Share

Nasehat Bapak

"Mi, mulai sekarang ... Abi akan itikaf sehari semalam dalam seminggu. Saat Abi itikaf, hape Abi matikan. Jangan mencari -cari Abi. Abi cuma minta satu hari dari tujuh hari yang enam harinya buat Umi semua."

Mas Haris bicara dengan nada menekan. Agak ketus. Apalagi saat menyebut 6 hari untukku semua. Walau rasanya seperti diancam, aku pun mengiyakan. Toh, suamiku sudah membuktikan bahwa dia sudah banyak berubah. Lagian mau cari -cari ke mana kalau dia saja itikafnya pindah -pindah Masjid. Dia tak mau memberi tahu Masjid mana yang akan didiami. Yah, pasti dia sengaja.

Sejak rajin ke kajian, suami pun sikapnya semakin baik. Dia tegas pada segala hal yang berkaitan dengan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Dulu yang sholat bolong –bolong, sekarang malah rutin jamaah di Masjid. Permintaannya agar aku merelakan dia untuk tidak pulang, dan tak mencarinya, adalah bentuk kematangannya dalam ber-Islam.

Wajar di usianya yang sudah memasuki angka 40 untuk lebih banyak mengingat akhirat. Bukankah usia tersebut adalah angka penentuan, apakah seseorang itu tetap hidup bergelimang maksiat dan abai pada akhirat, atau justru sebaliknya.

“Iya, Bi. Umi mengerti.” Aku mengangguk patuh.

Mulai hari itu, dia memang mengkhususkan satu hari satu malam tidak pulang untuk beri’tikaf di Masjid.

“Bagus.” Mas Haris mengusap kepalaku lembut. Diikuti senyum manis yang menghiasi bibirnya. Sebuah senyuman yang mampu melenyapkan semua kegelisahan yang kurasakan kala dia tidak berada di sampingku.

Rumah tangga kami tetap harmonis, dan bahkan aku mengandung anak ke enam di tahun pernikahan ke 16.

Kabar mengenai Pak Karim tidak lagi aku dengar, sampai aku harus bertanya padanya. “Tumben sudah berapa bulan ini, Pak Karim tidak minta bekam, Bi?” tanyaku penasaran. “Apa beliau baik –baik saja? Belum meninggal maksudnya? He he.” Aku bicara dengan nada sedikit bercanda.

“Huss, jaga bicaramu, Mi. Umi ini seorang perempuan dan juga seorang Ibu,” hardik Mas Haris. Dia terlihat begitu emosi ketika membicarakan Pak Karim. “Umi tahu, beliau itu banyak sekali jasanya pada kita.”

Hiss, banyak apanya? Apa karena Pak Karim sudah menjadi pelanggan tetapnya dan memberinya banyak uang? Aku cuma bisa ngedumel dalam hati. Tidak ingin ia murka hanya karena membahas Pak Karim. Entah, kenapa dia jadi sesensitif itu pada orang yang belum lama dikenalnya.

“Pak Karim sudah pindah ke luar kota. Jadi, Abi akan ke sana untuk sesekali berkunjung.” Pria itu menyambung ucapannya.

“Oh jadi begitu.” Aku manggut –manggut.

“Ya, sudah tidurlah, Mi. Umi pasti lelah seharian ini ngurus anak –anak sendiri. Maaf kalau Abi nggak sebanyak dulu waktu di rumah.” Suara pria itu melunak. Tampaknya dia menahan diri untuk tidak marah padaku.

Namun, benar kata orang, bahwa firasat seorang wanita itu sangat kuat. Apalagi dia seorang ibu dan istri. Aku tidak tahu, kenapa belakangan merasa sangat kesepian ketika suami tidak pulang, dan berpamitan menemui pasiennya usai kerja. Hatiku terasa terbakar meski bertemu dengannya dan berbincang seperti biasa.

Aku merasa ada berbeda dari Mas Haris meski dia tak mengubah sikap dan perhatiannya padaku dan anak –anak.

“Ya Rabb, ada apa ini?”

Rasa gelisah itu semakin hari semakin menjadi. Lebih saat suami memulai usaha baru di luar kota. Alasannya membuka cabang dan melebarkan sayap bisnisnya.

Suamiku terlihat semakin sibuk. Meski dia tetap pulang, tapi dia jadi sering ke luar kota. Dia juga tak seintensif dulu memberiku kabar. Perasaan tak enak pun semakin menyiksa. Ditambah pekerjaan rumah yang terasa semakin berat tanpanya. Karena bahkan meski punya lebihan uang, kami ragu memperkerjakan orang lain di rumah.

Apalagi, aku ini anak semata wayang, tidak punya saudara juga untuk diminta membantu. Ibu dan ayah masih ada, mereka tinggal lumayan jauh dari rumah kami. Dan tentu saja aku tak mau merepotkan mereka.

Suatu kali Ibu dan Bapak berkunjung ke rumah, karena kangen kepada cucu –cucu mereka. Sementara Ibu sibuk dengan anak –anak, Bapak datang mendekatiku.

“Nduk, berat, ya? Yang sabar. Banyak ngalah saja, ya. Haris itu mau bagaimana pun, dia suami yang baik dan bertanggung jawab pada keluarganya.”

“Nggeh, Pak,” sahutku.

Aku tidak tahu kenapa Bapak bisa bicara begitu? Mungkinkah beliau tahu sesuatu tentang Mas Haris tapi enggan mengatakannya padaku?

Next ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
haaah... serius gak pake art padahal mampu secara finansial ? masak siiih ? anak 5 gitu lhoooo....
goodnovel comment avatar
makmur MJ
terliat bagus hanya butuh poin banyak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status