Share

Nasehat Bapak

Author: Wafa Farha
last update Huling Na-update: 2022-11-19 06:15:36

"Mi, mulai sekarang ... Abi akan itikaf sehari semalam dalam seminggu. Saat Abi itikaf, hape Abi matikan. Jangan mencari -cari Abi. Abi cuma minta satu hari dari tujuh hari yang enam harinya buat Umi semua."

Mas Haris bicara dengan nada menekan. Agak ketus. Apalagi saat menyebut 6 hari untukku semua. Walau rasanya seperti diancam, aku pun mengiyakan. Toh, suamiku sudah membuktikan bahwa dia sudah banyak berubah. Lagian mau cari -cari ke mana kalau dia saja itikafnya pindah -pindah Masjid. Dia tak mau memberi tahu Masjid mana yang akan didiami. Yah, pasti dia sengaja.

Sejak rajin ke kajian, suami pun sikapnya semakin baik. Dia tegas pada segala hal yang berkaitan dengan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Dulu yang sholat bolong –bolong, sekarang malah rutin jamaah di Masjid. Permintaannya agar aku merelakan dia untuk tidak pulang, dan tak mencarinya, adalah bentuk kematangannya dalam ber-Islam.

Wajar di usianya yang sudah memasuki angka 40 untuk lebih banyak mengingat akhirat. Bukankah usia tersebut adalah angka penentuan, apakah seseorang itu tetap hidup bergelimang maksiat dan abai pada akhirat, atau justru sebaliknya.

“Iya, Bi. Umi mengerti.” Aku mengangguk patuh.

Mulai hari itu, dia memang mengkhususkan satu hari satu malam tidak pulang untuk beri’tikaf di Masjid.

“Bagus.” Mas Haris mengusap kepalaku lembut. Diikuti senyum manis yang menghiasi bibirnya. Sebuah senyuman yang mampu melenyapkan semua kegelisahan yang kurasakan kala dia tidak berada di sampingku.

Rumah tangga kami tetap harmonis, dan bahkan aku mengandung anak ke enam di tahun pernikahan ke 16.

Kabar mengenai Pak Karim tidak lagi aku dengar, sampai aku harus bertanya padanya. “Tumben sudah berapa bulan ini, Pak Karim tidak minta bekam, Bi?” tanyaku penasaran. “Apa beliau baik –baik saja? Belum meninggal maksudnya? He he.” Aku bicara dengan nada sedikit bercanda.

“Huss, jaga bicaramu, Mi. Umi ini seorang perempuan dan juga seorang Ibu,” hardik Mas Haris. Dia terlihat begitu emosi ketika membicarakan Pak Karim. “Umi tahu, beliau itu banyak sekali jasanya pada kita.”

Hiss, banyak apanya? Apa karena Pak Karim sudah menjadi pelanggan tetapnya dan memberinya banyak uang? Aku cuma bisa ngedumel dalam hati. Tidak ingin ia murka hanya karena membahas Pak Karim. Entah, kenapa dia jadi sesensitif itu pada orang yang belum lama dikenalnya.

“Pak Karim sudah pindah ke luar kota. Jadi, Abi akan ke sana untuk sesekali berkunjung.” Pria itu menyambung ucapannya.

“Oh jadi begitu.” Aku manggut –manggut.

“Ya, sudah tidurlah, Mi. Umi pasti lelah seharian ini ngurus anak –anak sendiri. Maaf kalau Abi nggak sebanyak dulu waktu di rumah.” Suara pria itu melunak. Tampaknya dia menahan diri untuk tidak marah padaku.

Namun, benar kata orang, bahwa firasat seorang wanita itu sangat kuat. Apalagi dia seorang ibu dan istri. Aku tidak tahu, kenapa belakangan merasa sangat kesepian ketika suami tidak pulang, dan berpamitan menemui pasiennya usai kerja. Hatiku terasa terbakar meski bertemu dengannya dan berbincang seperti biasa.

Aku merasa ada berbeda dari Mas Haris meski dia tak mengubah sikap dan perhatiannya padaku dan anak –anak.

“Ya Rabb, ada apa ini?”

Rasa gelisah itu semakin hari semakin menjadi. Lebih saat suami memulai usaha baru di luar kota. Alasannya membuka cabang dan melebarkan sayap bisnisnya.

Suamiku terlihat semakin sibuk. Meski dia tetap pulang, tapi dia jadi sering ke luar kota. Dia juga tak seintensif dulu memberiku kabar. Perasaan tak enak pun semakin menyiksa. Ditambah pekerjaan rumah yang terasa semakin berat tanpanya. Karena bahkan meski punya lebihan uang, kami ragu memperkerjakan orang lain di rumah.

Apalagi, aku ini anak semata wayang, tidak punya saudara juga untuk diminta membantu. Ibu dan ayah masih ada, mereka tinggal lumayan jauh dari rumah kami. Dan tentu saja aku tak mau merepotkan mereka.

Suatu kali Ibu dan Bapak berkunjung ke rumah, karena kangen kepada cucu –cucu mereka. Sementara Ibu sibuk dengan anak –anak, Bapak datang mendekatiku.

“Nduk, berat, ya? Yang sabar. Banyak ngalah saja, ya. Haris itu mau bagaimana pun, dia suami yang baik dan bertanggung jawab pada keluarganya.”

“Nggeh, Pak,” sahutku.

Aku tidak tahu kenapa Bapak bisa bicara begitu? Mungkinkah beliau tahu sesuatu tentang Mas Haris tapi enggan mengatakannya padaku?

Next ....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Ending

    Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Tak Ada Rujuk untuk Khuluk

    “Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Pilu

    “Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Lepas Tangan

    “Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Senyum-senyum Lega

    [ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Pada Akhirnya

    "Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status