Share

BAB 2

Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Membereskan rumah setelah Mas Adam berangkat kerja.

Mbak Nina-kakak perempuanku belum keluar kamar. Biasanya dia baru bangun setelah mendekati pukul sepuluh siang. Aku tak mempermasalahkan hal itu karena kuanggap dia tamu, jadi tak berkewajiban membantu pekerjaanku.

Terdengar dering nada panggilan saat aku sedang mencuci. Gegas kutinggalkan pekerjaan ini demi melihat siapa yang menghubungi. Rupanya, suamiku yang menelepon.

“Assalamu alaikum, Mas!” ucapku setelah menggeser tombol hijau.

“Waalaikum salam. Tolong transfer uang tabungan ke rekeningku, Sil. Tadi aku menabrak orang,” jawab Mas Adam dengan nada suara terdengar gugup.

“Nabrak di mana, Mas? Kamu enggak apa-apa kan? Sekarang di mana?”

Panik? Tentu saja! Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Mas Adam. Takut kalau-kalau dia terluka parah.

“Aku enggak apa-apa, tapi yang kutabrak masuk rumah sakit. Makanya aku minta kamu transfer uang,” jelas suamiku.

Aku bernafas lega mendengar kabar Mas Adam, tapi kembali panik saat dia memintaku mentransfer uang.

“Tapi, Mas. Uangnya ... “

“Uangnya kenapa?”

“Uangnya dipinjam Mbak Nina,” jelasku.

Sebulan yang lalu Mbak Nina meminjam uang. Karena kasihan, aku memberikan uang tabungan tanpa sepengetahuan Mas Adam.

“Kenapa kamu enggak bilang dulu!” Suara Mas Adam menggelegar. Aku bisa merasakan kemarahan yang meledak-ledak meski tak melihat mukanya.

“Maaf, Mas. Aku ....” Sebelum kalimatku selesai, panggilan tiba-tiba terputus. Kemudian kucoba menelepon balik, tapi panggilan di tolak.

Beberapa saat aku terdiam di sisi ranjang. Memikirkan kemarahan Mas Adam, aku membulatkan tekad untuk menagih pada Mbak Nina. Barangkali dia sudah ada.

Lalu, aku beranjak keluar dan mengetuk kamar sebelah. Karena tak ada sahutan, aku memberanikan diri membuka pintu yang rupanya tak dikunci. Tampak Kakak perempuanku masih lelap di bawah selimut.

“Mbak! Bangun, Mbak!” Aku menggoyang-goyangkan tubuh kakakku. Dia menggeliat sebentar sebelum akhirnya mengerjap-ngerjapkan mata.

“Ada apa, Sil? Apa makanan sudah siap?” tanyanya malas-malasan.

“Sudah. Tapi aku mau bicara soal lain,”

Mbak Nina bangkit lalu menyandarkan tubuh di sandaran ranjang. Mengucek mata sebentar lalu menguap.

“Bicara apaan sih?” tanyanya.

“Uang yang kamu pinjam audah ada kan, Mbak? Mas Adam kecelakaan, jadi aki butuh uang,”

“Hah? Kecelakaan di mana?”

“Di jalan. Dia nabrak orang dan orangnya masuk rumah sakit. Makanya dia minta aku transfer uang ke rekeningnya. Uangnya sudah ada kan?”

Saat Mbak Nina meminjam, dia bilang akan mengembalikan dalam tiga hari. Ini sudah sebulan lebih, makanya aku berani menagih.

“Aku belum ada uang, Sil. Pakai uangmu saja dulu. Yang lain kan masih ada,” jawab Mbak Nina santai.

“Enggak, Mbak! Aku enggak punya uang lagi,” keluhku yang mulai panik.

Kemarahan Mas Adam semakin jelas terbayang di angan. Dia pasti akan memarahiku habis-habisan terlebih karena aku meminjamkan uang tanpa sepengetahuannya.

“Sebentar, Sil! Memangnya kamu yakin kalau suamimu nabrak orang? Jangan-jangan dia berbohong,”

“Enggak mungkin, Mbak! Mas Adam mana pernah membohongiku!” Aku protes.

“Bisa saja. Dia pura-pura kecelakaan agar kamu mengirim uang. Nanti uangnya malah dipakai buat senang-senang sendiri. Mending jangan ditransfer deh,” saran Mbak Nina.

Ucapan kakakku memang selalu mengajakku untuk curiga. Tapi kali ini aku tak percaya, apalagi selama ini Mas Adam memberikan sebagian besar gajinya padaku. Dia hanya pegang sedikit, makanya pas ada sesuatu dia langsung meminta.

“Enggak, Mbak! Mas Adam bukan tipe seperti itu. Sekarang tolong bantu aku cari uang, Mbak!” ucapku memelas.

“Uang dari mana, Shil? Kamu tahu kan aku enggak kerja. Apa kamu tega menagih di saat aku sedang kesusahan?” Mbak Nina memasang wajah sedih.

Melas hati melihat kesedihan di wajah kakakku. Akhirnya kuputuskan tak terus menagih. Meski begitu, aku tetap memutar otak mencari cara agar bisa mendapatkan uang yang diminta suamiku.

***

Aku berlarian kecil saat mendengar deru mesin motor yang berhenti di halaman. Seperti dugaanku, benar itu Mas Adam yang pulang.

“Kamu enggak apa-apa kan, Mas? Kamu baik-baik saja kan?” Aku memindai tubuh suamiku mencari luka atau sejenisnya. Namun, tak kutemukan apa pun selain perban yang menempel di dahi. Saat aku hendak menyentuh perban itu, Mas Adam langsung menepis.

“Kenapa kamu meminjamkan uang tanpa sepengetahuanku!” Bukannya menjawab pertanyaanku, doa justru membentak dengan topik yang lain.

Tak ada yang bisa kukatakan selain maaf yang berulang. Menyesal karena telah membuatnya marah.

“Harusnya kalau mau apa-apa kamu bilang dulu sama aku. Aku suamimu!”

Mas Adam terus mencerocos, membuat tubuh menggigil ketakutan. Seumur-umur baru kulihat kemarahan yang begitu hebat dalam dirinya.

Tepat di saat Mas Adam sedang memarahi, Mbak Nina muncul daro balik pintu. “Ada apa sih? Kok panas-panas begini ribut?”

Aku melirik sekilas pada Mas Adam yang sedang menoleh pada sumber suara tersebut.

“Benar kamu meminjam uang dari Sila, Mbak?” tanya Mas Adam.

“Iya benar,” sahut kakak perempuanku, santai.

“Sekarang mana uangnya, Mbak! Aku lagi butuh,” ucap Mas Adam.

“Belum ada. Kamu cari sama yang lain saja dulu, besok kalau sudah ada baru aku ganti,”

“Cari di mana, Mbak? Jaman sekarang mana ada yang mau meminjami sebanyak itu.” Mas Adam sedikit mengeluh.

Benar. Susah bagi kami untuk mendapat hutang 10 juta. Kalaupun ada teman yang memiliki, belum tentu merela mau meminjamkan.

Suasana lengang sejenak. Mas Adam menjambak rambut kasar. Sepertinya dia sedang stres tingkat tinggi.

“Kamu gadaikan saja sertifikat rumah, Dam! Nanti uangnya aku ikut pakai sedikit. Beres kan?” usul Mbak Nina.

Mendengar itu, aku langsung lega.

“Iya, Mas! Gadaikan saja biar dapat uang cepat,” timpalku.

Mas Adam menatap tajam ke arah kami bergantian. “Enak betul bilangnya. Hutangnya gampang, nyicilnya yang susah!”

Aku diam. Yang dikatakan Mas Adam benar. Mendadak ingat tetangga sebelah yang hidupnya pontang-panting memikirkan pinjaman. Ah ... aku tak ingin seperti itu.

Berkali-kali Mas Adam mendengkus kesal. Sampai saat suamiku tersenyum melihat ke arah tangan Mbak Nina.

“Kamu jual gelangmu saja, Mbak! Buat bayar hutang ke kami. Aku rasa itu cukup,” ucap Mas Adam.

Kontan saja Mbak Nina langsung memegangi perhiasan yang melingkar di pergelangan tangan.

“Jangan. Kalau aku enggak pakai perhiasan, apa kata teman-temanku nanti? Aku pasti malu!” tolak Mbak Nina.

“Kenapa harus malu? Terus terang saja kalau sekarang kamu sudah bangkrut dan suamimu minggat bersama lelaki lain,” ujar Mas Adam.

“Pokoknya aku bilang enggak ya enggak!” tegas Mbak Nina.

Bias sinar di mata Mas Adam jelas sekali memancarkan kekecewaan. Entah karena kecewa terhadapku, atau kakakku.

“Sudahlah, Mas! Kita gadaikan saja sertifikat rumah ini.” Aku kembali membujuk, berharap masalah cepat selesai.

“Diam kamu! Dasar perempuan tak berguna!” Mas Adam mengumpat sebelum akhirnya dia pergi entah ke mana.

Aku masih berdiri di tempat semula dengan air mata yang berderai. Sakit hati ini saat dikatakan tak berguna. Mas Adam sudah berubah. Dia mulai membentakku, padahal dulu tutur katanya begitu lembut.

Apa jangan-jangan benar seperti yang Mbak Nina katakan kalau Mas Adam bermain di belakangku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status