Share

SIMBIOSIS
SIMBIOSIS
Penulis: Fit

1. Pertemuan

"Menikah?"

Seorang wanita cantik dengan rambut kuncir kuda itu melotot saat ibu dan ayahnya menyuruhnya untuk menikah. Wanita itu bahkan tak tahu dengan pria macam apa dia akan dinikahkan. Ia sudah berusaha mempertahankan status lajangnya lebih dari 25 tahun. Hal itu terjadi karena ia ingin menemukan cinta sejatinya. Ia ingin menikah dengan orang yang benar-benar mencintainya.

Wanita itu meremas pinggir sofa yang menjadi tempat duduknya. Ia menatap ayah dan ibunya secara bergantian. Ia baru saja pulang bekerja dan tubuhnya sangat lelah. Kini ia harus dibuat pusing dengan satu kata.

"Eva, ibu melakukan ini untuk kebaikan kamu," ujar Linda, ibunya dengan wajah sedih.

Wanita bernama Eva itu menarik sebelah sudut bibirnya. "Kebaikanku?"

Hendri–ayahnya yang sedari diam pun mulai berdeham pelan. Ia mengambil map coklat dari bawah meja ruang tamu. Lalu ia mengeluarkan sebuah surat yang berisi perjanjian dari map tersebut.

Eva langsung menyambar kertas itu tanpa mendengar apa pun dari ayahnya. Ia membaca isi surat itu dengan teliti tanpa melewati satu kata pun.

Setelah selesai membaca surat itu, ia terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, tak tahu harus berkata apa.

"Mengapa Ayah meminjam uang dari mereka? Apa penghasilanku selama ini masih kurang?" tanya Eva.

Hendri menunduk lesu. "Ayah bangkrut, Eva," ujarnya lirih

Eva meremas rambutnya frustasi. Berulang kali ia menarik nafas dan menghembuskannya. Ia merasa kecewa karena ayah dan ibunya menyembunyikan hal sebesar ini. Kini ia tak punya pilihan lain.

"Jadi seperti apa dia?" tanya Eva.

"Ayah punya fotonya," ujar Hendri.

Eva menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin melihat wajahnya. Cukup jelaskan bagaimana kepribadiannya menurut Ayah."

Hendri menganggukkan kepala beberapa kali. "Dia pria yang baik. Walaupun tidak pandai berekspresi, tapi dia berhati hangat."

"Bagaimana Ayah bisa tahu dia berhati hangat?" tanya Eva.

Sang ayah tersenyum sambil mengusap puncak kepala putrinya tersebut.

"Dia seorang guru."

~~~

Eva memijat pelipisnya, ia masih teringat dengan obrolan semalam. Ia bahkan tak pernah berkencan dengan siapapun sampai usia 25 tahun lebih 6 bulan. Ia memandang kursi yang masih tanpa penghuni. Lebih dari 20 menit ia menunggu pria itu di restoran yang cukup terkenal di Jakarta. Lokasinya tak cukup jauh dari tempat bekerjanya. Jika pria itu tak tiba dalam waktu 5 menit ke depan, ia akan segera pergi.

"Atas nama Eva Indriani?"

Akhirnya pria itu datang!

Eva mengangkat kepalanya saat mendengar namanya disebut. Ia melihat seorang pria tampan mengenakan kemeja putih tengah menatap dingin ke arahnya. Wajahnya cukup memenuhi standar, tapi ia masih belum tahu kepribadiannya. Ia pun tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya.

"Saya sendiri," ujar Eva.

Pria itu mengulurkan tangannya. "Saya Andra Fajar Pangestu."

Eva dengan ragu membalas jabatan tangan tersebut. Setelah itu Andra duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Lalu ia menatap ponselnya dengan saksama.

"Lebih cantik yang ada di foto," tukas Andra.

Eva tersenyum tipis saat mendengar ucapan pria tersebut. "Te-terima kasih."

"Itu bukan pujian."

Senyum di wajah Eva mendadak luntur. Ayahnya sama sekali tak menyebutkan bahwa pria ini sangat menyebalkan. Apa ayahnya sengaja menyembunyikan itu agar ia mau menemui pria menyebalkan yang ada di hadapannya ini.

Mereka sama sekali tak membuka suara selama lebih dari 10 menit. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Andra sangat fokus bermain ponsel, sedangkan Eva sibuk meracau dalam hati.

"Selamat siang. Hari ini kami sedang ada promo untuk sepasang kekasih, apakah anda ingin menco—"

"Tidak," tolak Andra dan Eva bersamaan.

"Kalau begitu saya akan mencatat pesanan Anda," ujar pelayan wanita itu dengan senyum manisnya.

Eva tersenyum lalu mengambil buku menu yang ada di meja. "Saya mau pesan—"

"Dua gelas teh," ujar Andra.

Eva langsung melotot mendengar pesanan Andra. "Tapi—"

Eva menghentikan ucapannya saat melihat Andra sudah kembali fokus pada ponselnya. Pelayan itu pun langsung pergi setelah selesai mencatat pesanan mereka.

"Kenapa hanya pesan teh?" tanya Eva.

Andra mengangkat sebelah tangannya untuk melihat jam. "Waktu istirahat saya tinggal 20 menit."

Eva mendengus sebal mendengarnya. Ia memilih untuk diam dari pada mengajak bicara pria tersebut. Sesekali ia melirik pria yang terus memandangi ponselnya.

"Jadi, apa alasanmu mau menikah dengan saya?" tanya Andra.

Eva terkejut saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia belum menyiapkan jawaban untuk itu. Setahunya, pria lah yang akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tapi mengapa kondisinya saat ini jadi terbalik?

Eva menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. "Saya—"

Pria itu memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Lalu ia menatap lurus ke arah Eva. "Lain kali sebelum datang ke perjodohan seperti ini, tolong siapkan alasan."

Eva memicingkan kedua matanya. "Lalu, bagaimana denganmu? Apa alasanmu ingin menikah dengan saya?"

"Saya ingin rumah yang selalu rapih."

Eva mendecih pelan lalu berkata, "Kalau begitu kamu bisa mempekerjakan asisten rumah tangga."

"Saya tak mudah percaya dengan orang lain."

Eva menjentikkan jarinya. "Nah! Saya juga orang lain."

"Kamu bukan orang lain," ujar Andra.

Eva mengernyitkan dahinya. "Lalu?"

"Kamu anak dari Pak Hendri," jawab Andra.

Eva memaksakan kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke segala arah. Pria di hadapannya ini sangat aneh. Bagaimana bisa pria ini menjadi guru dengan sikap menyebalkannya.

Keheningan lagi-lagi menyelimuti mereka. Bahkan sampai pelayan membawakan dua gelas teh, mereka sama sekali tak membuka suara. Tentu saja itu membuat Eva tidak nyaman.

"Jadi kamu sudah menemukan alasan menikah dengan saya?" tanya Andra.

"Saya butuh uang," jawab Eva asal.

Andra mengangkat sebelah alisnya. "Uangmu itu lebih banyak dari saya."

"Saya butuh uang yang lebih banyak."

Andra mengangkat sebelah tangannya lagi. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Waktumu untuk berpikir tinggal 5 menit lagi," ujar Andra.

Eva menggigit bibir bawahnya. Entah mengapa ia sangat gugup saat ini. Ia meraih gelas dan meminum teh yang ada di meja, berharap pikirannya bisa sedikit terbuka. Lalu tiba-tiba ia teringat dengan sebuah novel yang terakhir kali dibacanya.

Eva menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan. "Saya ...,"

Andra menaikkan sebelah alisnya. Ia terus menatap Eva dengan penasaran. Ia menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.

"Saya jatuh cinta saat pertama kali melihatmu."

Hening.

Andra mengerjapkan matanya dua kali. Ia masih terus menatap Eva dengan bingung. Lalu ia kembali mengangkat sebelah tangannya. Ternyata masih ada waktu 3 menit.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Andra.

Eva mengalihkan tatapannya ke segala arah. Otaknya lagi-lagi dipaksa untuk berpikir keras. Ia menyesali keputusannya karena sudah memilih untuk menemui pria tersebut.

Lalu senyumnya mengembang saat berhasil menemukan sesuatu. Ia ingat bahwa ayahnya menyimpan foto pria menyebalkan tersebut. Mungkin itu bisa di jadikan jawaban yang tepat. Eva kembali menatap Andra yang masih menunggu jawabannya.

Eva menggelengkan kepalanya. "Tidak, kita tidak pernah bertemu sebelumnya."

"Lalu bagaimana bisa kamu jatuh cinta saat pertama kali melihat saya? " tanya Andra.

"Saya melihat fotomu."

Andra mulai tertarik dengan perbincangan ini. Ia pun melipat kedua tangannya di atas meja. Matanya terus menatap lurus ke arah Eva yang terlihat gugup. Sebelah tangannya perlahan meraih ponsel yang ada di sakunya. Lalu ia menggeser layar ponselnya untuk mencari foto yang di maksud oleh gadis di hadapannya. Setelah itu ia memutar ponselnya agar Eva bisa melihat apa yang ada di layar tersebut.

"Maksudmu foto ini?" tanya Andra dengan senyum miringnya.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status