"Lihat itu anak kamu, anak lelaki kebangganmu nggak bisa jalan, lumpuh, nggak bisa bicara, cacat" teriak Lek Santoso, Ayah Angga.
"Santoso! Jangan pernah bawa-bawa anakku, kamu wa ras atau sudah gila? Sini kamu kalau berani!" teriak Ayah tak kalah keras.Lelaki yang masih ada ikatan hubungan keluarga itu saling naik pitam. Ayah yang tangannya dipegang erat oleh ibu seakan kemarahannya sudah sampai tingkat atas."Kamu tahu apa artinya keluarga? Keluarga itu saling menghormati dan menghargai bukan menghina seperti ini. Jika kamu tidak terima dengan niat baikku, bicara baik-baik!" tegas Ayah.Namun, bukan pada Lek Santoso dia malah berkacak pinggang seolah menantang Ayah. "Aku nggak butuh keluarga seperti kamu, memalukan. Punya saudara kok ca cat! Malu!"Tangan ini mengepal erat, urat-urat nadi menyembul menandakan aku sedang berada di titik puncak kemarahan. Masih kutahan karena berharap dia akan sadar dengan ucapannya dan meminta maaf.Namun, bukannya permintaan maaf yang keluar. Dia justru semakin garang berbicara dengan kalimat sesukanya tanpa peduli ini ada orang yang lebih tua darinya dan patut dihormati.Santoso adalah suami dari adik Ayahku, Lek Wati. Bukan tanpa sebab, dia marah karena baru saja di ingatkah oleh Ayah untuk tidak terlalu mengumbar masalah pribadinya dengan orang lain. Semua itu aib, dan sebaik-baiknya aib keluarga adalah menyimpannya baik-baik.Karena, malu jika sampai aib keluarga di sebarluaskan hanya karena ego yang tersulut api emosi. Dia memang mempunyai kebiasaan buruk yang sulit terkendali, mengatakan semua aib keluarga di khalayak ramai. Dan itu membuat Ayah malu.Aku masih saja terdiam dengan mengepal kuat mendengar ocehannya yang membakar amarah. Dadaku bergemuruh, ingin sajanya membanting dia ke tanah dan menginjak-injak menjadi bagian terkecil dan hilang di terpa angin."Seharusnya kamu sadar, jika mempunyai anak lumpuh dan nggak bisa ngapa-ngapain. Malu. Contoh ini aku, gagah, tegak dan kuat, mana mungkin mempunyai keturunan seperti dia!" teriaknya kembali dengan menunjuk ke arah Mas Agus, Kakak sulungku yang memang sedang sakit di daerah otaknya, sehingga tidak bisa lagi seperti semula.Sejak usia delapan bulan, saat aktif-aktifnya seorang bayi, Mas Agus justru terserang penyakit yang tidak pernah melintas di pikirkan Ayah, panas tinggi membuat tubuhnya rentan terhadap penyakit dan saat itu Mas Agus mulai mengalami kelumpuhan pada tubuhnya serta tidak bisa berbicara sedikitpun. Meski sudah segala macam pengobatan dari medis dan alternatif, dilakukan upaya demi kesembuhannya.Sungguh bagai petir disiang hari yang menyambar di hati kedua orang tuaku kala itu. Mereka berada dititik terendah dan hampir saja putus asa untuk mempunyai keturunan lagi. Alhasil, aku dan Mas Agus terbentang jarak cukup lama.Sebagian harta benda telah digunakan untuk berobat, tapi masih saja tidak ada tanda-tanda kesembuhan pada Kakak lelakiku satu-satunya itu. Namun, bukan seperti ini yang kami harapkan.Lek Santoso dengan angkuhnya berteriak dan berjoget serta menepuk-nepuk pan tatnya kearah Ayah yang menatapnya nanar. Ayah, mungkin hatinya telah menangis. Buktinya, suara yang hendak keluar dari tadi tidak bisa di rangkai kata-katanya.Beliau justru mematung dengan tangan mengepal kuat, sama sepertiku. Ibu, jangan tanya beliau sedang apa. Ibu tergugu di pojok rumah, mendengar semua perkataan orang yang seharusnya menghormati mereka sebagai saudara. Keluarga."Hahaha, kalian itu bodoh. Punya anak kok seperti itu." Kini anak dari Lek Santoso, Angga yang bersuara nyaring dan terbahak-bahak."Hei, kamu Santoso. Hidup itu tidak selamanya diatas, tidak ada orang yang menghendaki anak seperti Agus. Tidak! Andai aku bisa meminta kepada Tuhan dan dikabulkan, maka aku pun sama ingin mempunyai anak-anak yang sehat seperti kamu. Mempunyai banyak uang supaya bisa membeli mobil sepuluh dan rumah tingkat tiga.Jangan mentang-mentang kamu sekarang sukses lalu seenaknya menghina kami seperti ini. Jika kamu tidak mau dinasehati, cukup bilang tidak mau. Jangan bawa anakku yang tidak tahu-menahu!"Ayah berteriak kencang sekuat tenaga, urat-urat di lehernya mulai terlihat. Matanya memerah memandang kedua makhluk hidup yang sangat keji mulutnya itu.Emosi yang kupendam tak bisa ku sembunyikan rapat-rapat. Aku berjalan menuju tempatnya berdiri, memandang bapak dan anak yang tersenyum mengejek itu dengan sangat murka."Apa salah Mas Agus padamu?" tanyaku lantang.Rasanya dada ini sudah mau meledak dan memporak-porandakan banguna megah rumah Lek Santoso yang berdiri di depan rumah kami. Amarahku sudah tidak bisa ditahan. Apapun akibatnya aku akan melawan, apapun itu."Aku hanya memberitahu orang tuamu, jangan mengusik kehidupanku. Lihat itu Kakak kamu saja cacat dan nggak bisa ngapa-ngapain. Kenapa juga menasehatiku seolah dia lebih baik dari kami? Hah?! Aku nggak takut sama kamu!" bentaknya masih dengan memperagakan aksinya yang berjoget ria."Coba peragakan lagi kamu berjoget di depanku! Aku mau lihat kebolehanmu itu!" tantangku nyalang."Hah! Kamu itu hanya anak kecil yang goblok. Kamu nggak ada hak untuk memerintahku, apa jabatanmu?" Mata itu masih saja nyalang, bahkan hampir saja melompat dari lobanhnya."Aku, aku nggak masalah kamu mau marah atau apapun. Namun, apa salah Mas Agus terhadapmu? Apa? Dia kakakku tidak bisa memakimu atau berbicara buruk kepadamu, lalu kenapa kamu mengusiknya?" ulangku lantang."Hei, kamu! Kamu jangan sekali-kali berteriak kencang di depan Ayahku. Dan dengar ucapanku, aku bisa saja memenjarakanmu karena masuk ke dalam rumahku ini. Ingat! Kamu tidak ada secuilnya dari kami. Pergi!" bentak Angga dengan menepis tanganku kasar."Aku tidak takut! Di penjara seumur hidup pun aku tidak takut, karena aku membela keluargaku apalagi Mas Agus." Aku pun tak kalah kasar, aku menunjuk wajah mereka dengan garang.Tidak sedikitpun rasa takut muncul di benakku. Tidak ada. Bahkan jika aku bisa, maka ingin saja rasanya aku tampar muka Lek Santoso itu keras. Berharap giginya yang ompong itu sekalian rontok dari gusinya.🖤🖤🖤Aku melangkahkan kaki menuju rumah. Amarah ini masih membakar dan sampai saat ini masih membara. Rasanya aku ingin mencaci makinya, menampar serta mengajaknya duel. Sampai rumah hatiku bertambah perih, Ayah dan Ibu tergugu. Kedua orang tua yang aku sayang itu menangis dan membuat hati ini remuk-redam. Andai aku bisa meniup mereka dan melenyapkan tanpa menyentuh, pasti akan aku lakukan di depannya barusan. Sayangnya, semua itu hanyalah imajinasiku yang melintas sesaat. Mas Agus yang duduk tak jauh dari Ayah dan Ibu hanya bisa melihat kedua orang tuanya terluka dalam. Sungguh perlakuan kedua orang tadi membuatku semakin membencinya sebesar gunung Himalaya."Tolong, demi apapun jangan pernah ikut campur lagi masalah mereka. Biarkanlah mereka seperti itu, aku nggak akan rela jika anak-anakku dihina serendah itu lagi," isak Ibu dengan bibir bergetar."Tidak akan lagi. Tidak." Ayah menunduk, aku tahu ada luka besar yang begitu menganga. "Maafkan, Ayah, ya, Gus. Ayah tidak bermaksud membua
Rumah Bi Salimah sejak pagi tadi kelihatan ramai, banyak saudara datang ke kediamannya. Mobil dan motor terparkir di halaman rumahnya yang luas. Aku yang melihat mendadak menjadi tidak enak hati, jantungku seolah merasakan akan terjadi sesuatu yang diluar kehendak. Namun, aku berusaha menepisnya. Alangkah baiknya jika berpikir posyandu jernih, supaya sesuatu yang tidak terduga nanti pun akan baik. "Kok ramai banget, ada apa, ya?" tanah Ibu yang aku jawab dengan mengedikkan kedua bahu. "Andai ada acara keluarga, pasti kita akan diundang. Apa mungkin karena hal kemarin jadi mereka tidak mengundang kita?" tanya Bapak dengan mata masih memandang keluar. "Sudah, Pak. Biarkan saja, kalau mereka masih menganggap Bapak ada pasti akan datang kemari untuk berbicara. Namun, kalau tidak, tolong Bapak nggak usah ikut campur. Diam saja di rumah!" tegasku. Bukannya aku ingin menjadi anak durhaka yang membentak orang tuanya seperti itu, hanya saja aku nggak mau kejadian kemarin menjadikan luka i
Malam ini masih saja ramai di rumah Bi Salimah, justru saat malam semakin beranjak naik dan sesudah Isya, para tamu berdatangan memenuhi halaman rumahnya. Riuh para tamu seakan ada acara keluarga yang bahagia. Namun, lagi-lagi mengundang tanyaku di hati. Kenapa Bapak nggak diundang? Jiwa kepo ini terus berontak ingin tahu segalanya. Andai benar mereka memutuskan hubungan keluarga ini, apa mau dikata? Akupun akan sama dengan yang mereka lakukan. Memutuskan juga."Ada acara lamaran untuk Julia, makanya ramai sekali," jelas Ibu seperti memahami isi hatiku. "Oh, begitu." "Biar saja, mungkin mereka telah memutuskan hubungan dengan kita. Nggak apa, ya, Pak. Jangan diambil hati! Masih banyak saudara yang baik sama kita," hibur Ibu saat Bapak datang dengan membawa sepiring martabak manis. Senyum lelaki tua yang terlihat keriputnya dimana-mana itu merekah. Tak ada gurat sakit hati di mukanya. Entah terbuat dari apa hati Bapak ini. Kalau jadi aku, sudah aku marahin itu adik yang kurang aja
Setengah berlari aku mengejar gerombolan ibu-ibu yang sedang mengerubungi tukang sayur di ujung gang. Ibu meminta membeli sayur juga ikan untuk makan siang nanti. Karena aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, maka diminta oleh beliau untuk berbelanja. "Anakku semalam di lamar oleh anak juragan sapi tetangga sebelah. Lamarannya nggak main-main, ada perhiasan emas satu set, pakaian dan juga jajanan banyak. Maklum orang kaya," cerocos Bi Salimah saat melihatku sedang memilih sayuran. "Alhamdulillah, semoga langgeng, ya, Bu. Enak lho, dapat besan Pak Kamari, orangnya ramah, baik dan juga serba punya. "Lha, iya, dong. Lagian keluarga kami itu nggak ada yang cacat, makanya jodohnya dekat." Mata Bi Salimah melirik tajam. Namun, aku enggan menanggapi. Berpura-pura tidak mendengarnya adalah jalan terbaik. Daripada pagi-pagi begini harus menguras emosi, sayang sekali jika harus terbuang sia-sia.Meski dadaku sudah kembang-kempis menahan gejolak amarah yang siap meledak, tapi aku harus ta
Semua keluarga besar datang berduyun-duyun ke rumah Bi Salimah. Tenda pernikahan pun di tata rapi dengan segala temannya. Tak terkecuali panggung pelaminan dan juga hiburan sudah selesai didirikan.Namun, lagi-lagi kami hanya melihat dari kejauhan. Dari rumah kami sendiri, bukan karena nggak menghormati si empunya hajat. Dikarenakan mereka tidak ada satupun yang memberi tahu ataupun datang kerumah kami untuk mengajaknya kesana."Bersihkan rumah dengan baik, Ibu mau pergi sebentar kesana membawa beras dan gula!" ujar Ibu yang melihat diri ini terpaku di kursi tamu. Aku mengangguk meski tatapan mata ini enggan terlepas dari pemandangan ramai di depan sana. "Jangan dipikirkan terlalu dalam, orang seperti mereka tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini hanya sekedar berbasa-basi." Ibu menjawab rasa penasaran didalam hatiku, seperti cenayang saja bisa membaca kata hati."Lalu kenapa Ibu harus kesana? Mending nggak usahlah, Bu!" Mata ibu melotot ke arahku, entah apa maksudnya aku
Seusai acara pernikahan Julia, Ibu pulang ke rumah dengan tangan kosong. Akupun tak ingin bertanya lebih jauh lagi tentang hal itu. "Besok ada acara pembagian warisan, Ayah nggak diundang?" Wajah Ayah berubah pias dan kecewa. Sebagai anak sulung seharusnya beliau lah yang memimpin jika ada musyawarah keluarga. Namun, tidak dengan hal ini. Sungguh berbeda jauh. Ayah terdiam dengan pandangan melihat televisi. Ibu yang merasa bersalah dengan membawakan berita tersebut mendekati suaminya. Bersandar pada bahu kokoh yang begitu sangat tegar meskipun tidak dianggap oleh saudaranya."Biarkan saja, Bu." "Kita diminta Bapak kesana besok malam. Kemarin berpesan saat aku kondangan, nanti Ibu temani, takutnya Ayah nanti khilaf. Jangan marah jika tidak dibagi rata, ya, Yah. Dikasih tanah ini saja kita sudah bersyukur." "Siapa yang bilang dikasih? Tanah ini aku membelinya meski aku ini anak kandung Bapak. Aku anak sulung yang selalu bekerja siang malam demi kebutuhan Salimah dan Kandar, tapi ap
Senja mulai temaram. Semburat jingga membuat para hewan terbang menuju ke timur dengan bergerombol di atas awan. Sedang induk ayam pun mencari jalan pulang dengan berjalan di depan dan diikuti oleh anaknya.Ayah yang tadinya duduk santai di depan televisi bergegas menutup semua pintu dan jendela yang masih terbuka. Pun demikian dengan Ibu yang memberikan minuman hangat untuk Mas Agus, segera merapikan piring makan yang sudah kosong. Suara panggilan Adzan berkumandang, kami pun mengambil air wudhu untuk beribadah bersama. Pintu diketuk, kami semua saling pandang. Senyum terbit di bibir Ayah dan mengangguk, beliau membuka pintu. Berdesir darahku kala melihat Bi Salimah datang bersama suaminya. Senyum sinis dari sudut bibir mereka seakan menambah kesan angkuh. "Ada apa?" Ayah bertanya dengan helaan nafas berat."Jangan lagi mengambil hak orang lain, dosa besar! Kamu sudah dapatkan bagian itu, lalu kenapa masih meminta yang lain? Tanah dan pekarangan di kampung sebelah sudah menjadi mi
Semenjak kejadian itu hubungan antara aku dan anak-anak Bi Salimah semakin renggang. Bahkan Ayah pun enggan datang menjenguk Kakek yang saat itu sedang sakit karena kecapekan. Lelaki tua yang tidak bisa bersikap adil itu enggan untuk berdiam diri. Selalu saja mencari kesibukan dengan membersihkan halaman rumah, pergi ke pekarangan di kampung sebelah dan lainnya yang penting tidak duduk manis di rumah. Makanya saat raga yang renta merasa lelah maka akan muncul berbagai macam penyakit. Meskipun seperti itu, dia akan kembali lagi mencari kesibukan jika sudah sehat. Kata Lek Kandar, jika tidak bergerak maka Bi Salimah akan marah-marah tak jelas. Begitulah Kakek, meskipun seperti itu nyatanya kasih sayangnya selalu dicurahkan kepada anak perempuan satu-satunya. Pagi ini aku mulai bekerja di rumah semenjak ada wabah yang melanda di negeri bahkan dunia ini. Berkerumun dibatasi, sehingga banyak sekali yang dirumahkan saat wabah itu semakin merajalela. "Aku sudah nggak bekerja lagi, Bu. D