LOGIN"Memangnya masakanku nggak enak? Belum nyoba kok sudah menilai buruk," ujarku kesal tanpa menoleh ke arah laki-laki itu. "Memangnya sudah pernah masak seafood?" tanyanya dengan ekspresi meremehkan. Aku kembali meliriknya yang melipat tangan ke dada. "Belum sih, tapi-- "Nah! Yang biasa masak aja belum tentu enak apalagi yang trial. Entah gimana rasanya nanti. Masak aja kalau memang mau masak, tapi makan sendiri. Aku pergi. Jangan lupa bersihkan kamar. Sebelum aku balik harus sudah beres," perintahnya membuatku tersenyum seketika. Permintaannya kali ini cukup mengejutkan. Akhirnya setelah tiga hari tinggal di sini, laki-laki sedingin salju itu membiarkanku masuk ke kamarnya dengan suka rela, tanpa harus diminta. Lega sekali rasanya. Aku yakin sedikit demi sedikit bisa meluluhkan kekakuan hatinya. Lihat saja nanti. "Ngapain senyum-senyum nggak jelas begitu?" Bola mataku melotot seketika saat mendengar suaranya kembali. Kupikir dia sudah menghilang di tangga, ternyata masih berdiri d
"Assalamualaikum, Pak. Tumben bapak telepon pagi-pagi, ada apa, Pak?" tanyaku setelah menekan tombol hijau di layar. Di seberang sana terdengar sedikit keributan, membuatku semakin tak tenang. "Wa'alaikumsalam, Nduk. Ini ada sedikit masalah, Nduk. Kita diusir dari kontrakan." Dadaku memanas seketika. Bagaimana bisa diusir, padahal kemarin aku sudah kasih bapak uang buat bayar kontrakannya? "Ya Allah, Pak. Kok bisa diusir? Apa bapak lupa nggak ngasih uang kontrakan ke Bu Hajah?" tanyaku sedikit bergetar. "Sudah, Nduk. Uang dari kamu kemarin langsung bapak kasih ke Bu Hajah dan Alhamdulillah diterima dengan baik kok, cuma entah kenapa sekarang dikembalikan dan diusir. Bapak juga nggak tahu salahnya di mana." Aku tahu bapak menahan suka dalam suara seraknya. Rasa kesal, sedih, bingung dan mungkin emosi tercampur menjadi satu, tapi bapak tak bisa berbuat apa-apa. Tak mungkin marah-marah pada pemilik kontrakan bukan? "Emakmu sudah mohon-mohon sama Bu Hajah, tapi tetap saja nggak berha
"Tumben Mas Rama mau masuk pasar segala. Biasanya mana pernah, Neng." Bi Lilis mulai bercerita setelah duduk dengan nyaman di mobil yang dikendarai Pak Dono, salah satu supir juragan Ginanjar. "Ohya, Bi? Untung dia datang, kalau nggak, mana mungkin Sesil mau ganti rugi." "Itu beneran budhe sama sepupu Neng Riana?" Seolah tak percaya dengan penjelasanku tadi, Bi Lilis kembali bertanya. "Beneran, Bi. Jadi, Emak punya dua saudara laki-laki. Budhe Umayah tadi adalah istri dari kakaknya Emak. Cuma ya begitu sikapnya, selalu meremehkan kami karena kami orang nggak punya sementara mereka orang berada." Tiba-tiba mataku menghangat tiap kali mengingat semua sikap mereka pada keluargaku. "Ya Allah mirisnya. Masih ada aja orang begitu di zaman sekarang." Bi Lilis mengusap dada sembari beristigfar. "Sabar ya, Neng. InsyaAllah nanti akan dapat balasannya sendiri. Bibi doakan supaya Neng betah di rumah juragan, supaya bisa bantu orang tua di rumah. Setidaknya nggak terus diinjak-injak sama mer
"Kenapa, Bi?" Laki-laki itu beralih ke Bi Lilis yang buru-buru membawa tas belanjanya kembali. Ada beberapa barang yang hilang entah tercecer di mana. Biarlah. "Ganteng banget!" pekik perempuan itu tak ada malu-malunya sama sekali. Dia menatap Mas Rama lekat dengan mata berbinar. Setelahnya berkedip-kedip dengan senyum semringah. Seperti baru saja dapat rezeki nomplok. Budhe Umayah sempat menyikut lengan anak sulungnya itu saat dia menutup mulutnya dengan telapak tangan saking terpesona dengan ketampanan Mas Rama. Aku pun memutar bola mata jengah sembari menghela napas panjang. Katanya sudah punya Mas Hasbi, kenapa ada Mas Rama melirik juga? Benar-benar perempuan buaya nggak tahu malu dan nggak tahu diri. Bisa-bisanya menatap lelaki seperti itu. "Ingat Hasbi." Lirih kudengar suara Budhe Umayah mengingatkan anak perempuannya yang genit itu. Sesil menghela napas panjang sembari menatap mamanya sekilas."Apaan sih, Ma. Mas Hasbi memang tampan, tapi yang ini auranya beda. Tampan, mach
"Ya ampun, Ma. Lihat deh, bukannya itu keponakan mama?!" Suara yang cukup familiar itu terdengar begitu nyaring di telinga. "Dari kemarin nggak nongol ternyata kerja jadi babu, Ma. Ya Ampun kasihannya. Lulus SMA jadi babu, tahu gitu nggak usah disekolahin aja sih, Ma. Lulus SD bisa langsung kerja. Nggak buang-buang duit." Sesil kembali mengejek. Bi Lilis menoleh seketika. Dia pun menatapku beberapa saat, seolah memintaku ikut menoleh ke sumber suara. Dia yang dari ekor mataku tepat menunjuk ke arahku."Biarin saja, Bi. Dia sepupu sama budheku. Nggak usah ditanggepin, nanti makin jadi. Aku mau pura-pura nggak lihat dan nggak dengar aja," ujarku sembari berbisik ke samping telinga Bi Lilis yang masih bengong. "Pura-pura budg lagi, Ma. Baru jadi babu aja udah belagu!" Batinku memanas mendengar tiap ejekannya, tapi aku berusaha meredam emosi dalam dada. Aku nggak mau Bi Lilis tahu kalau aku bisa brutal mendadak jika emosiku sampai puncak. "Oh, kamu jadi babu sekarang, Na? Di rumah sia
Bakda shalat subuh, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Mas Rama. Barang kali dia sudah nggak sejutek kemarin atau mungkin mau kubuatkan kopi baru. Kulihat dua cangkir kopi yang kubuat semalam masih utuh tak tersentuh. Tak tahu apa alasannya dia membiarkan kopi itu dingin. Mungkin saja dia lupa lalu malas meminumnya saat kopi mulai dingin. Iya kan?Tok ... tok ... tok "Mas Rama, sudah shalat subuh belum? Apa mau saya bikinkan kopi lagi?" tanyaku lirih sembari mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara dari dalam kamar. Namun, sepertinya kamarnya dibuat kedap suara sebab nggak terdengar apapun dari luar. Aku bergeming beberapa saat di sana sembari menunggu sosok itu keluar atau paling tidak membalas pertanyaanku. Kutunggu beberapa menit benar-benar tak ada yang menyahut. Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang.Tak menyerah, aku kembali mengetuk pintu. Aku tunggu lagi sembari tetap mendekatkan telinga ke daun pintu. Untuk ketukan ketiga







