LOGINMalam itu jauh lebih tenang dari biasanya. Cindy duduk bersila di depan loker, sibuk mengacak tumpukan barang yang belum sempat ia rapikan yang tadi pagi mau berniat kabur.
Ding-dong. Bel pintu memotong konsentrasinya. Cindy refleks menoleh. “Siapa sih jam segini…?” gumamnya, sambil berdiri dan menepiskan debu di kedua tangannya. Ia menarik napas, mengumpulkan keberanian, lalu membuka pintu. Begitu celah pintu terbuka, bau alkohol langsung menyerbu wajahnya—pekat, tajam, membuat alisnya otomatis berkerut. Nathan berdiri di sana. Wajahnya memerah, dasi miring, kancing kemejanya terbuka satu–dua, rambutnya acak-acakan. Tapi senyum kecil itu… tetap sama. “Pinter…” suaranya rendah, parau. “Nggak kabur dari aku lagi.” Cindy berkedip. Lagi? Ia bahkan belum sempat menyebut kata “kabur”. Nathan melangkah masuk tanpa dipersilakan. Beberapa kancing kemeja dibuka sambil jalan, dan ujung kemejanya ia tarik dari celana, gerakan santai yang justru membuat Cindy mundur satu langkah. Beberapa detik, Nathan hanya berdiri di hadapannya—mengamati. Seakan lupa dunia luar baru saja menghancurkan separuh kewarasannya. “Sayang…” bisiknya. Sekali lirih, sudah cukup untuk membuat hati Cindy berdesir kacau. Ia mendekat. Tubuhnya hangat, napasnya menyentuh pipi Cindy. Tangan besar itu menyentuh pinggangnya, menariknya pelan. Sebelum Cindy sempat protes, Nathan menunduk dan mencium keningnya. Lalu pipinya. Perlahan, lembut, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan diri. Refleks Cindy menahan napas. “Nathan… Mas, kamu—” “Panas.” Nathan tersenyum kecil. “Disini panas banget.” Kemejanya dilepas dan jatuh begitu saja ke lantai. Cindy menegang. “Harusnya kamu pake handuk aja,” gumam Nathan, menggoda tapi suaranya terdengar lelah. Tangannya naik ke bahu Cindy, berniat membuka resleting baju perempuan itu. Cindy menepisnya, panik. “Mas… kamu demam ya?” Ia menyentuh kening Nathan. Hangat—tapi bukan panas demam. Lebih seperti… panas alkohol yang sudah terlalu lama mengaliri darah. “Aku? Demam?” Nathan tertawa kecil. “Nggak, lah.” Namun ia kembali menarik Cindy, memeluknya. Napasnya jatuh tepat di leher Cindy sebelum ia menempelkan bibirnya ke sana. “Mas—mas!” Cindy mendorong pelan. “Kamu mabuk?” “Aku cuma minum satu gelas…” Nathan mengangkat satu jari, lalu menambahkan dengan lurus-lurus, “Terus tiba-tiba… gelas keenam.” Cindy memijit pelipisnya. Ia bahkan tak tahu harus marah atau kasihan. Nathan mengunci pintu kamar. Cindy menegang. “Mas?! Jangan kunci—” “Aku sadar, Sayang.” Nathan menatapnya, matanya merah tapi fokus. “Sadar banget.” Lalu ia menempelkan bibirnya ke bibir Cindy. Ciuman itu membuat Cindy terpaku. Panas, lembut, dalam. Terlalu familiar. Terlalu berbahaya. “Mas…” Cindy berbisik, tapi bibirnya kembali ditangkap Nathan. “Kamu masih sama,” bisik Nathan, suaranya serak. “Masih bikin aku gila.” Cindy mencoba menghindar, tapi tubuhnya tenggelam dalam pelukan yang sudah pernah ia kenal luar-dalam. Kenangan menyerbu—malam-malam ketika Nathan selalu pulang dan memeluknya sambil tertawa, pagi-pagi ketika mereka saling berebut selimut, hari-hari ketika mereka masih percaya cinta itu cukup. Mereka terjatuh ke ranjang—bukan dengan niat buruk, tapi karena Nathan kehilangan keseimbangan. Cindy memegang kedua bahunya agar tidak menindihnya. “Sayang…” ucap Cindy terengah-engah, kedua tangannya meremas kuat bahu Nathan “Ini… salah…” Cindy mendesah pelan, menggigit bibirnya sesekali, dan menatap Cindy dengan tatapan yang bercampur antara gairah dan sedikit penyesalan. “Nggak. Ini benar, Sayang…” ucap Nathan. Ia segera menghisap salah satu dada Cindy dengan rakus, sementara dada lainnya ia remas, bergantian. “Jangan dulu, Mas…” desah Cindy, merintih keenakan sambil sesekali memejamkan matanya, memperingatkan Nathan di antara kenikmatan. Saat Nathan sudah hampir kehilangan kendali, Cindy cepat-cepat menahan tubuh sang mantan suami yang sudah bersiap untuk masuk lebih dalam. “Mas, udah. Kamu bau alkohol banget,” gumam Cindy pelan, mencoba mengalihkan. “Hm.” Nathan menutup matanya, wajahnya jatuh di bahu Cindy. “Kangen…” Cindy membeku. Kata itu tidak boleh diucapkan. Tidak setelah cerai. Tidak setelah semua hancur. “Mas, tidur dulu ya,” Cindy akhirnya berbisik, membelai rambut Nathan. “Aku selimutin.” Nathan tidak menjawab. Napasnya sudah berat, teratur, jatuh dalam-dalam di bahu Cindy—dia tertidur di sana. Sepenuhnya. Tanpa sadar. Cindy menghela napas panjang, menahan getaran di dadanya. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh Nathan, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukan yang masih menggantung di pinggangnya. Sebelum keluar kamar, Cindy menoleh sebentar. Wajah Nathan yang tertidur itu… Masih pria yang sama yang dulu ia cintai sampai habis-habisan. Cindy melangkah sekali lagi sambil menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengecup kening Nathan seolah tanda cinta itu masih begitu banyak. Namun saat Cindy hendak benar-benar meninggalkan Nathan, lengan kekar itu menariknya lagi hingga kembali dalam pelukannya. “Jangan pergi lagi,” ucap Nathan pelan dengan mata terpejam dan memeluk Cindy makin erat.“Nathan, stop!” bentak ibunya tajam. “Mama nggak mau dengerin bualan kalian di sini. Tolong langsung bilang, kamu maunya apa?”Nathan menghela napas pelan, lalu menoleh ke Cindy. Sorot matanya tenang, tapi penuh keyakinan.“Silakan Cindy yang bicara, Ma, Pa,” ucap Nathan mantap. “Karena dia adalah korban dalam hal ini.”“Korban?” Ayahnya mendengus sinis. “Korban apa? Kamu jangan mengada-ada, Nathan. Perempuan ini sudah sejauh apa memengaruhi hidup kamu?”Cindy menarik napas dalam-dalam. Tangannya mengepal di pangkuan, tapi punggungnya tetap tegak. Saat berbicara, suaranya bergetar—bukan karena takut, melainkan karena menahan luka lama.“Maaf, Pa… Ma…” ucap Cindy lirih namun tegas. “Izinkan aku menyampaikan sesuatu.”Ruangan mendadak hening.“Soal pernyataan kalau aku mandul,” lanjut Cindy sambil menatap satu per satu wajah di hadapannya, “itu semua hasil rekayasa Mama.”Ibunda Nathan langsung bangkit setengah berdiri. Wajahnya memerah.“Itu fitnah!” teriaknya lantang.Cindy tersenyum
“Permisi, Bu… Mas Nathan sudah datang,” lapor salah satu asisten rumah tangga dengan sopan. “Suruh langsung ke lantai tiga,” ucap ibu Nathan tegas, meski senyum tipis masih terlukis di wajahnya. Tatapannya sempat beralih ke arah kedua orang tua Shella yang sudah duduk di sana. Papa Nathan menghela napas pelan. “Papa harap jangan ada keributan, Ma.” “Itu tergantung siapa yang mulai duluan, Pa,” sahut ibu Nathan dingin, tanpa sedikit pun menoleh. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka. Nathan dan Cindy melangkah keluar dan baru saja tiba di lantai tiga. Seketika, semua pandangan tertuju pada mereka—terutama pada Cindy, sang mantan istri sekaligus mantan menantu yang kehadirannya selalu memantik ketegangan. Suasana mendadak sunyi. “Wah… Nathan, ayo duduk,” ucap ayahnya akhirnya, berusaha terdengar normal. Namun tak ada sapaan untuk Cindy. Ibu Nathan pun melakukan hal yang sama—menyambut Nathan dengan anggukan singkat, seolah Cindy yang berdiri di sisi putranya hanyal
“Banyak banget spermanya? Ini sih overload,” ucap perawat yang baru saja membawa sampel sperma milik Nathan ke ruang laboratorium. Sementara itu, Nathan dan Cindy duduk berdampingan di ruang tunggu. “Jam enam sore nanti kita langsung ke sana?” tanya Cindy pelan. Ia bersandar di dada Nathan, jemarinya masih menggenggam tangan pria itu. “Iya, Sayang.” Nathan mengangguk singkat. Satu lengannya merangkul Cindy, sementara tangan lainnya sibuk memegang ponsel. “Maaf, aku nggak fokus. Lagi ngecek email kerjaan.” Cindy mendongak, menatap wajah Nathan. “Minggu depan kita harus ke Kalimantan,” lanjut Nathan dengan nada sedikit berat. “Ada masalah izin alat berat. Pemilik proyek minta aku datang langsung ketemu Pemda.” “Oke…” jawab Cindy lirih. Kelopak matanya tampak berat. Tubuhnya makin melemas di pelukan Nathan—lelah dan mengantuk setelah rangkaian pemeriksaan hari itu, juga setelah momen intim yang baru saja mereka lalui. Nathan menurunkan ponselnya, mengecup pelipis Cindy de
Cindy dan Nathan tampak berbincang singkat dengan seorang perawat. Setelah itu, keduanya diarahkan menuju lift. “Lantai lima,” ucap perawat tersebut ramah. Shella yang berdiri tak jauh dari mereka langsung menajamkan pendengarannya. Begitu melihat Cindy dan Nathan masuk ke dalam lift, ia segera menyusul dan berdiri di sudut, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Di dalam lift, pandangan Shella tertumbuk pada papan petunjuk lantai yang terpasang di dinding. “Lantai dua: radiologi. Lantai tiga: laboratorium. Lantai empat: penyakit dalam. Lantai lima: obgyn.” “Obgyn? Organ dalam?” gumam Shella pelan, alisnya berkerut. “Apa sih maksudnya?” bisiknya lagi, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Lift berhenti di lantai lima dengan bunyi ding pelan. Cindy dan Nathan melangkah keluar lebih dulu, berjalan berdampingan menuju sebuah ruangan dengan papan nama dokter yang terpampang jelas. Tanpa menoleh ke belakang, mereka masuk ke dalam ruang praktik. Shella menelan ludah.
“Kenapa juga lo cari masalah sih? Udah gue bilang, jangan lo campuri urusan Nathan,” ujar Bayu pada Shella saat keduanya tengah membuat kopi di pantry. Nada suaranya rendah, menahan kesal. “Masalahnya, gue ngerasa Nathan ngebohongin gue, Bay…” balas Shella pelan. Tangannya berhenti mengaduk kopi, rahangnya mengeras. Bayu mendengus kecil, lalu menoleh tajam ke arah Shella. “Shella, gue tanya sama lo. Emangnya kapan sih Nathan pernah nyatain perasaan ke lo?” katanya datar, tapi menusuk. “Kalian cuma deket kayak biasa. Nggak lebih.” Ia menyandarkan pinggul ke meja pantry, menyilangkan tangan di dada. “Bukan berarti dia sering bantu lo, anterin lo pulang, terus otomatis pacaran sama lo,” lanjut Bayu. Bayu terkekeh singkat, tapi tanpa humor di matanya. “Terus gue gimana? Gue juga sering kan anterin lo pulang?” Ia mengangkat alis. “Apa supir taksi juga lo anggap pacar lo?” Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Shella terdiam, dadanya naik turun menahan emosi yang tak s
“Nath… besok jangan halangi aku buat ngomong ke keluarga kamu,” ucap Cindy lirih sambil memejamkan mata, tubuhnya bersandar rapuh dalam pelukan Nathan malam itu. “Aku nggak bakal halangi kamu buat ngomong apa pun, selama itu benar,” jawab Nathan pelan. Ia ikut memejamkan mata, mempererat pelukannya seolah ingin memberi rasa aman yang selama ini kurang. “Jangan tinggalin aku,” pinta Cindy dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan yang lahir dari ketakutan terdalamnya. “Nggak akan pernah,” ucap Nathan tegas namun lembut, dagunya bertumpu di puncak kepala Cindy, menegaskan janji yang akhirnya ia ucapkan tanpa ragu. ••• Pagi menyapa keluarga Nathan, dengan topik bahasan yang sama. “Yang Papa tahu, ibunya memang sakit keras, Ma. Papa pernah lihat dia di rumah sakit, ketemu dokter di Cipto,” ucap ayah Nathan pagi itu, suaranya terdengar lebih tenang, mencoba meluruskan keadaan. “Udahlah, itu bukan urusan kita, kan?” sahut ibu Nathan dingin, tanpa menoleh, seolah topik itu tak







