Mag-log in“Pak… Azahra rindu.” Senyumku simpul kala menatap nisan yang bernamakan orang yang kini ku rindukan kehadirannya di setiap tempat ataupun waktu. Aku menatap bunga yang baru saja kutaburkan setelah aku berdua untuk ruh bapak, dan bunga itu melambai-lambai seolah-olah bapak juga mengatakan jika ia juga rindu sama hal nya denganku. Aku tak lagi menangis entah pada hari ini atau pada hari-hari sebelumnya, mungkin karena aku sudah berdamai dengan kepergian bapak, atau mungkin sebab aku mendengar orang yang pergi terlebih dahulu bisa melihat kita dan barangkali karena itu aku tak ingin bapak sedih sebab melihat putri kesayangannya menangis.
“Azahra ingat, suatu sore ketika azahra ingin ikut Wangsasatya ke laut bapak tidak mengizinkan Azahra, Azahra marah sebab itu. Kemudian bapak bilang, jika anak kecil tidak memutuskan sesuatu sesuai kehendaknya, sebab ia belum sepenuhnya tau mana yang baik dan mana yang salah. kemudian azahra kecil yang tidak tau beban itu bertanya, kapan azahra memutuskan keputusan untuk azahra sendiri. Bapak bilang dengan bangga, jika suatu hari nanti, ketika azahra besar dan beranjak dewasa akan ada banyak keputusan-keputusan penting dan besar yang harus azahra ambil.” Aku menghela nafas. Rasanya ada sesuatu yang di tenggorokanku, sakit dan nyeri hingga dada. Susah payah aku menyulan senyum tapi masih saja tak bisa membujuk diriku untuk tidak menangis. Hingga akhirnya bendunganku bocor, dan air mataku mengalir deras membasahi pipi hingga membuat basah kerudungku. Air mata jatuh tanpa permisi, ia tak sopan. Aku tak bisa melanjutkan kalimatku. Lidahku kilu. Hanya isak yang keluar dari mulutku dan sela-sela napasku. Berulang kali aku mengucap maaf di dalam hati, semoga bapak tidak bersedih sebab menyaksikan gadisnya yang di didik untuk kuat menjadi selemah ini. Semoga bapak tidak kecewa, gadisnya yang sudah diberinya banyak petuah menjadi sedilema ini. Dan semoga saja bapak tidak tau jika gadisnya ini sedang menghindari berbagai masalah yang sedang menimpanya. Angin yang sedari tadi menemaniku kini membawa hujan untuk menemaninya. Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur tanah lapang ini dan diriku. Bunga yang tadi baru saja kutaburkan dibuatnya layu dan meyebar sebab kerja sama angin dan hujan, gamisku yang bersih dibuatnya berlumur tanah pada bagian bawahnya. Hujan menghentikan air mataku, membuatku tersenyum getir, merasakan alam juga prihatin padaku. hujan saja sampai turun, apakah langit juga ikut menangis sama seperti diriku? mungkin saja, ia sedang memperhatikan dan mendengarkan diriku. Ku tarik napas panjag, walau sedikit sulit di derasnya hujan. Menggenggam erat nisan bapak, dan menyulam senyum dan mengatakan pada bapak jika gadisnya akan segera mengambil keputusan besar setelah pertimbangan panjang dari banyaknya ingatan tending petuah-petuah yang duhulu bapak berikan. Aku juga mengirim doa kepada tuhan semoga selalu dijaga-Nya bapak dan di beri tempat ternyaman di sana. Aku hendak bangkit, dan sebuah suara mengejutkanku. Suara itu memanggil namaku tapat di sampingku, bersamaan dengan hujan yang berhenti menerjang. Hujan masih deras, akan tetapi ada yang melindungi hingga hujan itu seolah tak berani menyentuh. Segera aku melihat ke aras sumber suara yang itu berasal, dan betapa terkejutnya aku jika itu adalah mas Risam, suami mbak Aiza. Aku langsung menunduk kala mata kita saling bertemu. Kemudian mencari-cari sosok lain di tanah luas yang tengah di guyur hujan lebat ini, tapi tak kutemui siapapun termasuk mbak Aiza, hanya saja aku bisa melihat mobil mas risam terparkir di depan gerbang tanah mahkam ini. “Kenapa tidak berteduh, Azahra? Kamu bisa sakit jika hujan-hujanan seperti ini. Pegang lah payung ini, dan mari berteduh.” Ia menjulurkan payung yang digunakannya untuk melindungiku dari deraian hujan dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia gunakan menahan payung yang digunakan untuk melindungi dirinya sendiri. “Azahra, ayok! Hujan semakin lebat.” Suaranya terdengar menggertakku sebab aku hanya diam tanpa memberikan jawaban. Banyak pertanyaan dariku hingga membuatku tak bisa berbicara ataupun berpikir dengan jernih kala ini. Aku hanya terdiam, menuruti dengan mudah apa kata mas Risam, mengikutinya berjalan menelusuri jalanan yang diciptakan di antara gundukan tanah. Aku mengikuti pria ini hingga masuk ke dalam warung Mak Darsini. Hampir semua orang yang ada di dalam warung tersebut memandangi kami yang basah kuyup walau telah menggunakan pelindung, hujan begitu lebat ditambah lagi angin. Aku tak menatap masing-masing di antara pengujung warung, tapi aku tau, mereka menatap kami dengan tatapan aneh itu. Aku tak ingin berpikir panjang, sama halnya mas Risam yang menghiraukan tatapan mereka. Mas risam menuju di mana tempat mbak Aiza duduk. Kulihat mbak Aiza di sudut warung, ia dengan tersenyum dan seolah mengintruksi untuk kami segera menghampirinya. Saat aku hendak menciptakan langkah sama halnya mas Risam langkahku terhenti sebab Mak Darsimi yang menanyaiku dengan banyak pertanyaannya tentang sebab diriku yang basah kuyup dan kotor demikian. Ada banyak paksaan dari Mbok Darsim untuk aku mengganti pakaianku yang kotor dan basah kuyup ini. Tapi dengan rasa tak enak aku menolaknya, sebab aku lebih merasa tidak enak dengan mbak Aiza dan juga mas Risam, mereka datang ke mari pasti bukan tanpa sebab. Mak Darsim memberiku handuk, dia bilang agar aku tak sakit sebab angin yang menerpa bumi. Aku setuju, kemudian membenarkan, Mak Darsim cukup senang mendengarnya. Aku menghampiri dua pasang kekasih yang sedang berbahagia, itu yang kulihat kala mereka berinteraksi cukup mesra di pojok sana. Terlihat hangat. Mas Risam yang mengayomi, tatapan dan caranya menyampaikan kasih sayangnya pada mbak Aiza, cukup membuktikan di mata para pemandang mengira bahwa mereka adalah pasangan yang sempurna, tak memiliki kekurangan apapun. Andai saja mereka telusuri lebih dalam, ada penderitaan dari mbak Aiza. "Azahra…” mbak Aiza memulai pembukaan kala kami hanya memandangi bagaimana mas Risam meninggalkan kami untuk membayar pesanan. Mbak Aiza memberikanku tatapan itu, sungguh aku tak menyukainya, segala banteng pertahananku bisa runtuh seutuhnya dengan tatapan itu. Aku menarik panjang napasku, mencoba mayakinkan diri sendiri, “Insya Allah saya menerima permintaan mbak Aiza untuk menikah dengan Mas Risam."“Pak… Azahra rindu.” Senyumku simpul kala menatap nisan yang bernamakan orang yang kini ku rindukan kehadirannya di setiap tempat ataupun waktu. Aku menatap bunga yang baru saja kutaburkan setelah aku berdua untuk ruh bapak, dan bunga itu melambai-lambai seolah-olah bapak juga mengatakan jika ia juga rindu sama hal nya denganku. Aku tak lagi menangis entah pada hari ini atau pada hari-hari sebelumnya, mungkin karena aku sudah berdamai dengan kepergian bapak, atau mungkin sebab aku mendengar orang yang pergi terlebih dahulu bisa melihat kita dan barangkali karena itu aku tak ingin bapak sedih sebab melihat putri kesayangannya menangis.“Azahra ingat, suatu sore ketika azahra ingin ikut Wangsasatya ke laut bapak tidak mengizinkan Azahra, Azahra marah sebab itu. Kemudian bapak bilang, jika anak kecil tidak memutuskan sesuatu sesuai kehendaknya, sebab ia belum sepenuhnya tau mana yang baik dan mana yang salah. kemudian azahra kecil yang tidak tau beban itu bertanya, kapan azahr
Beberapa malam lalu, mengenai permintaan tidak masuk akal dari mbak Aiza, kian hari canggung selalu melanda. Bahkan jika saja berpapasan dengan mbak aiza di ruangan yang sama aku kerap menghindar. Sungguh, keadaan ini memposisikanku pada kedilemaan besar. Mbak Aiza dengan kesadaran penuh memintaku dengan penuh harab dan keyakinan. Ia katakana bahwa kepercayaannya padaku membuatku pantas untuk mas Risam, lantas bagaimana dengan diriku sendiri? Aku memiliki mimpi untuk diriku sendiri. Tapi aku juga tak ingin penderitaan mbak Aiza. Apa aku harus mengorbankan diriku dengan menjadi Istri kedua dari majikan ibuku? Menghilangkan banyak mimpi dan dongeng-dongeng yang telah ku ciptakan. “Mbak Aiza itu baik sekali sama kita, Nduk.” ujar ibu membuang air bekas bilasan baju yang ku jemur. Aku masih setia dengan kediamanku, kemudian dengan pandangan yang kosong ku amati ibu yang menyiramkan air dari pom pada tanah berpasir di belakang rumah kami, musim kemarau denga
“Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak
“Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru
“Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i
“Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun







