MasukBip.
Kode pintu terbuka disusul langkah kaki. Nathan baru pulang dari kantor. Penampilannya masih rapi, hanya rambutnya sedikit acak karena hari panjang. Dengan langkah gontai, ia berjalan masuk. Namun langkah itu terhenti saat matanya menangkap pemandangan tak terduga. Perempuan itu. Tertidur pulas, memeluk bantal, rok mininya tersingkap begitu jelas—terlalu jelas untuk ukuran kesabaran Nathan setelah seharian bekerja. “Dia tuh… bisa nggak sih pakai baju yang nggak gini?” ucap Nathan pelan dengan raut bingung, antara mau menatap atau pura-pura acuh. Tapi tatapannya tidak acuh. Tidak sama sekali. Nathan menarik napas panjang. Ini bukan pertama kali ia melihat Cindy begitu, tapi karena hubungan keduanya juga bukan baik, mengapa degupnya aneh? Perlahan, ia melangkah mendekat. Setiap langkah terasa berat dan berbahaya. Semakin dekat, semakin ia merasakan aroma lembut parfum Cindy yang membuat tengkuknya menegang. Nathan berjongkok pelan di samping sofa. Tangannya sempat ragu di udara sebelum akhirnya ia berhasil meraih selimut tipis yang tergeletak di sana. Gerakannya hati-hati—seperti sedang menjinakkan bom waktu. Dengan perlahan, ia menjulurkan tangan, hendak menutup bagian paha Cindy yang terlalu terbuka untuk kewarasannya. Selimut itu baru saja jatuh lembut di atas kulit Cindy, ketika sepasang mata itu terbuka. Cindy menatap langsung ke wajah Nathan dari jarak yang terlalu dekat. “Mas, kamu udah pulang?” ucapnya pelan, masih setengah sadar, suaranya serak, terdengar seperti berbisik. Nathan membeku. Jantungnya menghantam dada. Tidak ada jalan kabur. Dan Cindy belum menyadari apa yang terjadi sambil mengusap muka. Nathan tetap membelakangi Cindy, menahan napas agar suaranya tidak bergetar. “Ya, baik, Pak… Nanti saya cek dulu dokumennya,” katanya lagi, suaranya tenang, damai, tentunya terlihat sibuk, padahal layar HP-nya mati total. Cindy meraih bantal kecil di sampingnya. “Mas, sumpah… kalau kamu masih akting kayak gitu, aku—” Ponsel Nathan berbunyi, ia terlonjak saat mendengar ponselnya itu. Tapi alih-alih malu, dia menoleh dengan wajah sedingin konferensi pers pada Cindy dengan sorot matanya yang datar. Nathan menurunkan ponselnya pelan-pelan sambil pura-pura memeriksa layar. “Ah… mungkin sinyalnya hilang tadi. Ya selamat malam Pak Andi? Jadi gimana tadi Pak? Apa ada masalah?” tanyanya pelan. “Masalah? Kamu pura-pura nelpon gitu?! Hape kamu aja mati!” seru Cindy sambil menunjuk layar ponselnya yang kini menyala dan menampilkan sosok wajah penelpon di layar ya ia tampilkan pada Cindy selintas. “Jangan lempar-lempar bantal. Kamu tuh ngacak interior rumah aku,” katanya santai sambil melonggarkan dasinya saat Cindy melempar bantal pelan ke arahnya. Cindy hampir meledak, dan ia berteriak kesal melihat tingkah Nathan yang baru ia sadari bahwa sosok lelaki itu ternyata pintar membuat lelucon yang membuat dirinya gemas. Nathan melihat ke arah ruang makan, penuh dengan masakan yang dibuat Cindy di atas meja. “Kamu jangan makan masakan aku,” ucap Cindy dari ruang TV, nafasnya terdengar sedikit terengah-engah. “Nggak tertarik.” jawab Nathan sambil melirik sebentar ke meja makan, kemudian melangkah acuh menuju kamar tidurnya. Saat Nathan menelusuri kamar tidurnya, ia sempat tertegun. Handuk yang biasanya terserak tak lagi ada di atas ranjang. Bantal sofa tersusun rapi. Meja kerja yang selalu berantakan kini menampilkan pulpen dan kertas yang tertata sempurna. Ia bergeser ke ruang TV. Laptop Cindy masih menyala, layar menunjukkan sebuah dokumen. Di sampingnya, secangkir kopi hitam yang tinggal setengah. “CV lamaran kerja?” Nathan mengangkat alis, menatap ke arah kamar Cindy yang tertutup. Ia duduk di lantai, menekuk satu kaki, membaca surat lamaran itu dengan dahi mengerut. “Jadi… dia udah nggak kerja?” gumamnya. Ada sesuatu yang mengencang di dadanya—iba, atau rasa bersalah, ia sendiri tak yakin. “Kenapa dia sampai hancur begini…?” bisiknya nyaris tak terdengar, seolah takut kekhawatirannya bocor ke udara. Perutnya tiba-tiba berbunyi, memecah suasana berat itu. Nathan berdiri perlahan, melangkah ke ruang makan. Tanpa pikir panjang, ia mengambil piring dan sendok yang sudah disiapkan di meja. Ia mencicipi masakan Cindy. Satu suapan. Dua. Lalu tanpa sadar, ia makan dengan lahap—seakan rasa itu mengingatkannya pada rumah yang sudah lama hilang. “Oh… udah pesan makanan di luar ya…” ucap Cindy, suaranya setengah heran, setengah geli, sambil berdiri di depan pintu kamar dan menatap Nathan di ruang makan.“Kenapa, emangnya kalau aku keluar pakai handuk?” Cindy menatapnya kuat walau lebih khawatir handuk yang ia pakai mulai melorot. “Pokoknya…” Nathan mengusap keningnya, terlihat mencari kalimat yang tepat untuk menahan dirinya sendiri. “Pokoknya kamu...” ucap Nathan dengan nada heran ketika menyadari Cindy sudah menghilang dari hadapannya. loh? Udah kabur aja? Belum juga selesai dikasih tahu.” Sementara itu, di dalam kamar, Cindy menutup wajah dengan kedua tangannya. Jantungnya berdebar-debar dan ia mencoba menenangkan dirinya. “Aduh… aduh, malu banget. Nanti dia pasti mikir yang… ih, nggak, nggak, nggak! Jangan sampai itu kejadian. Aku nggak mau,” gumamnya cepat, wajahnya memerah. “Tujuan aku cuma numpang sebentar. Kalau udah dapet kerjaan, aku cabut dari sini,” lanjutnya, mencoba meyakinkan diri meski jantungnya berdetak kacau. Nathan melangkah ke balkon, menahan napas panjang sambil menatap langit pagi. Ia mengusap wajahnya pelan, seolah mencoba menenangkan badai keci
“Mas? Buka pintunya!” Cindy berteriak sambil mengetuk pintu kamar Nathan berkali-kali. Napasnya naik turun, wajahnya merah karena kesal. “Kamu sendiri yang usir aku, tapi kenapa aku nggak bisa keluar dari rumah ini?!” Handle pintu kamar bergerak. Cindy buru-buru mundur dua langkah. Pintu terbuka, memperlihatkan Nathan berdiri dengan wajah datar dan rambut sedikit berantakan. “Kamu berisik. Ini udah malam,” ucap Nathan tenang, seolah tidak terganggu teriakannya. “Kamu tuh aneh!” Cindy melipat kedua tangannya, bibirnya manyun penuh amarah. “Kamu jelas-jelas usir aku, tapi kenapa kamu nggak izinkan aku keluar dari rumah kamu ini?!” “Ini udah malam,” jawab Nathan singkat. Ia hendak menutup pintu, tapi Cindy buru-buru menahannya dengan telapak tangan. “Mas, jawab pertanyaan aku! Kenapa aku nggak boleh pergi dari sini?!” tanya Cindy lagi, kini lebih putus asa daripada marah. “Siapa yang nggak bolehin?” Nathan balik bertanya pelan, tatapannya menusuk. “Loh, jelas kok!” Cindy m
“Cindy.”Suara itu berat, datar, dan datang dari arah dapur.“Kamu sini.”Cindy membeku di depan pintu. Sial. Harusnya dia selesai sebelum Nathan turun.Laki-laki itu berdiri di ambang pintu, lengan bersedekap. Tatapannya tidak marah, tapi tajam… terlalu tajam untuk pagi yang seharusnya tenang.“Kamu… nyuci bajuku?”Nada Nathan pelan, tetapi menusuk.Cindy menelan ludah. “Aku cuma…, sekalian aja. Mesin cucinya juga kosong.” Ia mencoba tersenyum santai, tapi senyumnya pecah di tengah jalan.Nathan melangkah mendekat. “Kapan terakhir kali kamu nyuci baju di rumah ini?”Cindy mengalihkan pandangannya. “Empat bulan sebelum kita cerai.”“Jadi kenapa sekarang kamu—”“Karena aku tinggal numpang di sini, Nathan.” Cindy memotong dengan cepat, suara rendah namun getir. “Aku nggak mau cuma makan tidur. Biar aku kerjain apa pun yang aku bisa.”Keheningan menggema. Nathan menatap keranjang cucian itu lama, seakan menimbang sesuatu.“Cindy,” katanya akhirnya, lebih lembut dari yang ia maksudkan. “A
Bip.Kode pintu terbuka disusul langkah kaki.Nathan baru pulang dari kantor. Penampilannya masih rapi, hanya rambutnya sedikit acak karena hari panjang. Dengan langkah gontai, ia berjalan masuk. Namun langkah itu terhenti saat matanya menangkap pemandangan tak terduga.Perempuan itu. Tertidur pulas, memeluk bantal, rok mininya tersingkap begitu jelas—terlalu jelas untuk ukuran kesabaran Nathan setelah seharian bekerja. “Dia tuh… bisa nggak sih pakai baju yang nggak gini?” ucap Nathan pelan dengan raut bingung, antara mau menatap atau pura-pura acuh. Tapi tatapannya tidak acuh. Tidak sama sekali. Nathan menarik napas panjang.Ini bukan pertama kali ia melihat Cindy begitu, tapi karena hubungan keduanya juga bukan baik, mengapa degupnya aneh? Perlahan, ia melangkah mendekat. Setiap langkah terasa berat dan berbahaya. Semakin dekat, semakin ia merasakan aroma lembut parfum Cindy yang membuat tengkuknya menegang. Nathan berjongkok pelan di samping sofa. Tangannya sempat ragu di ud
Pagi menjelang. Cindy terbangun dengan rambut acak dan selimut yang berantakan. “Jam lima pagi…” gumamnya dengan mata setengah terpejam sambil melirik jam di tangannya—yang bahkan belum sempat ia lepas tadi malam. “Um…” Cindy memfokuskan pandangannya. Ia melihat jelas tas-tas miliknya kini ada di dekat lemari pakaian. “Kapan masuknya ya?” bisiknya, suara itu menggantung, nyaris seperti ketakutan—atau penasaran. Cindy menelan ludah. Ia yakin tidak menyentuh tas-tas itu sama sekali. Dan hanya ada satu orang yang bisa melakukannya tanpa ia sadari. “Ah, mungkin aku aja yang lupa,” ucap Cindy sambil tersenyum kecil menatap langit-langit kamar tidur. Ia merenggangkan tubuhnya, menguap, lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Usai mandi, tubuhnya hanya tertutup handuk. Cindy membuka tas koper, mencari pakaian. “Astaga… baju aku gini semua lagi…” keluhnya sambil menarik napas panjang. Isinya hanya baju kekurangan bahan—semua gaya khasnya. Mau tidak mau, ia meng
Brak!Pintu segera ditutup saat pemilik rumah menatapnya garang.“Mas! Mas! Buka pintunya! Aku teriak nih!” serunya panik, memukul-mukul pintu dengan keras. Beberapa penghuni penthouse lain keluar unit, menatap Cindy dengan tatapan aneh, beberapa berbisik-bisik. Cindy makin panik. Tak lama, Nathan membuka pintu sedikit—hanya cukup untuk menampakkan wajahnya. “Ada apa?” tanyanya datar, berusaha tetap dingin, meski jelas terlihat ia terkejut setengah mati. Cindy menatapnya dengan mata memerah, penuh amarah, malu, dan keputusasaan yang ia tahan mati-matian. “Aku gak dibolehin masuk dulu?” tegas Cindy.Nathan hanya membeku.Matanya mengerjap masih memproses tamu yang datang malam ini. Tanpa menunggu jawaban, Cindy menerobos masuk begitu saja, meninggalkan koper dan tas-tasnya di depan pintu. Napasnya masih tersengal karena panik, detak jantungnya tak aman, dan sisa emosi yang belum mereda. Nathan refleks menahan pintu dengan lengannya. “Cindy, kamu tuh—” “Aku boleh tinggal







