Home / Rumah Tangga / SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU / Bab 5. Makanan Dari Tetangga

Share

Bab 5. Makanan Dari Tetangga

Author: Aisyah Ais
last update Huling Na-update: 2024-07-16 17:37:08

"Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!"

Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--"

"Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda.

"Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya.

"Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?"

"Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya.

Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah, dan tinggal bersama orang baru.

Terpaksa aku membuka kembali baju seragamku dan memandikan Fajar lalu menyuapinya dengan nasi tim yang sudah ada di meja makan. Mengajak Fajar bermain menjadi kegiatanku agar tidak jenuh.

Puas bermain, Fajar tertidur dalam gendonganku setelah meminum susu formula yang aku buat. Aku pun mandi agar tubuh lebih segar. Tak lupa, aku segera membersihkan rumah serta mencuci baju mumpung Fajar masih terlelap.

"Kak, Kak Vina!" Aku terjingkat kala Andi mengguncang tubuhku. Rupanya aku ketiduran di samping Fajar.

"Ya, Ndi." Aku bangun setelah mengecek Fajar yang masih tertidur pulas.

"Kakak kok sudah pulang?" Andi menaruh tasnya lalu berganti pakaian. Begitu pun dengan Lani.

"Kakak nggak pergi sekolah. Ibu meminta Kakak menjaga Fajar."

"Memangnya Ibu ke mana?"

"Ke salon katanya."

"Aku laper, Kak," rengek Lani. Kulihat badan adik perempuanku agak lemas. Pasti ia benar-benar kecapekan dan kelaparan. Kasihan sekali adikku.

"Sebentar, ya. Kakak lihat ke dapur dulu. Tolong jaga Fajar ya, Ndi." Tadi aku seharusnya mengecek bahan makanan, tapi malah ketiduran.

Saat sampai di dapur, rupanya tidak ada yang bisa dimasak. Beras tidak ada, bahan lain pun tidak ada. Entah apa yang akan kami makan hari ini. Tega sekali ibu pergi ke salon sampai setengah hari, sementara di rumah tidak ada apa-apa untuk dimakan.

"Maafin Kakak ya, Lan. Di dapur tidak ada apa-apa untuk dimasak. Kamu pasti lapar banget ya?" Aku mengelus rambut Lani. Adik perempuanku itu nampak memberungut. Wajar saja, dia masih kecil. Tidak akan mengerti tentang keadaan kami. "Minum dulu, ya." Aku mengambilkan air putih dalam gelas untuk Lani.

"Kak, ini uang sepuluh ribu milik ibu yang dijatuhkan kemarin." Andi menyodorkan uang padaku. Itu uang ganti kacang hijau kemarin. Aku menerima uang itu, sambil berpikir akan kubelikan apa agar cukup untuk kami bertiga, bahkan berempat karena Fajar juga sudah bangun.

Akhirnya aku memutuskan untuk membelikan beras setengah kilo, dan sisanya untuk membeli mie instan. Beras tujuh ribu dan mie instan tiga ribu. Alhamdulillah uangnya pas.

"Kita akan makan mie instan, tapi dicampur dengan nasi, ya?" Lani mengangguk, lalu ikut bermain bersama Andi dan Fajar. Aku mulai menanak nasi lalu memasak mie instan sebagai lauknya. Miris memang. Tapi kami harus tetap bersyukur. Karena dulu saat tinggal di kontrakan, kami sering memakan mie campur nasi seperti ini.

Memang kurang sehat, karena mie dan nasi tidak seharusnya dimakan bareng. Tapi mau bagaimana lagi. Demi perut tidak kerocongan. Terlebih agar cukup untuk dimakan berempat.

"Ini lebih baik dari pada makan nasi semangkuk sisa mereka," gumamku. Aku memanggil ketiga adikku untuk makan, karena nasi dan mie sudah matang. Sengaja mienya aku masak lebih lama, agar lebih lunak dan terlihat banyak. Aku mengambilkan nasi dan mie yang sudah kubagi untuk mereka. "Gimana? Enak?"

"Enak, Kak. Kalau seperti ini, aku bisa kenyang. Nggak seperti biasanya," ujar Lani. Mulutnya penuh dengan nasi dan mengunyahnya dengan cepat.

"Iya, biasanya kita makan semangkuk bertiga, tidak pernah kenyang. Untungnya sekarang kita makan nasinya banyak, jadi lebih kenyang." Andi pun tak kalah senangnya. Ia terlihat bersemangat memakan nasi yang masih panas beserta mie yang hanya sedikit itu.

Ya Allah, hatiku berdenyut nyeri mendengar penuturan adikku. Mereka begitu senang meski hanya makan nasi dan mie instan saja.

"Setelah ini, bantu Kakak cuci piring, ya." Aku memakan nasi sambil menyuapi Fajar.

"Iya, Kak."

Setelah makan siang, aku mengikuti Andi yang ingin bermain bersama teman-temannya. Lani dan Fajar pun ikut. Pekerjaan rumah sudah selesai, jadi aku bisa menemani mereka.

Sambil menunggu mereka bermain, aku duduk di bawah pohon rambutan milik salah satu tetangga.

"Ibu kalian ke mana, Vin? Kok tadi pagi tidak ada belanja sayur." Bu Halimah mendekat dan duduk di sampingku.

Beliau adalah salah satu tetangga yang selalu membantuku. Saat aku kerepotan menjaga Fajar, beliau ikut menenangkan. Bahkan Andi dan Lani juga sering diberi uang saku saat berangkat sekolah. Tentu saja tanpa diketahui oleh Ibu. Aku mengetahuinya dari Andi, saat ia pulang membawa jajan. Padahal mereka sama sekali tidak pernah diberi uang saku oleh Ibu.

"Ibu pergi ke salon, Bu."

"Kok tumben, ke salon? Sampai jam segini belum pulang?" Aku menggeleng. "Kalian sudah makan? Kalau belum, ayo ke rumah Ibu."

"Sudah, Bu, kami sudah makan."

"Pakai apa? Semangkuk nasi untuk bertiga lagi?" Aku mendongak. Dari mana Bu Halimah tahu tentang semangkuk nasi untuk bertiga? Apa mungkin tahu dari adikku?

"Tidak kok, Bu. Kami makan dengan kenyang hari ini." Tentu saja, karena kami makan dengan nasi cukup banyak. Ya, walaupun dengan lauk mie instan saja.

"Tidak usah sungkan, Vina, Ibu tahu seperti apa kalian. Kalau kalian tidak keberatan, datang saja ke rumah Ibu. Ibu masak banyak hari ini." Bu Halimah masih berusaha mengajakku ke rumahnya. Tentu saja aku tidak mau. Selain merasa tidak enak, aku juga takut dimarahi oleh Ibu jika tahu kami makan di rumah tetangga.

"Tidak usah, Bu. Mohon maaf sekali, kami benar-benar sudah makan," tolakku.

"Ya sudah kalau begitu, lain kali kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk datang pada Ibu, ya?" Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Bu Halimah lantas masuk ke rumahnya, sementara aku memanggil adik-adikku karena waktu sudah sore.

Setelah selesai mandi, kami menunggu Ibu di teras. Sebentar lagi Maghrib, tetapi Ibu belum juga pulang. Alena dan Papa Erik pun belum ada yang pulang. Ke mana mereka bertiga?

"Ibumu belum pulang, ya?" Bu Halimah mendatangi rumah kami, meletakkan rantang di meja teras. "Ini masakan Ibu masih banyak, sayang kalau nggak ada yang makan. Tadinya Ibu mau ada tamu, tapi tamunya nggak jadi datang. Kalian makan, ya."

Kedua adikku menatap rantang itu. Sebentar lagi waktu makan malam tiba, tapi Ibu belum juga pulang. Lebih baik aku terima saja, lagi pula tidak enak jika menolak, karena Bu Halimah sudah repot-repot membawakannya kemari. "Terima kasih, Bu."

"Sama-sama, Ibu tinggal dulu, ya."

Selepas kepergian Bu Halimah, aku membawa rantang ke dapur. "Apa isinya, Kak?"

Aku membuka isi rantang dan mulai menaruhnya di meja. "Nasi, semur telur, dan ... ayam goreng."

"Yeey, ada ayam goreng!" Lani berjingkrak kegirangan.

"Kita shalat dulu baru setelah itu makan," ucapku. Adik-adikku pun menurut saja. Kami melaksanakan sholat Maghrib, setelah itu menikmati makanan yang diberikan Bu Halimah.

Lani sangat senang bisa makan ayam goreng itu, begitupun dengan Andi. Tak terasa bulir bening jatuh dari pelupuk mataku. Orang lain lebih peduli ketimbang ibu kami sendiri. Dan sampai malam begini, Ibu belum datang, bahkan tidak meninggalkan makanan untuk kami.

Seandainya tidak ada uang sepuluh ribu, tadi siang kami tidak makan. Dan seandainya tidak diberi makanan Bu Halimah, malam ini pun kami tidak makan. Namun, aku sangat bersyukur karena adik-adikku tidak kelaparan meski tidak diberi makanan oleh Ibu. Karena Allah memberi kami rezeki lewat tangan orang lain.

Seperti biasa, aku mencuci piring bekas makan kami. Rantang milik Bu Halimah pun sudah kucuci bersih, besok tinggal mengembalikannya.

"Kenapa ibu belum pulang, Kak? Kak Alena dan Papa Erik juga tidak pulang." Waktu memang sudah malam, tapi mereka belum ada yang kembali pulang.

"Entahlah, Ndi. Kamu tidur aja dulu sama Lani. Biar Kakak yang jaga Fajar, dia belum mau tidur."

Tak lama setelah Andi pergi ke kamar. Ibu, Alena, dan Papa Erik datang bersamaan. Mereka tampak tertawa dan bergembira. Papa Erik menggandeng Ibu yang membawa sebuah papper bag di tangannya. Namun, aku terpana melihat penampilan Ibu yang berubah drastis. Jadi ini yang membuat Ibu melupakan keadaan kami yang ditinggal tanpa ada makanan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 117

    "Saya terima nikah dan kawinnya, Ratih Setyawati binti Almarhum Zakariya dengan mas kawin emas seberat 10 gram dan uang dua puluh juta, dibayar tunai!""Bagaimana para saksi?" "SAH!" Teriakan kata "Sah" menggema memenuhi ruangan tempat mengucap ijab kabul dilaksanakan. Rumah ini, menjadi saksi bersatunya kembali ikatan antara kedua orang tua kami yang sempat terputus bertahun-tahun.Kututup mata sejenak, menghirup udara sekitarku dengan lembut. Perlahan-lahan, kubuka mata dan menghembuskannya dengan pelan. Rasanya seperti mimpi bisa menghadiri pernikahan orang tua kandungku.Rupanya Ayah sudah memberitahukan niatnya itu kepada Bu Romlah, jauh sebelum memberi tahu kami. Alhasil, Bu Romlah mengkode para tetangga untuk membuatkan dekorasi dari janur dan dipadukan dengan kain batik sebagai background sejak kemarin. Lalu pagi tadi setelah kedatangan Ayah, Bu Romlah datang dan membawa semua perlengkapan dekorasi.Untuk kursinya sendiri, Bu Romlah menggunakan kursi kayu jati dengan ukiran

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 116

    Suara takbir berkumandang, semua orang bersuka cita. Setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga di siang hari, hari kemenangan pun tiba. Rasanya hari ini sangat bahagia bisa merasakan lebaran pertama bersama Ayah dan Ibu, setelah sekian tahun kami berlebaran di tempat terpisah.Meskipun lebaran tahun lalu sudah ada Ayah, tetapi beliau berlebaran di rumahnya dan kami pun di rumah kami. Namun, kali ini berbeda. Mereka berdua ada untuk kami.Karena selama bulan puasa kami berada di rumah Ayah, malam ini kami pulang ke rumah. Tentu saja menyiapkan segala keperluan untuk esok pagi yang dinanti. Bersih-bersih rumah, juga membuat hidangan untuk tamu.Lani begitu bersemangat membersihkan rumah, karena Ibu dan Ayah akan ke sini besok pagi. Aku sudah bilang agar mereka tidak usah ke sini, dan kami saja yang ke sana. Namun, Ayah bilang akan ada kejutan untuk kami."Capek nggak? Sini, istirahat dan makan ini dulu." Kutaruh nampan berisi risoles dan piscok, serta teh hangat di meja. "Tapi cuci

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 115

    Aku berdiri menghampiri Lani. Kak Arya memandangku sekilas, lalu duduk di tempat yang tadi kutempati. "Ayo kita pulang, Kak. Sebentar lagi buka puasa. Tadi Fajar bilang, Ibu punya tamu," ucap Lani."Tamu? Siapa?""Aku juga nggak tahu, Fajar hanya kirim pesan dan bilang di rumah ada tamunya Ibu.""Apa nggak buka di sini saja, Lan?" Kak Arya berkata dengan lembut, aku pun menoleh, begitu juga Lani."Lain kali aja deh, Kak Arya, nanti kita cari waktu lagi buat buka puasa bareng. Nggak apa-apa, kan?""Ya sudah, santai aja. Masih ada banyak waktu, kan?" Kak Arya tetap tersenyum ramah meski mungkin tadi mendengar percakapanku dengan Mbak Fika."Aku pamit ya, Mbak, Kak Arya." Aku tetap menghormatinya, Kak Arya pun mengangguk.Aku dan Lani segera menaiki motor dan bergegas pulang."Kok kamu ngajak pulang, Lan? Kupikir tadi kamu mau buka puasa di sana," ujarku saat Lani sudah mengendarai motor. "Tadinya sih, gitu! Tapi setelah dengar ucapan Kak Vina sama Mbak Fika ... aku jadi nggak enak sama

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 114

    Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 113

    Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 112

    Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status