Home / Romansa / SENDIAKALA / 07 SISI GELAP TERAS

Share

07 SISI GELAP TERAS

Author: Lila Oktavia
last update Last Updated: 2025-10-04 19:22:03

“Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam.

“Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.”

“Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu.

Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru keluar untuk menyambut mereka. Beberapa detik setelahnya keluarga besar yang mungkin berjumlah dua belas orang itu. Orang tertua, mungkin kakek dan nenek mas Risam, kemudian kedua orang tuanya, dan untuk enam lainnya aku tidak bisa menebak siapa itu. Tapi yang jelas dua sepasang suami istri dan empat anak-anak kecil itu adalah anak mereka.

Seketika rungan rumah yang tadinya sepi, kini menjadi ramai, sebab empat anak kecil yang baru saja datang bersama mereka itu terus saja memancing pembicaraan-pembicaraan lucu. Meja makan seperti taman kanak-kanak sebab pembicaraan mereka. Mbak Aiza dan mas Risam yang paling terlibat di pembicaraan mereka. Mereka selalu menyambut pertanyaan atau bahkan cerita dari mereka kala orang tua mereka melerai untuk tidak berbicara di depan makanan.

Acara makan selesai, mereka yang awalya ada di meja makan kini pindah ke ruang keluarga, beberapa dari mereka juga ke teras belakang rumah yang berhadapan dengan taman. Anak-anak yang mungkin berumur lima hingga tujuh tahun itu terus saja mengajak mereka untuk menjelajahi rumah ini, sepertinya mereka baru pertama kali datang ke mari.

Aku dan ibu datang dengan mambawa nampan yang berisi penuh dengan makanan ringan dan buah-buahhan yang sudah di kupas dan di iris rapih oleh ibu. Mbak Aiza yang bersama anak-anak itu berjalan kemari, kemudian duduk di sofa yang kosong bersama dengan mertua, dan kakek nenek keduanya, aku tau sebab ibu memberi tauku tadi di dapur. Dua anak kecil kembar di samping kolam bersama mas Risam itu adalah keponakannya, anak dari sepupu mas Risam. Kemudian anak kecil lain yang berumur enak dan tujuh tahun yang bermain bersama mereka itu adalah sepupunya, anak dari adik bungsu mertuanya.

“Ini Azahra, yang kubicarakan saat itu, Ma.” Mbak Aiza memperkenalkanku, jujur saja aku terkejut mendengar itu. rasanya aneh, tapi yang ada dipikiranku hanya, mungki karena Ibu sudah beradah lama bekerja di sini kemudian mereka menganggap ibu sebagai keluarga, sebagaimana ibu menganggap mereka keluarga juga. Setelah menata piring di atas meja aku berdiri menata diri, kemudian mengangguk sopan kepada mereka.

Aku melihat mereka, menatap mereka satu persatu dengan senyum seperti yang diberikan mereka. Ibu mertua mbak Aiza mendapati tatapanku dengan senyum lebarnya kemudian mengangguk-angguk pelan. Tidak ada pertanyaan atau apapun yang kukatakan pada mereka, hanya sebuah tatapan dan juga senyuman, aku merasa canggung. Beruntung ibu segera mengajakku untuk kembali ke dapur, sebab dari luar mas Risam ingin kami membuatkan jus untuk anak-anak yang bermain dengannya.

Segera aku membantu ibu untuk membuat jus melon pesanan mereka, setelah itu ibu memintaku untuk mengantarkannya ke sana, kepada empat anak kecil yang meminta jus nya. Ada mbak Aiza dan juga mas Risam di sana, lagsung saja ku antar jus itu pada mereka. Entahlah, aku suka sekali melihat mbak Aiza dan juga mas Risam bermain dengan anak-anak itu, kebahagian yang mereka ciptakan seakan bisa tersalur padaku.

“Yei… jus nya udah datang…” salah satu dari mereka berdiri dan menghampiriku dengan riang, mendapari itu aku langsung duduk dan memberikan jus kepada mereka sebab ketiganyapun juga ikut menyerbuku untuk mengambil jusnya. Mereka sepertinya kehausana, dengan tak sabar langsung mereka tengguk hingga mendapat sergapan dari mamanya sebab tak minum dengan duduk.

“Mereka lucu banget, ya…” aku mendengar kekehan dari mbak Aiza menertawai tingkah anak kecil ini.

“Hem… ada masa lucunya, ada masa nyebelinnya Aiza. Kadang tantrum enggak jelas, tapi untung susternya sabar banget. Tapi kalo enggak ada mereka, rumah jadi sepi,” aku tak tau siapa namanya, tapi yang jelas itu adalah ibu dari anak kembar yang masih berumur empat tahun itu, dia adalah sepupu mas Risam yang ibu maksud.

“Kamu kapan mau ada momongan?” seorang wanita yang baru keluar menuju teras itu ikut menyahuti pembicaraan, tersenyum pada mbak Aiza, “pernikahan tanpa seorang anak itu sepi loh, Aiza.” Lanjutnya.

Mbak Aiza yang tadi tersenyum riang, kuperhatikan senyumnya kini berbeda, tak selepas yang tadi. “Do’ain ya, Tan, semoga bisa cepet dapet momongan kaya kalian,” jawab mba Aiza dengan senyumnya yang lebar. Mas Risam yang ada di sampingnya merangkul dengan hangat, sambil menyetujui ujaran istrinya tadi. Ada duka yang tak bisa dijabarkan di dalam sana.

***

Aku terbangun, melihat jam yang menunjukkan pukul satu malam. Air minum yang ibu siapkan di kamar sudah habis, akupun turun, berniat untuk menambil air. Setelah mendapatkannya, kulihat pintu teras belakang rumah terbuka, kupikir tadi aku sudah menguncinya. Pelan-pelan dengan perasaan risau aku mendekati pintu itu, sampainya di sana, aku malah dikerjutkan dengan sosok wanita yang sedang duduk sendiri di bangku taman.

“Mbak Aiza?” aku memanggilnya, lama tidak menoleh, hingga detik ke lima mbak Aiza menghadap ke belakang tepatnya ke araku. Matanya merah hidungnyapun demikian, itu yang bertama kali kutangkap. Aku mendekatinya, merasa khawatir. Tak berani menanyakan sesuatu, hanya menatap matanya yang memang menatapku.

“Kamu belum tidur, Azahra?”

Aku menggeleng, “saya kebangun mbak, turun buat ambil minum, dan lihat pintu teras kebuka.” Jawabku, mbak Aiza mengangguk. “Mbak Aiza enggak papa?” tanyaku ragu.

Orang yang ku ajak bicara tidak menjawab, ia memberiku kode untuk duduk di sampingnya, tangannya yang dingin itu menggenggam tanganku. “Menikahlah dengan Risam.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENDIAKALA   08 PERMINTAAN

    “Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak

  • SENDIAKALA   07 SISI GELAP TERAS

    “Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru

  • SENDIAKALA   06 JANJI YANG TAK SAMPAI

    “Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i

  • SENDIAKALA   05 RUMAH WARNA WARNI

    “Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun

  • SENDIAKALA   04 JEJAK DI RUMAH LAMA

    "Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?""Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Google Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin tu

  • SENDIAKALA   03 DI ANTARA DUA PILIHAN

    “Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status