“Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.
“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu. “Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza. Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak selama dua tahun setelah pernikahan, tapi selama tiga tahun ini kami sudah mengikuti program hamil dan melakukan berbagai upaya untuk bisa memiliki buah hati yang diinginkan Risam ataupun kelurganya.” Tangis mbak Aiza kian menjadi, “Dokter bilang, masalah itu ada di aku, Azahra. Aku yakin Risam akan memiliki buah hati yang diinginkannya jika menikah dengan wanita lain.” Air mata yang turun deras itu segera mba Aiza seka, dan ia ciptakan senyum di sana. “Aku yakin, dan aku ikhlas Azahra. Setelah meilihat kamu, keputusanku bulat seutuhnya untuk memintamu menjadi istri mas Risam.” Aku tidak bisa berfikir apapun selain kesalahan yang ada di otakku. “Mbak-” “Jangan jawab sekarang, Azahra. Sebab aku tau apa jawabanmu. Tolong fikirkan permintaanku ini, aku tidak akan membuat keputusan bodoh Azahra. Pertimbangkan dulu sebelum mengambil keputusan.” mbak aiza menyelesaikan kalimatnya dan juga mengakhiri pembicaraan kami. Sebisa mungkin aku menghindarkan pikiranku tentang perminta yang diberikan mbak Aiza. Mbak Aiza terlihat kacau sekali malam itu, orang dengan kesedihan tidak bisa menentukan keputusan dengan benar. Namun salah jika aku tidak bimbang sebabnya, aku selalu terngiang-ngiang dengan tatapan mbak Aiza dan juga permintaan yang diucapkan dengan penuh rasa harap itu padaku. “Azahra, jangan melamun nak,” ibu menyenggol bahuku, membuat kesadaranku kembali. Aku melihat sayur sop yang sedang ku masak, sudah mendidih, dengan segera aku mematikan kompor di depanku. Ibu menggeleng memperhatikanku, kemudian kembali menyelesaikan cucian piringnya. “Sesuatu memang butuh dipikirkan Azahra, tapi menjadi kesalahan kalo dipikirkan secara berlebihan.” Aku melihat ibu, masih sibuk dengan piring dan sabun di tangannya. Tidak butuh waktu lama, ibu sudah menyelesaikan pekerjaannya, ia menyadari jika anak perempuannya itu tengah memperhatikannya dengan tatapan kebingungan. Ibu mendekatiku, menggapai pundakku, “kalo memang ragu, segera kabari mereka, jangan menggantung dengan tak kunjung memberikan jawaban.” Kalimat yang barusan ibu katakana terasa menggertak, entah dari masalah pertama atau masalah ke dua. “Bu… Azahra…” “Eh, kamu siap-siap, gih.” Ujar ibu cepat setelah menatap rapi beberapa piring di atas meja makan. Aku mengamati ibu sambil mempertanyakan kenapa aku harus bersiap-siap. Ibu malah sibuk menata makanan masakanannya ke meja makan, kemudian berkata, “tadi mbak Aiza nitip pesan, mbak Aiza mau kamu temani dia ke rumah sakit, habis ini kayanya mbak Aiza pulang.” Aku mengernyit. Sedikit cemas jika mengingat bagaimna kondisi mbak Aiza tadi malam, tubuhnya dingin dan wajahnya sangat pucat. Apa sebab itu mbak Aiza sakit? “Mas Risam sudah berangkat ke luar kota, kamu diamanahi untuk mengantar mbak Aiza, dijaga baik-baik ya mbak Aizanya.” Ibu tersenyum menatapku kala aku menghampirnya dengan penuh tanda tanyaku. “Biasanya Mas Risam sendiri yang mengantar, jangankan supir wong mbak Aiza berangkat ke rumah sakit bareng ibu saja tidak boleh kok. Eh ini Mas Risam sendiri kata mbak Aiza yang minta kamu buat menemaninya.” Aku mneyimak bagaimana ibu menjelaskan. Jadi mbak Aiza tidak satu atau dua kali ke rumah sakit? Apakah mbak Aiza punya penyakit serius? “Mbak Aiza sakit, bu?” Ibu terdiam. Wajahnya yang tadi sumringah kini memucat, ada kesedihan yang tengah ibu sembunyikan dariku. “Sudah, kamu antarkan saja, nanti kamu akan tau.” *** “Kamu mau ikut ke dalam? Atau menunggu di sini?” Mbak Aiza bertanya padaku saat kami sudah berada di depan poli kandungan. Aku lumayan ambigu untuk menjawab pertanyaan dari mbak Aiza, pertanyaanku adalah apa mbak aiza akan masuk ke dalam poli ini, akan tetapi aku memilih untuk diam dan memperhatikan saja, sebab ibu bilang jangan terlalu banyak pertanyaan saat berada di rumah sakit. Mbak Aiza masih menunggu jawabanku. “Saya temani mbak Aiza.” Jawabku sedikit ragu, ai yang membuatku yakin ialah ibu bilang untuk selalu menjaga dan menemani mbak Aiza. Kamipun masuk. Di dalam sudah ada dua orang yang menggenakan seragam putih. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui jika salah satu dari orang berpakaian putih itu ialah Wangsa Satya, ia sedang duduk di belakang meja dengan membawa beberapa catatan di tangannya. Ia menatapku dan menatapku dengan sama terkejutnya juga denganku. Ia berdiri dan menyambut kami untuk duduk. “kita bertemu lagi.” Begitu ujar Satya dengan senyum ramah. Aku mengikuti senyumannya Aku mengetahui banyak hal di sini mengenai mbak Aiza, dan mba Aiza sendiri tidak keberatan membagi banyak hal yang dibicarakan denganku. Tentang kondisi kandungan mbak Aiza yang Satya bilang hanya sepuluh persen kemungkinan untuk memiliki anak, tentang program hamil yang rutin dilakukan dari 3 tahun ini, serta tentang keinginan besar mbak Aiza untuk memiliki anak yang terpancar hebat di pembicaraan ini. Aku mengerti mbak Aiza seorang wanita yang menginginkan buah hati, untuk dirinya sendiri ataupun untuk mas Risam dan keluarganya. Maka dari itu, dengan keputusasaannya mbak Aiza membuat permintaan tak masuk akal itu padaku, menikahi suaminya. Tapi yang lebih aku mengerti bahwa mbak Aiza adalah seorang Istri, dan istri mana yang rela membagi suaminya dengan wanita lain. Mengapa aku dilanda gundah gulana? Aku seorang wanita yang memimpikan kehidupan layak dan bahagia. Pada beberapa keadaan ini, salahkah aku untuk tidak memikirkan orang lain terlebih dahulu?“Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak
“Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru
“Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i
“Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun
"Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?""Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Google Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin tu
“Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesa