"Perhatikan aku dulu!" Pria itu membungkuk di depan kran, lalu setelah air mengalir dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan menampung air dengan kedua telapak tangan yang disatukan."Setelah tangan kamu bersih berkumurlah sebanyak 3 kali, seperti ini," lanjutnya kemudian.Selanjutnya ia mempraktekkan tata cara berwudhu sambil terus berbicara dan aku memperhatikannya dengan teliti."Sekarang ayo giliran kamu." Pria itu berdiri dan menunjuk keran supaya aku mendekati kran tersebut."Tapi aku lupa lagi." Aku berucap sembari menggaruk-garuk kepala. Karena jarang melakukannya aku jadi lupa urutannya."Iya, makanya dipraktekkan. Ayo dimulai dari membasuh telapak tangan lalu berkumur sebanyak tiga kali, aku akan memberi instruksi di setiap gerakan."Ragu aku mendekati kran dan mulai membasuh telapak tangan lalu berkumur seperti yang dibilang oleh Om Do tadi. Selanjutnya pria itu memberikan instruksi apa yang harus aku lakukan lengkap dengan bacaan niat sehingga sampailah pada akh
"Aku bercanda, biarkan itu kita pikirkan nantisaja." Seru Om Do yang melanjutkan pemikirannya tentang perutku yang akanmembesar. Selanjutnya kami sibuk dengan ponsel masing-masing,aku sibuk dengan teman-temanku dan Om Do pun entah sibuk dengan siapa.Sebenarnya aku penasaran, di usianya yang sudah mapan dan seharusnya sudahmenikah, kenapa Om Do belum juga berkeluarga. Tapi bisa saja, dia diam-diamsudah punya calon istri atau pacar. Lalu bagaimana ya, sikap calon istrinyaatau kekasihnya ketika tahu Om Do sudah menikahiku. Masa bodoh, kenapa aku jadimemikirkannya, itu urusan Om Do dengan pacarnya.Aku merasa bosan di waktu seperti ini berada di rumah, berdua dengan seorangpria yang sama sekali tidak aku inginkan. Meskipun aku sudah sedikit mengenal OmDo, tapi tetap saja aku belum terbiasa berdekatan dengannya.Biasanya jam segini aku berada di luar bersama teman-temanku. Sekedar nongkrongdi cafe atau jalan ke mall. Aktivitasku memang masih terbilang wajar untukseorang anak g
Sengaja aku mengucapkannya dengan suara keras supaya Om Do mendengarnya. "Oh, jadi kamu anak kesepian di rumahmu sendiri? Pantesan kamu mencari perhatian pada ponakanku. Hidup itu tidak ada yang enak Nona, tinggal bagaimana kamu memilih mau menjalani yang mana. Kesepian di rumah besarmu atau tinggal di sini penuh perhatian dan kehangatan."Ternyata dia mendengar juga, buktinya Om-om itu menjawab. Aku menyesal juga telah mengatakan aku kesepian di rumah Mama.Sok tahu dia, perhatian macam apa yang diberikan padaku. Itu sih bukan perhatian, tapi perintah atau lebih tepatnya kebijakan yang merugikan salah satu pihak. Seenaknya dia main perintah pada anak orang, harus inilah harus itulah, jangan ini jangan itu. Memang tidak ada yang enak hidup bersama Mama ataupun bersama Om Do. Ini karena dari awal yang kuinginkan adalah hidup bersama Rendy dan menjalani hari-hari penuh cinta.Akhirnya aku masuk ke kamar dan menutup pintu dengan sedikit keras."Hati-hati jangan sampai pintu kamarku rusa
Setelah bernegosiasi, akhirnya aku tidak jadi mengenakan setelan gamis yang panjang. Tapi kata Om Do, ini untuk sementara karena harus bertahap. Huft!Tidak apa-apa untuk saat ini. Yang penting hari ini aku tidak memakai gamis, bisa-bisa aku ditertawakan oleh Ghea dan Mitha.Om Do memperbolehkan aku memakai celana jeans dengan catatan harus memakai baju panjang alias tunik. Atasan yang menjuntai hingga ke betis. Meskipun ini tidak begitu berbeda dengan gamis yang tadi disarankan oleh Om Do, tapi minimal ujung baju ini tidak menyentuh tanah. Jadi aku tidak akan begitu kerepotan berjalan. Satu lagi yang membuatku merasa kerepotan adalah aku harus menggunakan kerudung. Aku memilih menggunakan pashmina yang kedua ujungnya aku simpulkan ke belakang kepala, ini pun sangat membuatku kegerahan.Oh ya, baju-baju itu sudah ada di sofa depan televisi. Tadi pagi ketika aku bangun tidur Om Do sudah mempersiapkannya. Entah kapan dan bagaimana dia mendapatkan baju-baju itu. Yang jelas dia bilang ak
Sejenak aku terbelalak melihat lembaran merah yang ia letakkan di atas sofa itu, setelah aku hitung jumlahnya ada lima lembar.Apa nggak salah ini? Untuk ongkos taksi aja dia memberiku lima ratus ribu. Memangnya jarak dari sini ke kampus berapa ratus kilometer? Ah ya jangan-jangan ini untuk ongkos taksi satu bulan. Bisa saja bukan, memangnya berapa penghasilan dia dari toko seperti itu? Ah sudahlah, aku dapat uang jajan gede hari ini, tapi aku nggak boleh boros. Bagaimana kalau benar uang ini untuk satu bulan, besok aku jalan kaki dong ke kampus.Aku pun bergegas turun dan tak lupa mengunci pintu. Ketika melewati area toko aku melirik untuk memastikan pria itu ada di sana. Tapi aku tidak melihat Om Do berada di toko, hanya ada Ilham dan Danang di sana."Selamat pagi, Mbak Lala. Mau pergi kuliah, ya," sapa Ilham ketika melihatku lewat."Ah, ya, Mas Ilham. Mari ... permisi ... ""Mari Mbak Lala, hati-hati dijalan. Kenapa tidak bareng sama Mas Faldo berangkatnya?" "Aku nanti naik taksi
"Lalu nasib perut buncit Lo nanti gimana?""Itu urusan gue!""Jadi Lo siap dibully karena perut buncit tanpa ketahuan nikah daripada Lo dibully ketahuan nikah sama Om Do?"Aku diam, susah juga menjelaskan pada mereka pasalnya aku juga belum mau jujur pada kedua sahabatku ini kalau sebenarnya aku tidak hamil."Nanti gue pikirkan lagi. Yang jelas sekarang tidak boleh ada yang tahu kalau gue nikah sama Om Do.""Oke, oke kalau itu mau Lo. Terus benar kan kalau penampilan Lo ini atas perintah laki Lo?" Ghea menyelidik.Aku mengangguk lemah."Dari semenjak kemarin sampai di rumahnya, dia seperti menguasai hidup Gue. Dia banyak ngatur, harus ini harus itu, jangan ini jangan itu.""Namanya suami, ya seperti itu. Bukankah dulu Lo yang pengen cepat nikah sama Rendy?""Gue pengen nikah sama Rendy bukan sama Om-nya. Sama Rendy itu kita saling mencintai jadi enggak bakalan bersikap otoriter kayak gitu.""Belum tentu juga, justru kalau menurut Gue nih, Om-nya itu lebih dewasa. Jadi dia bisa momong,
Selama perkuliahan berlangsung, aku tidak begitu fokus mendengarkan apa yang disampaikan oleh Bu Zaskia. Pasalnya aku masih terus teringat pada isi pesan yang tadi aku terima sebelum masuk kelas.Pesan itu berasal dari Papa tiriku, Om Dimas.[Selain Mamamu, suamimu juga tidak boleh tahu apa yang pernah aku lakukan padamu. Dan aku pastikan kamu akan segera pulang ke rumah Mamamu.]Begitulah isi pesan yang tadi dikirim oleh om Dimas. Apa maksud pria itu mengancamku lagi, yang jelas sepertinya dia juga tidak suka dengan pernikahanku ini.Aku sedang memikirkan cara bagaimana supaya Mama tahu kelakuan bejad suaminya. Tapi untuk memberitahu Mama secara langsung aku juga tidak berani karena masih takut dengan ancaman Om Dimas. Apa aku minta bantuan Om Do saja, ya? Tidak, itu akan membuat Om Do semakin bersikap semana-mena terhadapku kalau tahu aku membutuhkan bantuannya. Dia akan lebih menguasai diriku dan seenaknya memerintah dan melarang apa-apa padaku.***[Apa aku perlu menjemputmu?]Pes
Aku terbelalak mendengar pria itu tahu kapan aku pulang. Aku sempat berpikir apakah Om Do sekarang sedang mengawasiku dari luar atau dia hanya menggertakku saja? Tanpa menjawab ucapannya Aku mengklik tanda merah saking kesalnya."Kenapa? Apa suami Lo mau jemput?" "Enggak.""Terus apa katanya?""Dia bilang gue enggak usah keluyuran dulu sebab dia tahu kalau sekarang gue udah waktunya pulang.""Lo bilang kek, kalau Lo pergi sama Gue. Memangnya Lo gak bilang sama dia kalau Lo punya temen yang manis dan baik hati kayak Gue dan Mitha. Jadi aman kalau pergi-pergi sama Gue. Kita cuma nongkrong aja kok di cafe. Lagian Lo mau ngapain di rumah, mau nyuci, masak, bersih-bersih. Aduh, kalau udah nikah bukan berarti kita kehilangan waktu untuk bersama teman-teman, dong." Ghea berbicara panjang lebar.[Biasakan untuk mengucap salam sebelum menutup telepon, gak sopan kamu sama suami.]Selanjutnya Om Do mengirim pesan seperti itu membuatku rasanya ingin membanting ponsel ini.[Kalau kamu enggak lang