Beranda / Rumah Tangga / SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU / Bab 4. Tidak Boleh Sekolah

Share

Bab 4. Tidak Boleh Sekolah

Penulis: Aisyah Ais
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-16 17:35:22

Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini?

"Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar.

Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya.

"Fajar belum tidur, Kak?"

"Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku.

"Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar."

"Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas.

Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen."

"Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel."

"Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari. Dia malah menangis dan mencari Ibu.

"Cup ya, Sayang ..., Fajar jangan nangis ya, Kakak buatin susu dulu." Dengan masih menggendong Fajar yang menangis, aku mengambil termos dan susu formula yang ada di atas meja belajar.

Saat hendak menuangkan air panas, Fajar berontak dan membuat tanganku terkena air panas. "Aduh!" Aku mengibaskannya dan tetap membuat susu meski tanganku terasa panas dan perih.

Setelah susu itu jadi, Fajar tidak mau meminumnya dan tetap menangis. Aku bingung harus bagaimana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Andi terbangun dan ikut menenangkan Fajar yang meronta-ronta dari gendonganku. Bahuku rasanya sangat sakit karena menggendong Fajar. Namun mata juga terasa pedas karena sudah waktunya tidur.

Andi keluar dari kamar. Kudengar, ia mengetuk pintu kamar Ibu. Sedari tadi Fajar menangis, pastilah suaranya sampai ke kamar Ibu. Tapi sama sekali tidak ingin melihatnya. Apa senyenyak itu tidur mereka?

"Ada apa, sih? Ganggu orang tidur aja!" Kudengar suara Papa Erik memarahi Andi. Gegas aku pun keluar, karena khawatir ia meluapkan emosinya pada adikku. Yang aku tahu, Papa Erik orangnya gampang emosian.

"Ibu mana, Pa? Fajar menangis mencari Ibu, dia tidak bisa tidur tanpa Ibu." Aku segera mendekati pintu kamar mereka.

"Ibumu sudah tidur! Jangan mengganggu lagi! Kalian urus itu!" Papa Erik menunjuk Fajar yang masih dalam gendonganku. "Bikin dia diam, aku pusing mendengarnya menangis terus!"

"Tapi aku tidak bisa mendiamkannya, Pa. Tolong bangunkan Ibu agar menyusui Fajar dulu. Nanti kalau Fajar sudah tidur, aku akan menjaganya," pintaku. Aku masih berusaha menenangkan Fajar yang merengek dan menangis.

"Selalu menyusahkan!" Papa Erik menutup pintu kamarnya. Aku masih menunggu di depan pintu. "Pakai baju! Sana urus anakmu dulu! Setelah itu kembali lagi!" Terdengar suaranya memerintah Ibu.

Tak lama setelahnya, Ibu keluar dengan rambut acak-acakan dan wajah memberungut kesal. Ia membenarkan baju dan mengikat rambutnya, "Sini!" Ibu mengambil alih Fajar yang tadinya masih dalam gendonganku. Kini Fajar sudah beralih dalam gendongan Ibu. Lega sekali rasanya pundakku.

Ibu membawa Fajar masuk ke kamar dan membaringkannya di samping Lani. Disusuinya sebentar, setelah itu Fajar terlelap. Ibu bangkit, aku menahan tangannya. "Bu, bisakah besok Fajar sama Ibu saja? Untuk malam ini, aku akan menjaganya."

"Ibu sudah bilang mulai malam ini dan seterusnya, Fajar akan tidur bersama kalian! Sekarang Ibu mau kembali ke kamar, Papa Erik sudah menunggu Ibu." Ibu membuka pintu kamar, lalu menolehku. "Tolong jaga adikmu, kalau nanti terbangun, bilang saja Ibu sedang di kamar mandi dan ajak tidur kembali."

Aku menatap punggung Ibu yang akhirnya menghilang setelah ia menutup pintu.

"Ayo kita tidur, Kak. Aku masih mengantuk." Andi terlihat menguap.

"Iya tidurlah, Kakak ambil karpet dulu." Aku mengambil karpet berwarna biru yang biasa aku gunakan untuk mengajak Fajar bermain.

Kupandangi wajah ketiga adikku yang sedang terlelap. Andi dan Lani berada di sisi kanan dan kiri, sementara Fajar ada di tengah-tengah mereka. Kita ini masih memiliki orang tua yang lengkap, tapi rasanya seperti yatim piatu. Meski tinggal bersama Ibu, rasanya bagai tinggal bersama orang asing.

Jika boleh memilih, aku ingin Ibu tidak pernah menikah dengan Papa Erik. Kehidupan kami sebelum ada Papa Erik juga tak jauh berbeda dengan sekarang. Karena kita tinggal di rumah kontrakan kecil dan Ibu hanya bekerja di pabrik garmen. Tapi kami memiliki kasih sayang yang utuh dari Ibu.

Akan tetapi, sekarang kami seakan tidak memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang dari Ibu kandung kami sendiri. Papa Erik dan Alena seolah merebut Ibu dari kami. Dan Ibu, ia lebih memilih memihak mereka ketimbang kami anak-anaknya.

Setelah menggelar karpet, aku merebahkan tubuh di atasnya. Tubuhku begitu lelah, hingga membuatku memejamkan mata dengan cepat, dan tak terasa sudah terbuai di alam mimpi.

"Kak, bangun! Kita kesiangan!" Andi mengguncang tubuhku yang masih letih. Mata juga rasanya sulit untuk terbuka. Rasanya masih mengantuk sekali. Semalam Fajar terbangun lagi, tetapi tidak menangis, hanya mencari Ibu. Aku mengatakan Ibu berada di kamar mandi seperti perintah Ibu, dan dia mau aku ajak tidur kembali. "Kak Vina!"

"Eeemmmh, howaaam, Kakak masih ngantuk, Ndi. Jam berapa sekarang?" Aku duduk dan mengucek mata. Kulihat Fajar masih tertidur pulas.

"Sudah jam enam, Kak! Lani sudah mandi dan berganti baju. Aku juga sudah selesai mandi. Dari tadi aku bangunkan, Kakak nggak bangun-bangun," paparnya.

"Ya Allah, kita bisa telat!" Aku bergegas mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Namun sesampainya di kamar mandi, Alena berada di dalamnya. "Len, aku mau masuk, cepat sedikit!"

Dia tidak menyahut dan malah asyik bernyanyi di dalam sana. Aku menoleh jam dinding, waktu terus berputar. Kalau menunggu dia selesai, bisa-bisa aku terlambat karena harus berjalan kaki sampai sana. Berbeda dengan Alena yang membawa sepeda motor. Meskipun searah, Alena tidak pernah memperbolehkan aku ikut bersamanya.

Sebenarnya aku dan Alena sama-sama kelas tiga, hanya berbeda sekolah saja. Karena tidak ingin membuang-buang uang untuk pindahan ke sekolah yang sama dengan Alena dan lebih dekat dengan rumah Papa Erik, Ibu menyuruhku tetap sekolah di sekolah lama yang dulu dekat dengan rumah kontrakan kami.

"Kakak belum mandi?" tanya Andi yang melihatku kembali ke kamar dengan membawa handuk lagi.

"Kalian berangkat aja dulu ya, kalau nunggu Kakak, nanti terlambat. Kalian udah sarapan?" Keduanya mengangguk dan berangkat sekolah setelah memakai tas mereka.

Aku mencuci muka dan memakai seragam sekolah. Saat hendak keluar kamar, Fajar terbangun dan merengek. Aku membawanya keluar dan menyerahkan Fajar pada Ibu. Alena baru keluar dari kamar mandi lalu masuk ke dalam kamarnya.

Aku mengambil nasi yang tinggal sedikit di mangkuk jatah kami bertiga, seperti biasanya. Kata Ibu, Alena sudah sarapan, begitupun Papa Erik yang sudah sarapan dan sudah berangkat bekerja. Dia menjadi supir mengangkut barang. Biasanya akan pulang saat jam makan siang. Terkadang kembali bekerja setelah makan siang.

"Ibu titip Fajar, ya Vin! Ibu mau ke salon hari ini." Ke salon? Sejak kapan Ibu suka pergi ke salon?

"Tapi, aku mau berangkat sekolah, Bu."

"Sudahlah, tidak usah berangkat sekolah hari ini!"

"Lho, kenapa, Bu? Kenapa aku nggak boleh sekolah?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 115

    Aku berdiri menghampiri Lani. Kak Arya memandangku sekilas, lalu duduk di tempat yang tadi kutempati. "Ayo kita pulang, Kak. Sebentar lagi buka puasa. Tadi Fajar bilang, Ibu punya tamu," ucap Lani."Tamu? Siapa?""Aku juga nggak tahu, Fajar hanya kirim pesan dan bilang di rumah ada tamunya Ibu.""Apa nggak buka di sini saja, Lan?" Kak Arya berkata dengan lembut, aku pun menoleh, begitu juga Lani."Lain kali aja deh, Kak Arya, nanti kita cari waktu lagi buat buka puasa bareng. Nggak apa-apa, kan?""Ya sudah, santai aja. Masih ada banyak waktu, kan?" Kak Arya tetap tersenyum ramah meski mungkin tadi mendengar percakapanku dengan Mbak Fika."Aku pamit ya, Mbak, Kak Arya." Aku tetap menghormatinya, Kak Arya pun mengangguk.Aku dan Lani segera menaiki motor dan bergegas pulang."Kok kamu ngajak pulang, Lan? Kupikir tadi kamu mau buka puasa di sana," ujarku saat Lani sudah mengendarai motor. "Tadinya sih, gitu! Tapi setelah dengar ucapan Kak Vina sama Mbak Fika ... aku jadi nggak enak sama

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 114

    Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 113

    Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 112

    Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 111

    Dinginnya malam membuatku merapatkan tubuh pada selimut tebalku. Tubuhku terasa lelah dengan aktifitas yang kulakukan seharian ini. Mataku mulai sembab, tapi tak lagi kupedulikan. Yang ingin kulakukan hanyalah tidur, untuk menghilangkan penat di tubuh dan pikiran."Kak, ayo bangun! Sudah waktunya sahur." Terdengar suara Lani membangunkanku, tapi rasanya aku masih enggan membuka mata. Mata ini terasa lengket, pedas, dan terkatup rapat. Otakku masih merespons, tapi mataku belum bisa diajak bekerja sama."Vina, bangun, Nak, ayo sahur. Kalau nggak cepat bangun, nanti keburu imsak." Dengan sekali perintah, aku langsung membuka mata.Wanita cantik dengan daster kusam itu adalah ibuku. Dia tersenyum mengusap rambutku, kemudian menuntunku dari tempat tidur.Kutatap sekeliling, aku berada di rumah masa kecilku. Rumah berdinding kayu yang menjadi tempat aku tumbuh dan bermain. Suasananya sangat hangat, "Ayo, sini, Ibu sudah membuat telur dadar dan

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 110

    Lani memanggil Ayah, kemudian menarik tangan Andi agar segera masuk ke rumah. Andi patuh, lalu duduk di kursi setelah Lani menyuruhnya. Aku pun ikut duduk di samping Andi sambil tersenyum.Ayah datang bersamaan dengan Fajar yang membawa toples berisi camilan. "Kalian kemari, ada apa, Nak?" tanyanya setelah duduk."Andi ngajak aku ke sini untuk tidur di sini, soalnya dia nggak mau sahur tanpa adik-adiknya," tuturku.Ayah menatap Andi dengan senyuman khasnya, sementara Andi terlihat cuek."Beneran, Kak?" Fajar bertanya dengan mulut penuh makanan."Kalau makan jangan sambil ngomong, kalau ngomong jangan sambil makan, Jar." Andi mengingatkan."He he he, iya, Kak." Fajar memasukkan camilan lagi ke dalam mulutnya, tidak lagi bertanya.Sementara itu, Ibu yang berada tak jauh dari tempatku berada, seperti ingin mendekat, tapi tidak berani. Mungkin saja khawatir akan membuat Andi marah seperti kemarin.Aku berdiri, melangkah menuju tempat Ibu berada. "Ayo, Bu, kita ke sana," ajakku. "Jangan,

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 109

    Andi menatap dan menanyaiku, sepertinya dia khawatir aku mendengar semua curhatannya pada Yusuf."Barusan. Ada apa memangnya?" jawabku."Nggak apa-apa, kupikir sudah dari tadi.""Memang kenapa kalau Kakak udah pulang dari tadi?""Ya nggak apa-apa. Mana Lani dan Fajar?" Andi melihat sekeliling."Mereka nggak pulang malam ini, tidur di rumah Ayah dan Ibu." Jawabanku membuat Andi menyernyit."Maksud Kakak, mereka tinggal serumah? Di rumah yang ditinggali Ayah itu?" Aku tersenyum mendengar Andi mengucapkan kata "Ayah"."Iya. Nggak ada pilihan, Ibu butuh tempat tinggal dan teman ngobrol. Kupikir Ayah dan Pak Mardi bisa menjadi temannya karena mereka sudah sama-sama tua, nggak kayak di rumah ini yang semua isinya anak muda.""Tapi mereka sudah berpisah, Kak, nanti bisa jadi fitnah!" Andi terlihat kesal."Ya nggak apa-apa, kan ada Farla, Lani dan Fajar juga tidur di sana, kan? Tadi Mas Aan kusuruh bawain kasur lipat agar mereka bisa tidur dengan nyaman," debatku."Tapi, Kak!""Kamu kenapa si

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 108

    Ibu menyeka air matanya dengan cepat, sementara Ayah melambaikan tangannya agar kami mendekat. Kami pun menghampiri Ayah dan Ibu."Kenapa hanya di sana? Tidak ada yang kami sembunyikan dari kalian, Nak. Kalian berhak tahu apa yang terjadi pada kami," tutur Ayah."Maaf, Yah, kami nggak mau mengganggu kalian," ujarku."Tidak, Nak, kalian tidak mengganggu. Kami senang karena kalian telah mempertemukan kami. Di depan kalian, Ibu ingin meminta maaf pada ayah kalian. Sebab Ibu punya banyak salah padanya. Gara-gara Ibu, hidup kita berantakan dan keluarga kita terpecah belah," papar Ibu yang menangkupkan kedua tangannya."Aku sudah melupakannya, bahkan tidak pernah menyimpan benci padamu, Tih. Justru aku yang minta maaf karena tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang berguna. Maafkanlah aku," ujar Ayah yang juga menangkupkan kedua tangannya.Kami terharu. Ayah dan Ibu sudah saling memaafkan, rasanya begitu lega melihat mereka berdua akur. Sebagai seorang anak, aku sangat bahagia. Kebahagia

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 107

    Aku masih mendengarkan percakapan Ayah dan Ibu. Dari pertanyaan Ibu itu, aku juga ingin mendapatkan jawabannya. Selama ini Ayah tidak pernah bercerita tentang anak kembarnya yang merupakan adikku. Juga tentang istrinya, dan tentang Ayah yang akhirnya tinggal di jalanan."Tidak ada yang bisa menggantikan kamu, Ratih. Bahkan saat aku menikah lagi, aku merasa sangat kesulitan menghadapi istri yang akhirnya memberikanku anak kembar. Aku tahu, lagi-lagi semua itu terjadi karena aku yang miskin ini, tapi kehidupanku bersamanya lebih buruk dari sebelumnya." Aku dan Lani masih mendengarkan Ayah bercerita, tepatnya menguping pembicaraan mereka."Iya, kamu benar, Mas. Pernikahan kedua memang terasa berbeda. Aku sendiri mengalaminya. Beradaptasi dengan orang baru itu sangat susah, dan kita mencoba untuk bisa mengimbanginya. Setelah hidup bersama lebih dari sepuluh tahun denganmu yang sudah sama-sama tahu sifat dan kepribadiannya, lalu harus menghadapi orang baru dengan kepribadian baru, itu sung

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status