Share

SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP
SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP
Penulis: El Furinji

AWAL

SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP

“Sampai kapan Mbakmu tinggal di sini, Sil?” tanya suamiku.

Aku yang sedang melipat baju sontak menghentikan aktivitas, menoleh pada lelaki yang duduk di depan meja rias sambil memegangi kepala.

“Entahlah, Mas! Aku juga enggak tahu.” Lebih dari sepuluh kali Mas Adam menanyakan hal itu, dan aku selalu menjawab dengan kalimat yang sama.

“Ya kamu tanya sama dia. Mau berapa lama mengganggu hidup kita?”

“Tapi, Mas ... aku khawatir nanti malah dikira kita mengusir. Lagian rumah Mbak Nina sudah dijual, jadi dia mau pulang ke mana?”

“Pulang kampung kan bisa! Daripada di sini hanya jadi bebanku. Aku enggak sanggup jika terus-terusan menafkahi mereka!”

Wajar jika Mas Adam mengeluh. Tiga bulan belakangan Mbak Nina dan anaknya tinggal bersama kami. Semua kebutuhan hidup kami yang menanggung karena dia enggak bekerja. Namun, aku tak sampai hati jika memintanya pergi. Biar bagaimanapun kami dibesarkan dengan kasih sayang yang sama.

Mas Adam menyugar rambut kasar, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sesekali tampak memijit pelipis, mungkin saking pusingnya memikirkan semua ini.

Sejak pertama kali Mbak Nina menginjakkan kaki di rumah ini, Mas Adam sudah menunjukkan rasa tidak suka, bahkan secara terang-tangan menolak saat dimintai tumpangan. Namun, karena aku terus membujuk, akhirnya dia luluh dan mengizinkan kakak perempuanku tinggal di sini sementara waktu.

Bukan hal aneh jika Mas Adam bersikap seperti itu mengingat bagaimana Mbak Nina memperlakukan kami dulu. Saat berada di puncak kesuksesan, kakak perempuanku selalu rajin menghina kami yang hidup serba pas-pasan.

Tak jarang Mbak Nina sengaja mempermalukan kami di depan keluarga besar saat sama-sama pulang kampung. Sematan kata miskin begitu lekat menempel pada kami. Pun olok-olok sengsara sepanjang masa yang kerap dia lontarkan saat di keramaian.

Pernah suatu ketika di depan semua keluarga Mbak Nina sengaja mempermalukan Mas Adam dengan membanding-bandingkan dengan suaminya yang seorang pengusaha. Tentu suamiku menjadi kerdil dengan pekerjaan yang tak menentu.

Lelaki itu bangkit, berdiri kemudian berpindah duduk di sebelahku. “Dulu rumah ini menjadi tempat ternyaman untukku. Tapi kenyamanan itu hilang saat ada orang lain tinggal di sini.”

“Mbak Nina bukan orang lain, Mas! Dia kakakku satu-satunya!” Aku memprotes.

“Apa kamu lupa bagaimana dia memperlakukan kita dulu? Apa masih pantas dianggap kakak?” Sepasang mata Mas Adam lekat menatap, membuatku sedikit gugup.

“Mas ... semua telah berlalu. Mbak Nina juga sudah meminta maaf. Aku harap kita tak terus menyimpan dendam. Enggak baik,” ucapku menasihati.

Hal terbaik adalah memberi maaf pada orang yang sudah berkali-kali menyakiti. Bahkan akan lebih mulia jika membalas semua kejahatan dengan kebaikan.

“Memaafkan bukan berarti harus menafkahi terus-terusan kan? Kalau sehari dua hari aku masih bisa mengerti, tapi ini sudah hampir tiga bulan!” Nada suara Mas Adam terdengar meninggi.

Aku tak berani menyahut. Hanya menunduk, menatap ujung jari kaki. Apa pun yang mas Adam katakan, itu tak akan membuatku mengusir Mbak Nina. Masih ingat betul pesan orang gua dulu bahwa suami bisa menjadi mantan, sedangkan tak ada istilah mantan saudara.

“Kalau seperti ini, apa bedanya dengan aku menafkahi dua istri? Toh ... apa yang kita makan selali bersama Mbak Nina. Jajan anak-anak juga. Semua sama!”

Sontak aku mengangkat wajah, mendelik menatap Mas Adam.

“Kamu mau menikah lagi? Kamu mau dua istri?” seruku.

“Aku tak mengatakan begitu. Hanya saja saat di rumah sudah tak ada kenyamanan, kebanyakan lelaki akan mencari tempat lain.”

“Kamu sudah enggak nyaman, Mas? Bukankah sejak dulu aku tak pernah berubah? Aku selalu melayanimu sebaik yang aku mampu? Kenapa kamu mengatakan begitu?” Dengan sepasang mata yang mulai mengembun, aku mencecar Mas Adam. Rasanya tak terima jika dianggap tak lagi memberinya kenyamanan.

“Bukan kamu. Tapi kebodohanmu yang membiarkan Mbak Nina tetap di sini. Itu yang membuatku tak nyaman. Jika benar-benar tak punya tempat tinggal, aku bisa maklum. Mbak Nina bisa pulang kampung dan tinggal bersama Bapak Ibu. Daripada di sini hanya jadi beban orang!”

“Tapi di kampung sulit mendapat pekerjaan, Mas!”

“Memangnya di sini dia kerja? Enggak to! Lalu apa bedanya?” Mas Adam tersenyum sinis. Detik berikutnya dia bangkit lalu beranjak keluar.

“Mau ke mana, Mas?” Aku berteriak mengejar.

“Keluar. Cari ketenangan!” teriaknya sambil terus menjauh, bahkan tanpa menoleh.

Akhir-akhir ini Mas Adam memang sering keluar malam. Terkadang malah baru pulang selepas subuh dan kemudian berangkat kerja. Aku nyaris kehilangan waktunya.

***

Berkali-kali aku mondar-mandir di teras menanti Mas Adam pulang. Jam di dinding sudah menunjukkan angka sepuluh, tapi sejak keributan tadi suamiku belum juga kembali.

Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumah. Seorang perempuan yang sangat kukenali membuka pintu, kemudian melambaikan tangan pada mobil yang sudah kembali melaju.

“Lagi ngapain kamu di teras malam-malam, Sil? Tanya Mbak Nina-perempuan yang baru datang itu.

“Nunggu Mas Adam, Mbak. Sejak Isya dia pergi,” sahutku.

“Waduh ... ke mana dia?”

“Enggak tahu,” aku menggeleng pelan.

“Kamu harus hati-hati, Sil! Jangan-jangan suamimu sedang bersama perempuan lain,”

Aku terenyak. Selama ini aku tak pernah berprasangka sampai sejauh itu. Namun, ucapan Mbak Nina seperti memaksaku untuk curiga. Di tambah lagi saat keributan tadi Mas Adam membawa-bawa soal dua istri.

“Tapi masa iya Mas Adam begitu, Mbak? Enggak mungkin!” protesku.

“Jaman sekarang apa sih yang enggak mungkin? Tapi terserah kamu saja. Sebagai kakak aku sudah memperingatkan. Kalau ada apa-apa jangan salahkan aku!” ujar Mbak Nina sembari menyelong masuk.

Aku masih berdiri mematung, memikirkan perkataan Mbak Nina. Jika ditelisik lebih dalam, ada benarnya juga. Aku memang harus berhati-hati, apalagi sekarang Mas Adam sering keluyuran malam-malam. Jangan-jangan dia bermain api di belakangku. Jika iya, awas saja!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status