Home / Romansa / SENDIAKALA / 03 DI ANTARA DUA PILIHAN

Share

03 DI ANTARA DUA PILIHAN

Author: Lila Oktavia
last update Last Updated: 2025-10-01 20:00:40

“Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.

“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"

“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.

Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesantren tempatku mengais ilmu itu.

“Kita pernah bertemu di lomba tahfidz. Dan di sana, saya merasa kalau saya jatuh hati pada jenengan.” Begitu jawab beliau kala aku bertanya mengapa ia memilih untuk melamarku, sedangkan aku sendiri belum pernah melihatnya.

Jujur, pada awalnya aku merasa bahwa doa-doaku telah dijawab oleh sang maha cinta, bahwasanya ustaz Alif adalah pangeran yang kutunggu selama ini. Namun rasa bahagiaku tidak bertahan lama, sebab pertanyaan yang kuberikan pada ustaz Alif tak mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Aku menginginkan pangeran yang akan menjadikanku ratu, lebih jelasnya satu-satunya ratu di dalam istananya. Namun terlihat jelas sekali keraguan itu di mata miliknya.

“Nduk, jangan bohong sama Umi.” Suara Umi terdengar kembali, dan suara lemah lembut Umi terdengar lebih menyentak daripada tadi.

“Azahra… Azahra masih ragu, Umi.” Jawabku ragu, aku takut jika Umi akan kecewa mendengar jawabanku ini. Umi dan Abah mengenal baik ustaz Alif, oleh sebab itu merekalah yang paling bahagia kala lamaran itu datang untukku.

“Tidak masalah, kamu mantepkan dulu perasaanmu. Tapi ingat ya nduk, jangan menunda-nunda niat baik, kalau sudah mantep, nanti kamu bilang ke Umi atau Abah.” Aku tahu Umi akan paham, namun tetap saja pikiranku berantakan dengan semua ini. Obrolan kami diakhiri dengan salam dari Umi setelah perbincangan ringan. Namun tidak dengan pikiranku.

Aku menempatkan handphoneku di atas meja, di samping buku tebal yang diberikan oleh Satya, dan kini mataku malah terpikat pada buku itu. Khodijah begitu judul buku yang aku baca, di pikiranku spontan terbesit, dapatkan aku menemukan Muhammad seperti-Nya?

“Assalamualaikum, Azahra?” Ada suara seseorang di depan rumah, aku kenal dengan suara itu. Segera aku bangkit untuk memastikan tebakanku, dan benar saja Satya sudah ada di teras rumahku.

“Waalaikumsalam, Satya, ada apa?”

“Aku ke sini mau ngajak kamu ke pantai,” Satya mencopot kacamata hitam yang menutupi matanya.

“Pantai?”

“Iya. Uti yang mengajak, Uti di dalam mobil.” Jelas Satya, dan kulihat dari dalam mobil Uti melambaikan tangan ke arahku.


Sinar siluet di seberang sana terlihat sangat cantik dengan ombaknya yang tenang. Beberapa kali jemari kakiku yang telanjang disentuh oleh ombak kecil yang ditimbulkan anginnya, dingin dan hangat, aku tidak bisa membedakannya, tapi yang jelas itu membuatku sedikit tenang. Aku disugesti oleh segala visual yang terdapat di sini.

“Mau ku foto?” Satya mengarahkan kamera yang ia bawa menghadap ke arahku, aku tersenyum simpul menghadap ke arahnya, dan dapat kudengar suara kamera itu memotret. Satu hingga tiga kali, Satya menyuruhku membuat gaya dan posisi yang berbeda.

“Cantik,” katanya saat melihat hasil dari foto yang ia tangkap.

Kuacungkan kedua jempolku saat ia tunjukkan hasilnya padaku. Kuakui aku terlihat manis di sana, walaupun senyumku tanpa lesung pipi. Pantas saja dulu bapak menjulukiku dengan Nduk Manis, dan aku kembali merenung mengingat cuplikan memori tersebut. Hingga sentakan dari Satya menyadarkanku dari renungan,

“Katanyasi kalau suka ngelamun di laut, rawan kerasukan arwah ikan,” tambahnya yang menciptakan gelagak tawa yang membarengi suara ombak.

“Eh, Uti di mana?” pertanyaanku menghentikan tawa kami.

“Itu, ketemu teman lama katanya, mau ngobrol berdua saja.” Jawab Satya sambil menunjuk keberadaan Uti yang sedang asik berbincang dengan seseorang yang Satya bilang itu teman lamanya.

“Kamu sendiri enggak mau ngobrol sama aku?” Satya bertanya, aku terdiam, menelaah dan mencoba memahami apa arti pertanyaannya. Ia tersenyum menatapku yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Ya… biasanyasih, kalau ada masalah Azahra kecil banyak diamnya.”

Aku menghentikan napasku mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh Satya. Menelan ludah, merasa tidak aman dengan pernyataan laki-laki di depanku ini. Dua hingga tiga detik kemudian aku menciptakan kekehan kecil,

“kemudian Satya kecil akan mengejek masalahnya, Azahra menangis, dan Satya akan dimarahi Uti.” Kuciptakan senyum simpul kala melihat Satya yang tertawa girang sebab ujaranku, aku sedikit lega dapat menemukan topik untuk mengalihkan pembicaraan.

“Aduh… aku minta maaf ya sama perbuatan Satya kecil dulu,” Satya menyatukan tangannya di depan dada. Itu lucu, dan kami tertawa.

Tawa kami dihentikan dengan suara teleponku yang berdering, nama Ibu yang muncul di layarnya, segera kuangkat panggilan itu.

“Assalamualaikum, Ibu?” dengan antusias aku menyapa orang yang sedang kutunggu kedatangannya itu.

“Waalaikumsalam, Azahra.” Ibu menjawab dengan suara yang lebih antusias dariku, aku rindu suaranya apalagi dengan orangnya.

“Bu, Azahra sudah di rumah dari kemarin, Ibu kapan sampai rumah?”

“Nduk, Ibu mau ngabarin, maaf Ibu enggak bisa pulang.” Nada suara Ibu terdengar sangat berat, dan itu juga menghilangkan senyum yang baru saja kusulam,

“Mbak Aiza enggak ngasih izin Ibu untuk pulang, malah Mbak Aiza ngutus kamu ke sini, kamu bisa ke sini kan nduk?”

“Ke rumah Mbak Aiza, Bu?”

“Iya, Nduk, Mbak Aiza bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting sama kamu. Nanti Ibu beri alamatnya kalau kamu lupa.”

Telepon kami terhenti dengan salam yang terucap, dan setelah itu wajahku tak ada ekspresi yang tercipta. Dan karena itu mungkin memaksa Satya untuk bertanya keadaanku, “ada apa?”

“Ibu enggak pulang, dan sepertinya besok aku akan ke Jakarta buat nemuin Ibu.”

“Ke Jakarta? Bareng aku aja, besok aku juga mau balik ke sana,” jawab Satya cepat.

“Balik ke Jakarta?” kini aku yang bertanya.

“Iya, aku ditempatin di Jakarta. Beberapa hari ini aku ambil cuti, dan besok udah balik ke sana.”

“Bisa kali ya, tapi nanti pas cari alamatnya aku sendirian aja, ya.” Ujarku tak ingin menolak dan merepotinya.

“Azahra, Satya. Ayo balik, sudah sore.” Uti memanggil dari kejauhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENDIAKALA   08 PERMINTAAN

    “Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak

  • SENDIAKALA   07 SISI GELAP TERAS

    “Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru

  • SENDIAKALA   06 JANJI YANG TAK SAMPAI

    “Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i

  • SENDIAKALA   05 RUMAH WARNA WARNI

    “Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun

  • SENDIAKALA   04 JEJAK DI RUMAH LAMA

    "Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?""Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Google Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin tu

  • SENDIAKALA   03 DI ANTARA DUA PILIHAN

    “Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status