Share

Bab 4

"Kok bisa?"

"Ya bisa lah, Mas. Mas Adit sih mengerem mendadak gitu, pasti sudah benjol kepalaku," sungutku kesal.

"Bukan itu maksudku, kenapa bisa sembuh secepat ini. Bukannya tadi kamu masih lemes?"

"Aktingku bagus, kan, Mas?"

"Akting?" Mas Adit menganga gak percaya.

"Kamu mangap gitu aja masih ganteng, Mas," kekagumanku tak dapat kusembunyikan.

"Gak lucu," sungutnya kesal.

"Auw, sakit tahu, Mas. Kenapa sih suka sekali nyubit pipiku," aku manyun.

"Akting, kamu bilang. Dari tadi aku khawatir tapi ternyata kamu malah akting."

"Hehe," aku nyengir kuda.

"Dasar ratu akting," mas Adit mencebik kesal.

"Jangan marah, dong, Mas. Aku akting kan demi Mas juga. Kalau aku gak akting sakit, pasti Mak Ida bakalan bermalam di rumah."

Mas Adit nampaknya masih kesal. Dia diam saja tanpa melihatku. 

Tiin.

Suara klakson menghentikan pertengkaran kami.

"Sudah pacarannya. Lihat tuh, motor saya jadi ringsek. Kalian harus ganti rugi!"

Astaga, Emak berdaster tadi menghentikan pertikaian kami. Dia kelihatan sangat marah. Buru aku dan Mas Adit turun dari mobil. 

"Mas, bagaimana ini?" aku gemetar. Untung saja tak ada polisi lewat, jadi masalah tak merembet kemana-mana.

"Maaf, Buk, tadi saya gak sengaja. Saya yang salah, karena mengerem mendadak tadi."

"Enak saja cuma minta maaf, ganti rugi!" sungutnya.

"Udah deh, Mas. Ganti rugi aja, lagian Mas yang salah tadi," aku setengah berbisik karena masih syok.

"Ini Buk, biaya buat ke bengkel. Sekali lagi saya mohon maaf!" Nas Adit memberikan beberapa lembar warna merah ke Emak berdaster itu. Untungnya, dia mau diajak damai.

"Lain kali hati-hati!" nasihatnya sebelum pergi.

"Mas, apa ini gara-gara kita melanggar larangan orang tua, ya?. Kita kan masih belum boleh keluar jauh?" aku agak parno.

"Entahlah, Mas juga gak tahu," Mas Adit menggeleng.

Perjalanan kami lanjutkan kembali. Mas Adit melajukan kembali mobilnya. Kini kami melewati simpang empat Tulungrejo lalu belok kiri ke jalan arah Malang. Mas Adit masih mendiamkanku. Nampaknya dia marah betulan. Mas Adit ini, kalau sudah marah pasti sangat irit bicara.

****

"Loh, Mas, kita mau kemana?" tanyaku bingung, karena kini kami sudah melewati pasar Kandangan.

"Kita pulang ke rumah Mama."

"Kok, gitu sih?"

"Kenapa?"

"Kenapa mendadak begini, aku kan belum siap-siap. Kamu marah, ya?. Lihat nih aku aja masih pakai baju kaya gini!" ku tunjuk badanku yang hanya mengenakan gamis rumahan yang sangat tidak pantas digunakan untuk berkunjung ke rumah mertua.

"Salah sendiri bohong, sekarang rasakan pembalasanku," ucapnya menyeringai menakutkan.

"Ya udah maaf deh, lain kali gak diulangi lagi," kutangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda minta maaf.

"Tidak segampang itu, Mas punya hukuman untukmu."

"Hah," aku melongo dibuatnya.

Dasar dosen hukum, salah dikit saja main hukum. Apa jangan-jangan dia balas dendam gara-gara aktingku tadi?. Tapi kan, aku akting demi kebaikannya.Aditya Ardhana, sang kepala batu.

"Mas, putar balik aja, yuk!" aku mencoba bernegosiasi, mumpung perjalanan belum terlalu jauh.

"Maaf, Sayang, keputusanku sudah bulat. Malam ini kita kerumah mama, sekarang tidurlah, nanti kalau sudah sampai, Mas bangunkan."

Aku mengalah, tak ada gunanya berdebat dengannya. Bila kebanyakan orang bilang wanita selalu benar, itu tak berlaku bagi Mas Adit. Dia yang selalu benar dan akan selalu menang. Aku mencoba memejamkan mata saat jalanan sudah mulai meliuk-liuk. 

"Mas, aku mau muntah, cepat pinggirin mobilnya."

Ku keluarkan isi perutku begitu turun di pinggir jalan. Aku memang tidak tahan jika melewati jalanan pegunungan seperti di Pujon ini, membuatku pusing bahkan sampai mabuk perjalanan. Selama empat tahun kuliah di Malang, tiap pulang pergi naik bus, selalu saja mabuk perjalanan.

"Kamu gak akting lagi, kan?" tanya Mas Adit sambil memijat tengkukku. Meskipun dia meragukanku, tapi wajahnya menunjukan kekhawatiran. 

"Kalau aku akting, gak mungkin muntah beneran, Mas," sungutku kesal. Udah tahu istrinya lemes begini masih dikira akting.

"Tadi di rumah muntah beneran juga," dia mengungkit lagi. Rupanya masih jengkel dia.

"Iya deh, maaf!" aku mengalah.

"Ya udah ayo masuk lagi, biar Mas pelan-pelan saja bawa mobilnya, nanti kita beli minum kalau ada minimarket," Mas Adit membimbingku masuk mobil.

Aku duduk dengan mata terpejam. Rasanya perutku sangat mual dan kepalaku pusing. 

"Mas, tolong lambung bus Puspa Indah itu, aku nggak tahan kalau lihat bus itu," ucapku sambil terpejam.

"Ha...ha...ha...," Mas Adit malah tertawa terbahak-bahak.

"Ada yang lucu?" sungutku.

"Jadi, kamu mabuk gara-gara lihat bus itu, Sayang?" Mas Adit menahan tawa.

"Udah deh, gak lucu. Udah tahu istrinya nggak bisa lihat bus itu, malah ngledekin."

"Ha...ha.... Jadi ceritanya tadi nostalgia, nih?"

"Tau, ah. Kamu nyebelin, Mas," aku mencebik. Tidak punya akhlak memang suamiku ini. Istri sudah lemes gini, masih aja diledek. 

Sejurus kemudian, Mas Adit berhasil melambung bus yang membuatku selalu mabuk kepayang itu. Kini, aku bisa bernafas agak legal, namun juga was-was seandainya bertemu bus yang lainnya. 

"Say good bye dulu sama bus kesayanganmu, Sayang," lagi-lagi Mas Adit meledekku. Reflek, kucubit saja perutnya.

"Auw, ganas juga istriku ini, udah mulai berani nih, sekarang, " Mas Adit meringis kesakitan. Salah sendiri, berani membangunkan singa betina tidur. Sekarang rasakan cubitan mautku.

"Udah, ah, aku mau tidur dulu."

"Ya udah tidur aja dulu, nanti Mas bangunin," mas Adit mengusap kepalaku.

Sedetik kemudian aku terlelap. Meskipun tidak bisa nyenyak, setidaknya bisa mengurangi mual dan pusingku.

****

"Sayang, bangun, kita cari minum dulu, biar kamu enakan," Mas Adit menepuk pipiku pelan.

"Sudah sampai mana, Mas?" aku mengerjap. Pusing di kepalaku sudah lumayan reda.

"Lihat, kita sudah sampai alun-alun Batu!" mas Adit membukakan pintu mobil. 

"Cepatnya, Mas, gak kerasa aku."

"Kamu kan tidur, mana kerasa," Mas Adit memencet hidungku gemas.

"Kebiasaan banget sih, mencetin hidungku. Udah tahu hidungku pesek, kalau tambah pesek gimana?" aku mencebik kesal. Maa Adit malah tertawa.

Aku melangkah turun. Perasaan, baru sebentar aku terpejam, kenapa cepat sekali sampai sini?. Karena hari masih sore, belum terlalu banyak pengunjung yang datang. Setahun lebih aku tidak kesini, ternyata makin indah saja. Dulu, sebulan sekali pasti aku dan teman satu geng menyempatkan jalan-jalan kesini.

"Cari minum dulu, yuk, Sayang, biar kamu fresh," ajak mas Adit.

"Tapi habis itu kita cari bajuku dulu, ya, Mas. Aku malu pakai baju begini kalau ketemu mama."

"Siap tuan puteri." 

Kamipun mencari resto dekat alun-alun. Di sini banyak sekali penjaja makanan, tinggal pilih dan sesuaikan dompet saja.

****

"Gimana, udah enakan kan?"

"Udah, Mas. Sekarang mau kemana lagi?" tanyaku setelah kami minum dan aku membeli baju seperlunya. Tak lupa aku ganti baju sekalian dengan baju yang lebih sopan tadi.

"Langsung kerumah, ya, Mas agak capek, nih. Nanti malam kalau mau jalan-jalan, kita ajak Mama sama Papa."

Hatiku deg-degan. Mau ketemu mertua rasanya seperti berangkat perang. Aku hanya dua kali bertemu mertua. Waktu lamaran dan acara nikah kemarin. Aku menata hati, ku tarik nafas pelan lalu menghembuskannya.

"Gak usah takut, Mama gak galak, kok," Mas Adit seolah tahu isi hatiku.

"Aku takut, Mas," Mas Adit meraih tanganku yang dingin akibat takut. Aduh gawat, kenapa aku malah mulas. Aku merutuki diriku, kebiasaanku kalau grogi pasti panas dingin dan perut mulas.

Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Tak terasa kami tiba di depan pagar rumah yang megah.Aku kagum dengan desain rumah ini yang klasik modern. Mas Adit membunyikan klakson, dan tak berapa lama ada lelaki paruh baya yang membukakan pagar. Hatiku makin tak karuan. Gawat, kenapa aku sampai lupa beli oleh-oleh?. Bagaimana ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status