Tak terasa sudah seminggu aku di rumah sakit ini untuk di rawat. Dan kata Tante suster itu aku sudah bisa pulang.
"Anak manis hari ini kamu sudah bisa pulang karena kondisi kamu sudah sehat". Kata perawat itu.
Aku hanya terdiam dan meneteskan air mata, aku bingung harus menceritakannya atau tidak tentang apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Tapi aku takut.
"Ada apa sayang? Ceritakan saja, tidak apa-apa kok. Tere percayakan sama Tante suster?" Tanya perawat itu.
Dan akhirnya aku berusaha memberanikan diri untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap diriku.
Spontan perawat itu kaget dan sangat kasihan kepadaku. Aku menangis tersedu-sedu ketika menceritakan semuanya pada perawat itu, dan memelukku sangat erat.
Suster itupun menangis karena tak tega melihatku harus hidup di jalan tanpa siapa-siapa. Hingga pada akhirnya ia memutuskan membawaku untuk tinggal bersamanya di rumahnya, karena kebetulan iapun tinggal sendiri. Perawat itu baru kehilangan suami yang amat ia cintai dan seorang anak perempuan berusia 7 tahun sama seperti ku yang meninggal akibat kecelakaan. Dan biaya rumah sakit iapun sudah menanggungnya.
Mengapa ia begitu baik kepadaku? Padahal aku sama sekali tak mengenalinya dan iapun tak mengenaliku. Dan ia mengatakan bahwa ia menganggap ku seperti anaknya sendiri. Dan iapun mengatakan Tuhan sangat baik karena ketika ia kehilangan anak dan suami yang ia cintai tak lama kemudian Tuhan menggantinya dengan cara yang misterius.
Awalnya perawat itu sudah membenci Tuhan yang tak adil kepadanya, tapi ternyata ia salah menilai Tuhan. Tuhan menginginkan ia kembali bangkit dari kepedihan yang mendalam dan bersiap menerima kenyataan yang telah di hadapkannya. Dan sekarang ia mendapat seorang anak perempuan manis yang imut dan bersedia tinggal bersamanya. Perawat itu memelukku sangat erat seakan aku ini memang anaknya.
Aku tidak tau harus bahagia, lega atau bagaimana. Karena saat ini hatiku masih sedih mengingat perlakuan keluarga ku yang tega membuang ku begitu saja di jalanan.
*****
Sore ini aku keluar dari rumah sakit ini dan pulang bareng perawat itu ke rumahnya. Aku merasa canggung meski kami sudah akrab sewaktu ia merawat ku di rumah sakit.
"Anak manis, apakah kamu akan tetap memanggil ku dengan sebutan Tante suster?" Tanya perawat itu sambil senyum dan memelukku.
"Baiklah aku akan memanggil mu ibu, karena sudah sangat baik kepadaku". Jawabku.
"Terimakasih sayang". Jawabnya sambil mengeratkan pelukannya.
Ibu angkatku ini sangat baik kepadaku. Ia begitu perhatian padaku. Ketika ia hendak berangkat kerja, ia selalu memastikan aku baik-baik saja jika ia meninggal kan ku sendiri di rumah dan memastikan bahwa aku tak akan kelaparan di rumah dan menyiapkan beberapa Vitamin untuk ku konsumsi dalam masa pemulihan ku.
Ia merawat ku seperti merawat anaknya sendiri. Kamar yang ku tempati adalah kamar anaknya dulu sebelum mengalami kecelakaan, dan baju-baju yang aku kenakan adalah baju-baju peninggalan anaknya juga.
Aku belajar beradaptasi dengan tempat dan orang tua baru ku ini. Meski ia sangat memperhatikan ku tapi paling tidak aku harus bisa belajar mandiri dan tak banyak menyusahkan nya.
Hari demi hari aku lewati dengan perasaan ceria yang perlahan mulai bangkit lagi. Dan itu semua karena ibu angkatku yang begitu sangat menyayangi ku dan begitu sangat memperhatikan ku.
Dulu aku berfikir jika aku tak seberuntung orang lain yang paling beruntung yang ada di planet ini, ternyata aku salah. Aku adalah salah satu di antara mereka orang yang paling beruntung yang ada di planet ini.
Aku sangat menikmati hari-hari ku dengan penuh kehangatan bersama ibu angkatku.
Hingga tak terasa usiaku beranjak 17 tahun. 10 tahun lamanya aku telah menjadi anak angkat di dalam kehidupannya. Tapi ia tak pernah menganggap ku sebagai anak angkat di dalam hatinya. Menurutnya aku adalah anaknya meski bukan secara biologis.
*****
Hari ini adalah hari di mana usiaku pas 17 tahun. Ia memberikan ku sebuah kado yang tak dapat ku lupa hingga akhir hayat ku.
Kado yang membuatku sangat terharu sekaligus sangat sakit.
Di usiaku yang ke 17 tahun ia mewariskan segala yang ia miliki sekaligus ia meninggalkan ku selama-lamanya.
Yah, 10 tahun ia mengurus dan memperhatikan penuh dengan kasih sayang layaknya sebagai anak kandung. Namun kini aku akan merindukan kasih sayang yang setiap saat yang ia berikan kepadaku.
Aku belum membalas semua kebaikannya terhadap ku, tapi kini ia sudah meninggalkan ku selama-lamanya.
Ibu menghembuskan nafas terakhirnya ketika aku sudah menandatangani surat ahli waris sebagai kado ulang tahunku dengan kondisi sehat tanpa sakit.
Aku sangat shock melihat nya, aku pikir yang terserang penyakit atau apalah itu, tapi menurut semua teman ibu sesama perawat dan dokter, kalo ibuku sama sekali tidak memiliki satupun penyakit. Ia sangat memperhatikan dan menjaga kesehatannya.
Tapi mengapa ibu pergi secara tiba-tiba di saat aku masih membutuhkan kasih sayangnya.
Dokter teman ibu itu mengatakan bahwa ibu pergi dengan ketenangan. Dia adalah orang yang sangat baik. Tak ada satupun wanita sebaik ibu kata dokter itu.
Sekarang aku kembali menjadi sebatang kara setelah 10 tahun aku di rawatnya dengan penuh kasih sayang.
Semua kenangan tentangnya l di rumah ini membuat ku sangat sedih, bahkan lebih sedih saat aku di buang ke jalanan oleh keluarga ku sendiri.
Aku begitu amat sangat kehilangan. Aku tak tau apakah aku akan kembali bisa bangkit lagi untuk semangat menghadapi kenyataan yang ada atau malah aku semakin larut dalam kesedihan dan keterpurukan ku ini.
Aku mulai sering menyendiri dalam kegelapan. Aku mulai sering bernyanyi dalam kesunyian untuk mengobati luka hatiku yang ku rasa selama ini.
Aku baru saja menikmati kebahagiaan bersama ibu yang betul-betul menyayangi ku dengan setulus hatinya, tapi malah Tuhan berkehendak lain padaku.
Aku tak tau keinginan Tuhan padaku seperti apa. Aku selalu di biarkan untuk sendiri. 7 tahun aku hidup bersama keluarga ku sendiri dan 10 tahun aku hidup dengan ibu angkatku yang sangat menyayangi ku dengan tulus.
Lalu sekarang hanya kegelapan dan kesunyian yang setia menemani hari-hari ku yang penuh dengan kehampaan.
Aku selalu menunggu datangnya senja untuk ku titipkan rindu pada ibu. Tapi ketika hujan tiba, aku selalu ingat kesakitan yang amat dalam saat pertama kali keluarga ku membuang ku ke jalanan seperti sampah yang tak memiliki arti apa-apa.
Aku hanya rindu pada kasih sayang ibuku dan aku hanya dendam pada perlakuan keluarga ku yang hanya menganggap ku seperti sampah.
Aku yakin suatu saat jika Tuhan mengizinkan ku mungkin aku akan melihat kesengsaraan yang mereka rasakan, dan di saat itulah aku akan puas untuk menertawakan nya.
Disisi lain Romi tak memiliki anak dari selingkuhan yang ia nikahi secara siri, dan kehidupannya pun kini semakin merosot. Romi dan selingkuhan nya kini hidup semakin sulit, di tambah lagi selingkuhan yang ia nikahi itu memiliki pria lain.Usaha mantan mertuakupun kian merosot dan orang kepercayaan Romi telah menggelapkan dana perusahaan lalu menghilang. Romi seakan gila akibat tak memiliki aset lagi sama sekali.Oleh sebab itu selingkuhan Romi yang ia nikahi kini berpaling karena Romi tak memiliki apa-apa lagi. Dan itu semua aku ketahui dari salah satu mantan karyawan Romi yang di pecat saat aku tak sengaja bertemu di sebuah swalayan ketika hendak berbelanja untuk kebutuhan putriku.Namu berbanding terbalik denganku, saat ini masalah materi bukan menjadi masalah utama dalam kehidupanku karena putriku memiliki rezeki yang bagus. Tapi yang menjadi masalah utamaku dalam kehidupanku adalah aku hanya takut putriku kecewa ter
Seiring berjalannya waktu tak terasa usia putriku sudah 5 tahun. Ia pun semakin menganggap bahwa dokter Pras adalah ayahnya, namun perasaan akan takut kekecewaan putriku terhadap ku semakin besar.Aku tak ingin putriku kecewa karena mengetahui bahwa dokter Pras sebenarnya hanyalah ayah angkatnya. Setelah Ki diskusikan kepada dokter Pras tentang hal ini, iapun menanggapi nya dengan santai. Entah apa yang ada di dalam pikiran dokter Pras ini.Hari demi hari telah terlewati, putriku begitu sangat manja terhadap dokter Pras yang ia anggap sebagai ayahnya yang sebenarnya.Aku tak ingin Karena hanya masalah ini justru putriku membenciku, aku tak ingin putriku menganggap bahwa aku telah membohongi nya. Bagaimana tidak putriku sangat pandai menjebak dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga.Di tambah lagi ketika putriku meminta untuk berfoto bersama dokter Pras dan denganku juga, memang sepeleh tapi itu
Hari demi hari aku kembali pulih dan dokter Pras tak pernah berubah sama sekali padaku meski aku tak lagi menjadi pasien nya. Dokter Pras makin intens berkunjung ke rumah untuk bermain sejenak bersama putriku. Bahkan dokter Pras memberi nama putriku dengan nama Ratu Wani. Aku tak menjadi masalah mengenai nama pemberian dokter Pras untuk putri ku, mungkin hal itu dapat mengobati kerinduan dokter Pras kepada sang istri yang di mana mereka berdua dulu sangat menginginkan anak. Dokter Pras memperlakukan Ratu layaknya sebagai anak sendiri, bahkan terkadang dokter Pras memenuhi segala keperluan Ratu meski akupun sudah menolaknya berkali-kali karena ketidak enakan ku pada dokter Pras, tapi tetap saja ia melakukannya dengan alasan itu adalah rejeki Ratu yang tak boleh di tolak. Dokter Pras tak ingin melewatkan tumbuh kembang Ratu sedikit pun, dokter Pras sudah sangat menyayangi Ratu layaknya anaknya
Setelah melewati perjuangan demi perjuangan, kini aku sudah menjadi seorang ibu. Rasa haru, bahagia, sedih bercampur jadi satu. Tepat tanggal 10 September pukul 05.00 pagi anak perempuan semata wayangku lahir dan ku beri nama ia Nur yang artinya cahaya, agar ia dapat menguatkan siapapun itu termasuk aku ibunya dengan cahaya yang ia miliki. Aku berharap dengan lahirnya Nur ke dunia yang kejam ini aku dapat kuat menghadapi ujian hidup yang silih berganti. Meski Romi saat ini benar-benar tak ada di sisiku lagi, paling tidak Nur adalah kekuatan ku saat ini. Aku berjuang dengan seorang diri untuk merawat dan membesarkan anak semata wayangku. Aku tak peduli lagi dengan apa yang di lakukan Romi terhadap ku. Penghianatan Romi yang selama ini ia berikan kepadaku, kini aku berusaha melupakan nya demi anakku. Aku tahu saat ini Romi sedang menikmati kebahagiaan nya bersama Desi, ta
Saat ini aku menunggu hari untuk melahirkan anak pertamaku dari Romi, aku harap dengan kesendirianku ini aku bisa tegar melewati proses persalinanku. Aku sudah tak tau lagi di mana keberadaan Romi, sepertinya ia sudah bahagia hidup bersama Desi dengan sebuah ikatan sakral.Aku pikir mungkin setelah aku melahirkan anakku aku akan mengurus gugatan cerai terhadap Romi agar aku tak merasakan kepedihan yang amat dalam lagi. Tak mengapa jika aku seorang diri membesarkan anakku, dan kelak ketika anakku dewasa ia akan tahu dengan sendirinya siapa ayahnya yang sebenarnya. Aku tak akan melarang Romi jika ia ingin menengok anak semata wayangku, karena biar bagaimanapun juga Romi tetap ayah kandungnya. Kecuali ia ingin mengambilnya dariku mungkin aku akan bertindak tegas, sebab aku akan mengurus hak asuh anakku.Semuan yang ku lalui tidaklah muda, banyak hal yang membuat air mataku jatuh berkali- kali meski aku berusaha untuk menahannya namun tetap juga
“Bu……. Ibu……… bangun bu…. Bangun……..”“Romiiiiii……………… ibu Rom…………….. ibu…………..”“Ibu meninggal…….. Rom…. Kamu di mana? cepat pulang…. Ibu meninggal…”Aku histeris melihat ibu meninggal ketika aku bersihkan badan ibu mertuaku. Aku menelpon Romi yang baru saja berangkat ke kantor, tapi Romi hanya membentakku di telpon. Ibu benar- benar meninggalkan aku dan meninggalkan kita semua.Romi benar- benar tak memiliki hati, hatinya sudah di butakan oleh Desi. Anak macam apa Romi ini, ibunya meninggal malah ia membentakku di telpon.Bukannya ia langsung pulang untuk mempersiapkan pemakaman ibunya, malah ia pergi bersama Desi dengan alasan ada pekerjaan penting