Share

BAB 2

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-09-29 07:42:22

Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Membereskan rumah setelah Mas Adam berangkat kerja.

Mbak Nina-kakak perempuanku belum keluar kamar. Biasanya dia baru bangun setelah mendekati pukul sepuluh siang. Aku tak mempermasalahkan hal itu karena kuanggap dia tamu, jadi tak berkewajiban membantu pekerjaanku.

Terdengar dering nada panggilan saat aku sedang mencuci. Gegas kutinggalkan pekerjaan ini demi melihat siapa yang menghubungi. Rupanya, suamiku yang menelepon.

“Assalamu alaikum, Mas!” ucapku setelah menggeser tombol hijau.

“Waalaikum salam. Tolong transfer uang tabungan ke rekeningku, Sil. Tadi aku menabrak orang,” jawab Mas Adam dengan nada suara terdengar gugup.

“Nabrak di mana, Mas? Kamu enggak apa-apa kan? Sekarang di mana?”

Panik? Tentu saja! Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Mas Adam. Takut kalau-kalau dia terluka parah.

“Aku enggak apa-apa, tapi yang kutabrak masuk rumah sakit. Makanya aku minta kamu transfer uang,” jelas suamiku.

Aku bernafas lega mendengar kabar Mas Adam, tapi kembali panik saat dia memintaku mentransfer uang.

“Tapi, Mas. Uangnya ... “

“Uangnya kenapa?”

“Uangnya dipinjam Mbak Nina,” jelasku.

Sebulan yang lalu Mbak Nina meminjam uang. Karena kasihan, aku memberikan uang tabungan tanpa sepengetahuan Mas Adam.

“Kenapa kamu enggak bilang dulu!” Suara Mas Adam menggelegar. Aku bisa merasakan kemarahan yang meledak-ledak meski tak melihat mukanya.

“Maaf, Mas. Aku ....” Sebelum kalimatku selesai, panggilan tiba-tiba terputus. Kemudian kucoba menelepon balik, tapi panggilan di tolak.

Beberapa saat aku terdiam di sisi ranjang. Memikirkan kemarahan Mas Adam, aku membulatkan tekad untuk menagih pada Mbak Nina. Barangkali dia sudah ada.

Lalu, aku beranjak keluar dan mengetuk kamar sebelah. Karena tak ada sahutan, aku memberanikan diri membuka pintu yang rupanya tak dikunci. Tampak Kakak perempuanku masih lelap di bawah selimut.

“Mbak! Bangun, Mbak!” Aku menggoyang-goyangkan tubuh kakakku. Dia menggeliat sebentar sebelum akhirnya mengerjap-ngerjapkan mata.

“Ada apa, Sil? Apa makanan sudah siap?” tanyanya malas-malasan.

“Sudah. Tapi aku mau bicara soal lain,”

Mbak Nina bangkit lalu menyandarkan tubuh di sandaran ranjang. Mengucek mata sebentar lalu menguap.

“Bicara apaan sih?” tanyanya.

“Uang yang kamu pinjam audah ada kan, Mbak? Mas Adam kecelakaan, jadi aki butuh uang,”

“Hah? Kecelakaan di mana?”

“Di jalan. Dia nabrak orang dan orangnya masuk rumah sakit. Makanya dia minta aku transfer uang ke rekeningnya. Uangnya sudah ada kan?”

Saat Mbak Nina meminjam, dia bilang akan mengembalikan dalam tiga hari. Ini sudah sebulan lebih, makanya aku berani menagih.

“Aku belum ada uang, Sil. Pakai uangmu saja dulu. Yang lain kan masih ada,” jawab Mbak Nina santai.

“Enggak, Mbak! Aku enggak punya uang lagi,” keluhku yang mulai panik.

Kemarahan Mas Adam semakin jelas terbayang di angan. Dia pasti akan memarahiku habis-habisan terlebih karena aku meminjamkan uang tanpa sepengetahuannya.

“Sebentar, Sil! Memangnya kamu yakin kalau suamimu nabrak orang? Jangan-jangan dia berbohong,”

“Enggak mungkin, Mbak! Mas Adam mana pernah membohongiku!” Aku protes.

“Bisa saja. Dia pura-pura kecelakaan agar kamu mengirim uang. Nanti uangnya malah dipakai buat senang-senang sendiri. Mending jangan ditransfer deh,” saran Mbak Nina.

Ucapan kakakku memang selalu mengajakku untuk curiga. Tapi kali ini aku tak percaya, apalagi selama ini Mas Adam memberikan sebagian besar gajinya padaku. Dia hanya pegang sedikit, makanya pas ada sesuatu dia langsung meminta.

“Enggak, Mbak! Mas Adam bukan tipe seperti itu. Sekarang tolong bantu aku cari uang, Mbak!” ucapku memelas.

“Uang dari mana, Shil? Kamu tahu kan aku enggak kerja. Apa kamu tega menagih di saat aku sedang kesusahan?” Mbak Nina memasang wajah sedih.

Melas hati melihat kesedihan di wajah kakakku. Akhirnya kuputuskan tak terus menagih. Meski begitu, aku tetap memutar otak mencari cara agar bisa mendapatkan uang yang diminta suamiku.

***

Aku berlarian kecil saat mendengar deru mesin motor yang berhenti di halaman. Seperti dugaanku, benar itu Mas Adam yang pulang.

“Kamu enggak apa-apa kan, Mas? Kamu baik-baik saja kan?” Aku memindai tubuh suamiku mencari luka atau sejenisnya. Namun, tak kutemukan apa pun selain perban yang menempel di dahi. Saat aku hendak menyentuh perban itu, Mas Adam langsung menepis.

“Kenapa kamu meminjamkan uang tanpa sepengetahuanku!” Bukannya menjawab pertanyaanku, doa justru membentak dengan topik yang lain.

Tak ada yang bisa kukatakan selain maaf yang berulang. Menyesal karena telah membuatnya marah.

“Harusnya kalau mau apa-apa kamu bilang dulu sama aku. Aku suamimu!”

Mas Adam terus mencerocos, membuat tubuh menggigil ketakutan. Seumur-umur baru kulihat kemarahan yang begitu hebat dalam dirinya.

Tepat di saat Mas Adam sedang memarahi, Mbak Nina muncul daro balik pintu. “Ada apa sih? Kok panas-panas begini ribut?”

Aku melirik sekilas pada Mas Adam yang sedang menoleh pada sumber suara tersebut.

“Benar kamu meminjam uang dari Sila, Mbak?” tanya Mas Adam.

“Iya benar,” sahut kakak perempuanku, santai.

“Sekarang mana uangnya, Mbak! Aku lagi butuh,” ucap Mas Adam.

“Belum ada. Kamu cari sama yang lain saja dulu, besok kalau sudah ada baru aku ganti,”

“Cari di mana, Mbak? Jaman sekarang mana ada yang mau meminjami sebanyak itu.” Mas Adam sedikit mengeluh.

Benar. Susah bagi kami untuk mendapat hutang 10 juta. Kalaupun ada teman yang memiliki, belum tentu merela mau meminjamkan.

Suasana lengang sejenak. Mas Adam menjambak rambut kasar. Sepertinya dia sedang stres tingkat tinggi.

“Kamu gadaikan saja sertifikat rumah, Dam! Nanti uangnya aku ikut pakai sedikit. Beres kan?” usul Mbak Nina.

Mendengar itu, aku langsung lega.

“Iya, Mas! Gadaikan saja biar dapat uang cepat,” timpalku.

Mas Adam menatap tajam ke arah kami bergantian. “Enak betul bilangnya. Hutangnya gampang, nyicilnya yang susah!”

Aku diam. Yang dikatakan Mas Adam benar. Mendadak ingat tetangga sebelah yang hidupnya pontang-panting memikirkan pinjaman. Ah ... aku tak ingin seperti itu.

Berkali-kali Mas Adam mendengkus kesal. Sampai saat suamiku tersenyum melihat ke arah tangan Mbak Nina.

“Kamu jual gelangmu saja, Mbak! Buat bayar hutang ke kami. Aku rasa itu cukup,” ucap Mas Adam.

Kontan saja Mbak Nina langsung memegangi perhiasan yang melingkar di pergelangan tangan.

“Jangan. Kalau aku enggak pakai perhiasan, apa kata teman-temanku nanti? Aku pasti malu!” tolak Mbak Nina.

“Kenapa harus malu? Terus terang saja kalau sekarang kamu sudah bangkrut dan suamimu minggat bersama lelaki lain,” ujar Mas Adam.

“Pokoknya aku bilang enggak ya enggak!” tegas Mbak Nina.

Bias sinar di mata Mas Adam jelas sekali memancarkan kekecewaan. Entah karena kecewa terhadapku, atau kakakku.

“Sudahlah, Mas! Kita gadaikan saja sertifikat rumah ini.” Aku kembali membujuk, berharap masalah cepat selesai.

“Diam kamu! Dasar perempuan tak berguna!” Mas Adam mengumpat sebelum akhirnya dia pergi entah ke mana.

Aku masih berdiri di tempat semula dengan air mata yang berderai. Sakit hati ini saat dikatakan tak berguna. Mas Adam sudah berubah. Dia mulai membentakku, padahal dulu tutur katanya begitu lembut.

Apa jangan-jangan benar seperti yang Mbak Nina katakan kalau Mas Adam bermain di belakangku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 16

    Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 15

    Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status