga menghampiri istrinya itu. Dipeluknya tubuh mungil Shania dari belakang.

"Lepas, Mas!" Shania meronta. Ia benar-benar sedang tidak ingin disentuh suaminya.

"Kamu salah paham, Sayang," bisik Angga di telinga Shania. Lelaki itu sama sekali tidak peduli dengan penolakan istrinya. Ia justru mengeratkan pelukannya. Sehingga tenaga Shania yang tidak seberapa itu, tidak mampu mengurainya. "Kita bicara dari kamar, ya! Aku akan jelasin semuanya."

Shania mencuci tangan. Tidak ada gunanya melawan Angga sekarang. Jadi, ia ikuti saja kemauan suaminya itu. Ia ingin dengar sejauh apa suaminya bisa mencari-cari alasan untuk menutupi kebohongannya.

"Shan, kamu itu udah salah paham," ucap Angga dengan lembut saat mereka sudah berada di kamar. Tangannya memegang jemari Shania dengan erat.

"Bagian mana?"

"Semuanya," jawab Angga sedang yakin. Tiga jam perjalanan dari rumah Indri membuat Angga telah memikirkan alasan-alasan yang paling tepat dan masuk akal untuk menutupi semuanya dari Shania.

"Tadi itu, aku cuma mampir ke rumah Gita sebelum lanjut ke Tegal. Soalnya saat weekend setelah dari luar kota, aku pasti capek dan enggak bisa ke sana. Jadi aku nemuin Gita dulu biar dia enggak kecewa. Setiap aku mau ke luar kota, emang selalu begitu. Jadi, apa yang orang itu bilang ke kamu itu sama sekali enggak benar. Aku enggak tau itu siapa dan ada masalah. Cuma yang aku enggak habis pikir, kenapa tega sekali menghasut kamu dan fitnah aku?"

Shania tidak menjawab. Meski yang Angga katakan masuk akal, tetapi Shania tidak bisa percaya begitu saja. Apalagi bukan sekali dua kali Aini menyampaikan keluhan Fajar, suaminya.

Fajar merupakan bawahan Angga di kantor. Aini bilang, Fajar selalu mengeluh. Karena lima bulan terakhir ini, ia selalu diminta Angga untuk berbohong pada Shania.

Tak hanya Fajar sebenarnya. Rekan kerja Fajar yang lain juga sama. Mereka semua diminta Angga untuk bohong pada Shania kalau Angga ada dinas di luar kota setiap awal bulan, ketika sewaktu-waktu Shania bertanya. Padahal sebenarnya Angga tidak dinas di luar kota dan masuk kerja seperti biasanya.

Karena saat ini Shania baru mengantongi keluhan Fajar, ia memilih tidak mendebat Angga. Shania perlu mendengar pengakuan rekan kerja Angga yang lainnya. Jika semua mengatakan hal yang sama dengan Fajar, maka benar jika Angga berbohong. Namun, jika ternyata apa yang mereka katakan sesuai dengan ucapan Angga, maka Shania harus lebih menggali kebenarannya.

"Kamu ragu sama aku?" tanya Angga lagi karena Shania masih tidak menjawab. "Oke, aku liatin surat tugasku dan juga jadwal kegiatanku selama di Tegal, ya. Wait."

Angga mengambil tas kerjanya di ruang tamu, kemudian mengambil iPad. Ditunjukkannya pada Shania surat tugas dari kantor yang memang sudah Angga persiapkan untuk berjaga-jaga jika hal seperti ini terjadi.

Tertera dengan jelas tanda tangan atasan Angga yang telah Angga palsukan di surat tugas itu. Lalu ada juga jadwal kegiatan yang akan ia lakukan selama di Tegal. Bahkan materi untuk presentasi saat meeting dengan jajaran manager perusahaan pun bisa Angga tunjukkan.

Tentu saja mudah bagi Angga melakukan itu, karena posisinya di kantor adalah manager. Angga juga bisa dengan mudah mengintruksi anak buahnya untuk melakukan apa yang dia mau. Jadi, semua kebohongan Angga sudah tersusun dengan rapi.

Sebagai seorang guru PAUD yang terbiasa membuat laporan apa adanya sesuai dengan peristiwa yang terjadi di lapangan, tentu Shania tidak berpikir kalau apa yang Angga tunjukkan itu adalah palsu. Namun, hati kecilnya masih tidak bisa serta merta percaya menerima bukti-bukti yang Angga tunjukkan itu. Karena rasanya tidak mungkin kalau Aini sampai berbohong. Mereka sudah kenal cukup lama bahkan sebelum Shania menikah dengan Angga.

"Baiklah, Mas. Kali ini aku menerima bukti itu," ucap Shania dalam hati. "Tapi, aku tidak akan percaya begitu saja. Karena Aini enggak mungkin bohong sama aku. Jadi, ke depan, aku akan kumpulkan bukti lain sebelum langsung mencecarmu seperti tadi. Kita tunggu saja, kamu atau Aini yang sudah berbohong kepadaku."

"Shan, kok, malah bengong?" tegur Angga karena Shania hanya diam menatap layar iPad di tangannya.

"Ah, iya, Mas." Shania memaksa bibirnya untuk tersenyum. "Maaf aku udah salah paham."

"It's okay, Shan. Aku tahu kamu pasti takut aku bakal kembali sama Indri, kan? Percayalah, Shan, saat ini, di sini ...." Angga menunjuk dadanya. "Sudah dipenuhi dengan segala hal tentang kamu. Sampai enggak ada lagi tempat untuk orang lain. Apalagi Indri yang cuma masa lalu. Believe, me! Okay, Hunny?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau shania. goblok banget sih jadi istri. baru juga nikah udah dipoligami diam2. pantasnya kamu meng cuman jadi perawat mertuamu saja. krn cuma sampai disitu kapasitas isi otakmu buat menelaah perselingkuhan suamimu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Ending

    "Segitunya kalian mencampuradukkan masalah pribadiku sama kerjaan! Sampai tanpa sepengetahuanku kalian mengacak-acak ruang kerjaku!? Kalian nemuin bukti kesalahan yang udah aku lakuin selama kerja di sini!? Mau jadiin itu alasan buat pecat aku!?" seru Angga seperti orang kesetanan.Shania tertegun mendengar itu. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. Namun, saat ini memang itu yang ia inginkan. Ia tidak ingin melihat Angga lagi.Sejurus kemudian Shania melangkah lebar mendekati Angga dan tim audit serta Andreas. Dengan kepala tegak ia berkata, "Enggak pantas kamu bicara sekasar itu pada atasanmu, Pak Angga!" "Oh, jadi kamu yang nyuruh mereka menggeledah ruanganku?" Angga menunjuk wajah Shania."Ya. Kamu mau apa?""Dasar perempuan licik!" umpatnya dengan mata penuh kebencian."Dan kamu masih mau bekerja di perusahaan perempuan yang kamu sebut licik ini?""Shit!" seru Angga. Ia terjebak dengan ucapannya se

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Keributan

    "Bisa enggak aku cuma pergi sama Shania?" Angga menatap Hamish tidak suka. "Masih banyak hal yang harus kami bicarakan. Dan satu lagi, status Shania sekarang ... masih sah sebagai istriku!"Hamish mengedikkan bahu sembari membuang napas. "Are you okay, Shan?"Shania mengangguk. "Yeah.""Oke, hati-hati," pesan Hamish."Kita makan siang bareng lain kali, ya?""Oke.""Ayo!" ajak Angga yang sudah tidak sabar untuk menjauhkan Shania dari Hamish.Shania pun mengekori langkah Angga. Sebenarnya ia enggan pergi berdua dengan Angga. Hanya saja ia tak mau melibatkan Hamish dalam permasalahan pribadinya.Di mobil Shania memilih diam. Ia tidak ingin membahas apapun dengan Angga. Baginya semua sudah selesai tinggal menunggu proses pengadilan. "Shan," panggil Angga yang sejak tadi merasa didiamkan."Hem.""Kok, gitu sih, Shan, jawabnya?" protes Angga karena selama menjadi istrinya Shania tidak perna

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Gagal

    "Sus, gimana kondisi anak saya?" tanya Angga begitu salah seorang perawat keluar dari ruang PICU."Bapak sama Ibu diminta dokter untuk masuk," ucap perawat tersebut tanpa menjawab pertanyaan Angga.Indri menatap wajah Angga dengan cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.Angga mengangguk, memberi keyakinan pada Indri bahwa Anggita pasti baik-baik saja. Lelaki itu kemudian menggenggam erat telapak tangan Indri. "Mari!" ajak perawat berseragam biru muda tersebut.Angga dan Indri mengekori perawat itu.Setiap langkah, Indri seperti sedang menapaki lempengan es yang rapuh. Yang sewaktu-waktu bisa retak, kemudian mereka semua terjerumus ke dalam air yang dalam dan teramat dingin. Suara monitor semakin membuat jantung Indri tak karuan. Berkali-kali ia memukul-mukul dadanya agar jantungnya baik-baik saja."Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Anggita."Selamat pagi, Dok. Gimana kondisi putri kami, Dok?" kejar Angga yang

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Ketakutan

    Entah sudah berapa lama Indri menangis di bawah gerimis. Tatapannya tak lepas dari rumah yang kini gelap gulita di depannya. Padahal sekitar seminggu yang lalu, ia masih nyaman menempati rumah itu. Rumah yang segala kebutuhannya ditanggung sepenuhnya oleh Angga."Mas ...." Indri meratap. Ia ingin sekali bersujud dan memohon ampun kepada Angga."Aku benar-benar minta maaf ...."Entah berapa kali Indri menggumamkan kalimat itu sambil tergugu. Seolah-olah Angga sedang berada di depannya. Sampai akhirnya ponsel di tasnya berdering. Dengan cepat Indri merogoh ponselnya. Kemudian melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini."Mas Angga," gumam Indri. Rasanya ia tak percaya kalau laki-laki yang sedang ia tangisi menghubunginya. Langsung saja Indri mengangkat panggilan tersebut."Ha-halo, Mas," sapa Indri."In ...." Suara berat Angga terdengar dari seberang. Indri tak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat sampai ia

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Rumah

    Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Ruang PICU

    "Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status