LOGINBeberapa malam lalu, mengenai permintaan tidak masuk akal dari mbak Aiza, kian hari canggung selalu melanda. Bahkan jika saja berpapasan dengan mbak aiza di ruangan yang sama aku kerap menghindar. Sungguh, keadaan ini memposisikanku pada kedilemaan besar. Mbak Aiza dengan kesadaran penuh memintaku dengan penuh harab dan keyakinan. Ia katakana bahwa kepercayaannya padaku membuatku pantas untuk mas Risam, lantas bagaimana dengan diriku sendiri? Aku memiliki mimpi untuk diriku sendiri. Tapi aku juga tak ingin penderitaan mbak Aiza.
Apa aku harus mengorbankan diriku dengan menjadi Istri kedua dari majikan ibuku? Menghilangkan banyak mimpi dan dongeng-dongeng yang telah ku ciptakan. “Mbak Aiza itu baik sekali sama kita, Nduk.” ujar ibu membuang air bekas bilasan baju yang ku jemur. Aku masih setia dengan kediamanku, kemudian dengan pandangan yang kosong ku amati ibu yang menyiramkan air dari pom pada tanah berpasir di belakang rumah kami, musim kemarau dengan ainginnya yang besar membuat belakang rumah kami gersang. Ibu menyiramnya dengan telaten, aku memilih melanjutkan pekerjaanku. “Nduk…” tiba-tiba saja ibu menyentuh pundakku, membuatku terkejut, tersadar dari lamunan. “kamu enggak ada masalahkan sama mbak Aiza kan?” sebuah kalimat tanya dari ibu membuatku menelan ludah. “Nduk…” ibu meminta jawabanku. Aku menggeleng. Ibu mengernyit, alisnya seolah-olah akan bertemu dari ujung ke ujung, “terus kenapa tiba-tiba saja mbak Aiza meminta ibu buat nemenin kamu pulang? Ibu juga memperhatikan, kamu selalu saja menghindari mbak Aiza, nduk.” Helaan nafas panjang terdengar kasar dari ibu. Pertayaan dan pernyataan dari ibu membuatku semakin tertekan. Benar adanya, aku meminta izin kepada mbak Aiza untuk pulang bersama ibu dengan alasan memikirkan jawaban untuk permintaan bodoh yang di berikan oleh mbak Aiza. “Jujur sama ibu, Nduk. Sebenarnya ada apa? ibu jadi sungkan sama mbak Aiza. Mbak Aiza itu baik lo sama keluarga kita. Kalo ibu nggak ketemu sama mbak Aiza, entah bagaimana hidup kita. Pengobatan bapakmu, dan biaya pendidikanmu. Semua karena kebaikan dari mbak Aiza. Bahkan pengabdian ibu bertahun-tahun lamanya enggak bisa membalas. Jadi, kalo memang ada apa-apa kamu yang ngalah ya Nduk." Panjang lebar ibu menjelaskan betapa berbudinya mbak Aiza dengan keluarga kami membuatku kian merasa sesak di sini. Aku juga tau bagaimana tidak mampunya kami dahulu, bapak memang bekerja, tapi penghasilan dari bapak hanya cukup untuk makan kami sehari-hari. Aku ingat betul bagaimana genteng rumah kami yang bocor saat hujan melanda yang membuatku terbangun dari tidur pulasku, dan setelahnya ibu mengirim uang untuk membeli genteng baru, tapi ternyata mbak Aiza memberi uang lebih untuk memperbaiki rumah kayu kami menjadi rumah yang lebih dari layak huni. Setelah bapak sakit-sakitan aku memutuskan pulang dari pondok pesantren untuk merawat bapak sambil menjual gorengan buatanku. Ibu tau, dan tentunya memberi tahu mbak Aiza, dan karena karenanya perawatan serta pengobatan bapak, hingga bapak meninggalpun mbak Aiza yang membiayai, tak biarkan ibu mengeluarkan uangnya yang sekedar cukup untuk semua ini. segala hal mbak Aiza tanggung hingga biaya pendidikanku di pesantren. Akan tetapi semua ini solah-olah menyodorkankan pada sebuah permasalahan rumit yang tak membiarkanku maju ataupun mundur. Dan pernyataan dari ibu seolah-olah memaksaku harus memilih untuk menerima permintaan dari mbak Aiza, menjadi istri kedua, dan menghilangkan dongeng-dongeng impianku. Aku terhimpit.Tak tahan lagi untuk menahan tangis yang sudah sedari tadi ingin aku jeritkan. Ibu panik, khawatir melihat air yang mengalir tanpa pamit terlebih dahulu. Bahkan kudengar juga permintaan maaf dari ibu yang merasa bersalah tak dapat memahami anaknya. Berkali-kali aku dengar ibu bertanya mengapa, tapi aku lebih memilih untuk diam, sebab di dalam rasanya terlalu berisik, aku takut jika aku berbicara dan tak bisa mendengarkan suaraku sendiri. “Kita benar-benar berhutang budi pada mbak Aiza.” Ujarku sayu ditengah puluhan Tanya dari ibu yang belum terjawab. “Tapi apakah Azahra harus mengorbankan kehidupan Azahra untuk membalas budi itu?" Ibu teridam beribu bahasa. Bahkan matanyapun tak kudapati pergerakan, benar-benar sedang mencoba memahami apa yang sedang ku sampaikan. “Mbak Aiza meminta Azahra untuk menikah dengan mas Risam, menjadi istri kedua mas Risam.” Aku menatap ibu setelah menyelesaikan kalimatku, ibu tengah menatapku dengan kerutan di keningnya, mulutnya terbuka beberapa mili, dan mataya membulat lebar. Perlahan, ibu menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan. Maka dari itu aku menjelaskan kenapa mbak Aiza selalu saja memohon padaku, serta memperlihatkan padaku berbagai hal tentang masalah kandungannya. Setelah itu mulut ibu melantunkan kalimat istigfar berkali-kali, dan sesekali meminta maaf padaku. kuperhatikan ibu yang kini menangis, bahkan jika ia tidak mulutnya dengan telpaak tangan mungkin jeritannya akan terdengar lantang. Ada banyak penyesalan dan juga rasa bersalah dari raut wajah ibu. “Azahra bingung bu, segala pernyataan dari mbak Aiza membuat Azahra semakin terhimpit. Padahal sejak awal, sejak mbak Aiza memberikan permintaan Azahra pastikan untuk menolak, tapi mbak Aiza enggak membiarin Azahra melakukan itu. dan semakin lama rasanya semakin berat, Azahra seolah-olah enggak memiliki kemampuan untuk menolak.” Ibu mendekap kedua pipiku dengan tangannya yang terasa dingin, “Azahra dengarkan ibu.” Ibu membutaku menatap matanya yang telah merah dan keruh sebab air mata, aku hanya terdiam sambil menatap bagaiana ibu menatapku dengan tajam, “Jangan mengambil langkah yag salah dengan menerima permintaan dari mbak Aiza. Enggak ada wanita yang mau di duakan, Nduk. Entah dirimu sendiri ataupun mbak Aiza. Setelah ini, segera hubungi mbak Aiza untuk menolak permintaan itu.” Aku hanya terdiam. Dilanda bimbang dengan apa yang ibu katakan. Sebab selama berhari-hari lamanya aku berpikir, selalu saja ada perlawanan dan alasan untuk aku menolak permintaan konyol mbak Aiza. Ibu benar, tidak ada wanita yang mau bahkan rela jika suaminya menjadi milik wanita lain, bahkan aku yakin mbak Aiza juga demikian. Tapi barang kali mbak Aiza memintaku utuk mengurangi rasa sakitnya. Dengan memilih siapa yang akan mendampingi suaminya menjadikannya sedikit lega. Dan diriku sendiri, kasian atas mbak Aiza seperti bagaimana Ia mengasihani kami dahulu. Kulihat ibu. Barangkali maksud tatapan itu adalah ketidak percayaan, maka sama seperti ibu aku juga tak percaya dengan keputusan otak ataupun hatiku. Mereka kerap berdebat hebat walau akhirnya tak juga mendapatkan keputusan yang selayaknya bisa dijadikan pedoman. Semua ini benar-benar mengguncangku.“Pak… Azahra rindu.” Senyumku simpul kala menatap nisan yang bernamakan orang yang kini ku rindukan kehadirannya di setiap tempat ataupun waktu. Aku menatap bunga yang baru saja kutaburkan setelah aku berdua untuk ruh bapak, dan bunga itu melambai-lambai seolah-olah bapak juga mengatakan jika ia juga rindu sama hal nya denganku. Aku tak lagi menangis entah pada hari ini atau pada hari-hari sebelumnya, mungkin karena aku sudah berdamai dengan kepergian bapak, atau mungkin sebab aku mendengar orang yang pergi terlebih dahulu bisa melihat kita dan barangkali karena itu aku tak ingin bapak sedih sebab melihat putri kesayangannya menangis.“Azahra ingat, suatu sore ketika azahra ingin ikut Wangsasatya ke laut bapak tidak mengizinkan Azahra, Azahra marah sebab itu. Kemudian bapak bilang, jika anak kecil tidak memutuskan sesuatu sesuai kehendaknya, sebab ia belum sepenuhnya tau mana yang baik dan mana yang salah. kemudian azahra kecil yang tidak tau beban itu bertanya, kapan azahr
Beberapa malam lalu, mengenai permintaan tidak masuk akal dari mbak Aiza, kian hari canggung selalu melanda. Bahkan jika saja berpapasan dengan mbak aiza di ruangan yang sama aku kerap menghindar. Sungguh, keadaan ini memposisikanku pada kedilemaan besar. Mbak Aiza dengan kesadaran penuh memintaku dengan penuh harab dan keyakinan. Ia katakana bahwa kepercayaannya padaku membuatku pantas untuk mas Risam, lantas bagaimana dengan diriku sendiri? Aku memiliki mimpi untuk diriku sendiri. Tapi aku juga tak ingin penderitaan mbak Aiza. Apa aku harus mengorbankan diriku dengan menjadi Istri kedua dari majikan ibuku? Menghilangkan banyak mimpi dan dongeng-dongeng yang telah ku ciptakan. “Mbak Aiza itu baik sekali sama kita, Nduk.” ujar ibu membuang air bekas bilasan baju yang ku jemur. Aku masih setia dengan kediamanku, kemudian dengan pandangan yang kosong ku amati ibu yang menyiramkan air dari pom pada tanah berpasir di belakang rumah kami, musim kemarau denga
“Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak
“Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru
“Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i
“Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun







