Home / Romansa / SENDIAKALA / 02 DONGENG DARI BAPAK

Share

02 DONGENG DARI BAPAK

Author: Lila Oktavia
last update Last Updated: 2025-04-02 22:03:14

“Buku bacaanmu sangat membosankan, Satya. Kenapa kamu tidak meminta dibelikan buku dongeng pangeran dan tuan putri, dengan gambar-gambar istana indah? Itu lebih menyenangkan daripada buku yang penuh dengan tulisan itu,” ujar gadis kecil yang berada di atas rumah pohon. Ia melihat anak laki-laki di bawah rumah kecilnya sedang berlindung dari panas, sibuk menyelesaikan bacaannya.

Laki-laki itu tidak berniat menggubris temannya, tapi ia sudah menyelesaikan bacaannya. Dengan helaan napas, ia menutup buku, lalu menatap ke atas, mencari sosok gadis yang berbicara.

“Kamu itu, setiap hari hanya pangeran dengan tuan putri saja,” ujarnya sambil menaiki tangga menuju rumah pohon.

“Kenapa?”

“Aku ingin menjadi dokter, bukan pendongeng. Jadi buku ilmu pengetahuan yang harus kupelajari, bukannya cerita dalam kerajaanmu.” Laki-laki itu menata bukunya, bergabung dengan tumpukan buku lain di dalam rumah pohon.

“Baiklah, Dokter. Silakan belajar dan bergelut dengan buku-buku tebal itu,” jawab gadis itu, mengalah, lalu kembali memainkan boneka kayunya.

Laki-laki itu melirik temannya, tertarik dengan benda yang sedang dibawanya. “Apa itu?”

“Saat tadi ke pasar, Bapak membelikan ini untukku. Bagus, kan?” Gadis kecil itu menyodorkan sepasang bonekanya pada Wangsasatya. “Lihatlah baju tuan putriku, cantik, bukan? Serasi dengan pangerannya.”

“Iya. Bagaimana ya, mereka membuat susunan ini? Kreatif sekali penjual di pasar itu.” Satya mendekati Azahra.

“Hah?” Gadis kecil polos itu tidak paham dengan apa yang dibicarakan temannya. Ia menggaruk-garuk kepalanya, bingung melihat bagaimana Satya memperhatikan setiap bagian dari boneka kayunya.

“Bukan begitu cara memainkannya, Satya.” Ia merebut bonekanya dari tangan Satya.

Sepasang boneka kayu. Tuan putri dengan gaun putihnya, dan pangeran dengan pakaian yang serasi. Aku memandangi dengan saksama dan mengingat bagaimana diriku yang kecil dulu suka sekali memainkan ini. Aku mengarang cerita kerajaan dengan boneka kayu yang dibelikan oleh Bapak.

Boneka ini juga mengingatkanku pada Bapak dan dongengnya setiap malam. Tidurku kala itu selalu diiringi mimpi-mimpi indah tentang kerajaan dari cerita beliau. Indah sekali. Bapak yang menciptakan alur dan latar seindah itu.

Mengingat hal itu, aku jadi rindu padanya. Aku ingin dielus kepalaku hingga kantuk melanda. Aku ingin tidur di pangkuannya. Dan aku ingin mendengar dongeng-dongengnya.

“Assalamualaikum…”

Salam terdengar, dan aku tersadar. Itu suara Wangsasatya. Segera aku menghapus air mataku, menyimpan kembali boneka kayu ke atas meja, lalu bangkit untuk menemuinya.

“Assalamualaikum, Azahra…” terdengar kembali saat aku hendak membuka pintu.

“Waalaikumsalam,” sahutku sambil membuka pintu. Dan benar saja, Wangsasatya sudah berdiri di depan.

“Azahra, Uti masakin makanan buat kamu.”

Pria itu menyodorkan sebuah rantang putih bertumpuk tiga padaku. Aroma wangi rendang tercium ketika rantang itu disodorkan lebih dekat ke arahku.

“Hem... wangi banget aroma masakannya.”

Laki-laki di depanku itu terkekeh. “Uti membuat itu sebelum subuh. Uti bilang, biar kamu bisa makan buat sarapan.”

“Waduh… aku jadi nggak enak kalau dengar kayak gini. Tapi yang kayak gini malah bikin aku makin sayang sama Uti.”

“Dan yang kayak gini juga yang bikin aku makin cemburu sama kamu.”

Ujar Satya. Spontan aku tertawa kecil mendengar kalimat itu.

“Oh iya. Besok kamu sibuk, nggak?”

Aku menggeleng, lalu memasang raut wajah tanya.

“Uti bilang, besok mau ngajak kamu ke pantai.”

“Ke pantai?” tanyaku.

Satya hanya menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya. Tapi tanpa berpikir panjang, aku langsung mengiyakan. Satya pasti tahu, kalau sudah soal Uti, sulit sekali untuk Azahra menolak.

***

“Ngomong-ngomong, gimana bukunya? Suka?”

Aku terdiam. Karena belum kubuka sama sekali benda yang diberikan Satya kemarin sore. Aku menoleh ke arah meja tamu, tempat buku itu masih tergeletak rapi. Satya juga melihatnya. Mungkin karena itu ia bertanya.

“Aku belum membacanya, Satya. Tapi sudah bisa kupastikan bahwa itu adalah buku paling bagus yang kupunya. Siti Khadijah siapa perempuan yang tidak mengenal dan mengidolakannya?”

“Kamu harus membacanya.” Ia memberi jeda. “Semoga kamu sudah tidak membenci buku seperti dulu, ya.”

“Di pesantren, ternyata ada banyak buku dan kitab yang harus dibaca. Mungkin dari situlah aku terbiasa, dan kini tak lagi membenci buku-buku tebal itu. Aku tahu sekarang, Satya… kenapa kamu sesuka itu dengan buku-bukumu. Ternyata, semenyenangkan itu membaca.”

“Aku senang mendengarnya,” sahut Satya sebelum ia pamit untuk pulang.

***

Satya pergi, meninggalkanku bersama rendang masakan Uti. Rendang ini masih sama seperti dulu seperti rendang buatan Uti bertahun tahun yang lalu. Saat hari raya Iduladha, Uti akan memasaknya, lalu mengundangku makan bersama keluarganya di meja makan setelah seharian memasak bersama.

Aku ingat betul, Uti tidak membiarkan siapa pun ikut campur dalam acara masaknya. Aku saja hanya boleh melihat, dan mencicipi saat diminta memberi pendapat soal rasa. Karena itu, aroma dan rasa masakan Uti punya keunikan tersendiri. Dan setelah itu, Uti pasti akan mengirimkan rendangnya yang berlimpah ke rumahku. Bapak akan menyajikannya berhari-hari di meja makan. Aku suka. Bapak juga. Maka kami akan menikmatinya dengan senang hati selama tiga hingga lima hari ke depan.

Akan kumakan sajian yang kunobatkan sebagai menu favoritku setelah masakan Ibu.

Masakan ini akan mengajakku kembali ke masa yang kurindukan.

Masa yang tak akan pernah terulang kembali.

Barangkali rasanya masih ada, dan tak akan pernah hilang dari benakku.

Akan tetapi, reka adegan indah itu tak bisa terputar lagi.

Memang, aku sudah terbiasa.

Dan bisa ikhlas.

Hanya saja rindu selalu berhasil menyiksa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENDIAKALA   10 SETUJU DALAM RAGU

    “Pak… Azahra rindu.” Senyumku simpul kala menatap nisan yang bernamakan orang yang kini ku rindukan kehadirannya di setiap tempat ataupun waktu. Aku menatap bunga yang baru saja kutaburkan setelah aku berdua untuk ruh bapak, dan bunga itu melambai-lambai seolah-olah bapak juga mengatakan jika ia juga rindu sama hal nya denganku. Aku tak lagi menangis entah pada hari ini atau pada hari-hari sebelumnya, mungkin karena aku sudah berdamai dengan kepergian bapak, atau mungkin sebab aku mendengar orang yang pergi terlebih dahulu bisa melihat kita dan barangkali karena itu aku tak ingin bapak sedih sebab melihat putri kesayangannya menangis.“Azahra ingat, suatu sore ketika azahra ingin ikut Wangsasatya ke laut bapak tidak mengizinkan Azahra, Azahra marah sebab itu. Kemudian bapak bilang, jika anak kecil tidak memutuskan sesuatu sesuai kehendaknya, sebab ia belum sepenuhnya tau mana yang baik dan mana yang salah. kemudian azahra kecil yang tidak tau beban itu bertanya, kapan azahr

  • SENDIAKALA   09 BIMBANG

    Beberapa malam lalu, mengenai permintaan tidak masuk akal dari mbak Aiza, kian hari canggung selalu melanda. Bahkan jika saja berpapasan dengan mbak aiza di ruangan yang sama aku kerap menghindar. Sungguh, keadaan ini memposisikanku pada kedilemaan besar. Mbak Aiza dengan kesadaran penuh memintaku dengan penuh harab dan keyakinan. Ia katakana bahwa kepercayaannya padaku membuatku pantas untuk mas Risam, lantas bagaimana dengan diriku sendiri? Aku memiliki mimpi untuk diriku sendiri. Tapi aku juga tak ingin penderitaan mbak Aiza. Apa aku harus mengorbankan diriku dengan menjadi Istri kedua dari majikan ibuku? Menghilangkan banyak mimpi dan dongeng-dongeng yang telah ku ciptakan. “Mbak Aiza itu baik sekali sama kita, Nduk.” ujar ibu membuang air bekas bilasan baju yang ku jemur. Aku masih setia dengan kediamanku, kemudian dengan pandangan yang kosong ku amati ibu yang menyiramkan air dari pom pada tanah berpasir di belakang rumah kami, musim kemarau denga

  • SENDIAKALA   08 PERMINTAAN

    “Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak

  • SENDIAKALA   07 SISI GELAP TERAS

    “Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru

  • SENDIAKALA   06 JANJI YANG TAK SAMPAI

    “Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i

  • SENDIAKALA   05 RUMAH WARNA WARNI

    “Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status